Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Abdul Mu'ti Sebut TKA Tak Wajib, tapi Jadi Rujukan Penerimaan di Universitas
11 April 2025 23:03 WIB
·
waktu baca 3 menit
ADVERTISEMENT
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, menegaskan bahwa Tes Kemampuan Akademik (TKA) yang kini menjadi pengganti Ujian Nasional (UN), tidak bersifat wajib. Meski begitu, ada manfaat mengikuti TKA.
ADVERTISEMENT
“Kenapa TKA tidak wajib? Itu ketika kami melakukan hearing, public hearing, itu memang ada yang menyoal. Kalau wajib itu melanggar HAM,” ujar Mu’ti di Perpustakaan Kemendikdasmen, Jakarta Pusat pada Jumat (11/4).
“Banyak sekali kelompok yang berkeberatan dengan ujian itu, menganggap ujian itu membuat mereka (siswa) jadi stres. Karena itu, maka pilihan moderatnya adalah supaya tidak melanggar HAM dan tidak stres, ya sudah, yang siap ikut silakan ikut. Yang tidak siap, ya sudah, tidak apa-apa,” tambahnya.
Mu’ti menegaskan bahwa TKA bukan penentu kelulusan siswa. “Yang menetapkan lulus dan tidak itu adalah masing-masing satuan pendidikan, termasuk yang menerbitkan ijazah,” jelasnya.
Ia menekankan bahwa meski TKA tidak wajib dan tidak menentukan kelulusan, hasilnya sangat berpengaruh pada tahap selanjutnya dalam jenjang pendidikan.
ADVERTISEMENT
“TKA itu menjadi salah satu pertimbangan dalam penerimaan mahasiswa di perguruan tinggi,” katanya.
Ia menyebut, hasil TKA akan dipertimbangkan bersama nilai rapor dan prestasi dalam seleksi jalur non-tes ke perguruan tinggi.
“Tahun depan, sedang kami jajaki, TKA itu nanti akan menjadi bagian dari tes masuk perguruan tinggi,” ucap dia.
“Kalau TKA-nya bagus, dia bisa masuk tanpa tes,” ujar Mu’ti.
Untuk itu, TKA dirancang diselenggarakan pada bulan November, bersamaan dengan waktu penjaringan mahasiswa baru oleh banyak perguruan tinggi.
Manfaat TKA
Lebih lanjut, Mu’ti menyinggung kredibilitas nilai rapor yang mulai dipertanyakan. Untuk itu, TKA menjadi salah satu cara untuk melihat gambaran siswa.
“Saya menyebut banyak guru yang sodaqoh nilai,” ujarnya, mengacu pada fenomena pemberian nilai yang tidak mencerminkan kemampuan siswa yang sebenarnya.
ADVERTISEMENT
Ia kemudian menceritakan bahwa ada siswa dengan nilai Bahasa Inggris 100, namun ketika diuji secara langsung oleh panitia seleksi perguruan tinggi, kemampuan nyatanya jauh dari nilai tersebut.
“Karena itu, maka TKA ini diharapkan dapat memberikan solusi terkait dengan, pertama, adanya individual test, tes perseorangan. Yang kedua adalah nilai yang diperoleh dari tes yang memang berstandar dan dibuat dengan pertimbangan yang valid, bahkan juga reliable,” terang Mu’ti.
Berbeda dengan asesmen potensi akademik seperti yang digunakan pada masa sebelumnya, TKA akan berbasis mata pelajaran.
“Tes kemampuan akademik itu berbasis mata pelajaran. Murid-murid itu ada tes yang wajib, yaitu Bahasa Indonesia dan Matematika. Untuk yang ambil IPA, dia boleh memilih antara Fisika, Kimia, atau Biologi. Untuk IPS, bisa pilih Ekonomi, Sejarah, atau ilmu sosial lainnya,” ,” katanya.
ADVERTISEMENT
Mu’ti berharap dengan sistem ini kemampuan akademik siswa akan menjadi landasan yang lebih kuat untuk menentukan kelayakan mereka masuk ke program studi tertentu di perguruan tinggi. Ia memberi contoh kasus nyata.
“Ada mahasiswa yang dia itu IPS, tapi dia masuk fakultas kedokteran. Diterima sih diterima, tapi ketika sudah kuliah itu bisa menjadi kesulitan tersendiri,” ucapnya.
Kebijakan ini, menurut Mu’ti, bukan semata-mata untuk menggantikan UN, tetapi untuk membangun sistem pendidikan yang lebih adil, terukur, dan memberi kepastian kepada semua pihak.
“Kepentingannya adalah memberikan kepastian, memberikan landasan bagi para pengambil kebijakan, berdasarkan tes kemampuan akademik,” ucap dia.