Ada Konsep Modernisasi China di Balik Proyek Kereta Cepat 'Whoosh'?

1 September 2024 15:30 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kereta cepat Whoosh Foto: Dok. PT KCIC
zoom-in-whitePerbesar
Kereta cepat Whoosh Foto: Dok. PT KCIC
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Indonesia kini memiliki kereta cepat yang dinamakan Whoosh. Kereta cepat ini menghubungkan Jakarta dan Bandung dengan waktu tempuh yang singkat, tidak sampai 45 menit. Proyek Strategis Nasional (PSN) ini berjalan selama 7 tahun dan pembangunannya merupakan kerja sama dengan pemerintah China.
ADVERTISEMENT
Rupanya, ada konsep modernisasi China di balik proyek Whoosh. Direktur Hubungan Internasional Renmin University of China, Prof. Dr. Wang Yiwei, mengungkapkan konsep modernisasi China itu berbentuk Indonesia sebagai pemegang saham terbesar Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB).
"China ingin mereka [negara yang bekerja sama dengan China] menjadi diri mereka, tidak mengikuti negara lain termasuk China. Jadi bagaimana modernisasi China berkontribusi pada community share? Pertama, mereka harus menjadi independen, tidak 'dijajah' atau 'westernized'. Cobalah menjadi diri sendiri, belajar dari [negara] Barat tapi tetaplah dengan jati dirinya," kata Prof. Wang kepada jurnalis Asia Pacific di Jianguomenwai Diplomatic Residence Compund, Beijing, Senin (26/8).
Direktur Hubungan Internasional Renmin University of China, Prof. Dr. Wang Yiwei. Foto: Nadia Riso/kumparan
Ia menilai, proyek kerja sama seperti yang dijalankan Indonesia dan China bukanlah untuk menghasilkan uang atau mendapatkan keuntungan, tapi untuk membantu satu sama lain.
ADVERTISEMENT
"Karena fasilitasmu dan fasilitasku digabungkan. Contohnya Whoosh. 51 persen dari share-nya adalah milik Indonesia, sementara China 49 persen. Ini untuk memastikan bahwa [Whoosh] berada dalam kontrol Indonesia, bukan kontrol China. Dan karena [proyek] jangka panjang, maka masa depanmu dan masa depanku dibagi bersama," ungkapnya.
Prof. Wang mengatakan, Indonesia sebagai negara besar yang memiliki lebih dari 13 ribu pulau membutuhkan infrastruktur untuk menghubungkan masing-masing daerah. Untuk membuat infrastruktur seperti itu, dibutuhkan modal yang besar.
"Di China panjang kereta cepat 50 ribu kilometer. Jika dikalkulasikan, supaya [proyek kereta cepat] balik modal membutuhkan waktu 20 tahun bahkan lebih lama. Tapi jika kita memiliki kereta cepat yang menghubungkan satu sama lain maka anak muda, turis, dan semua industri akan terkoneksi di kota-kota itu," tuturnya.
ADVERTISEMENT
"[Contohnya] Surabaya, kota terbesar kedua di Indonesia, seperti Beijing dan Shanghai. Tentu saja [proyek kereta cepat] membutuhkan banyak modal. Jadi akan butuh waktu lama untuk balik modal," lanjutnya.
Direktur Hubungan Internasional Renmin University of China, Prof. Dr. Wang Yiwei. Foto: Nadia Riso/kumparan
Prof. Wang menyebut, konsep modernisasi China inilah yang membedakan kerja sama yang dilakukan China dengan yang dilakukan negara lain seperti Amerika Serikat (AS).
"Modernisasi China itu sebenarnya memberikan pilihan kepada negara-negara lain. Jadi mentalitas China [dalam modernisasi] adalah apresiasi terhadap budaya, terhadap nilai-nilai yang ada. Modernisasi yang dilakukan di China adalah untuk belajar," ujarnya.
Menurutnya, yang dilakukan AS adalah untuk menjual atau berdagang. Sementara yang dilakukan China adalah bekerja bersama dengan negara itu.
"Konfusiasme mengajarkan tiga orang bekerja di sana, mengapa saya yang menjadi guru mereka? Sementara di Amerika jika tiga orang bekerja di sana, saya yang harus menjadi guru mereka. Jadi [konsep modernisasi China dan AS] berbeda. Di Afrika juga sama. Ketika orang Amerika datang ke sana, mereka akan menjual dan mengajar. Tapi ketika orang China datang, mereka akan membangun rumah sakit. Jadi berbeda," ujarnya lagi.
ADVERTISEMENT
Modernisasi China berawal dari apa yang dilakukan Deng Xiaoping, pemimpin tertinggi China yang juga pemimpin Partai Komunis China setelah Mao Zedong, yang memperkenalkan reformasi di China seperti modernisasi dan mengembangkan ekonomi, peningkatan produksi pertanian, membuka diri terhadap dunia, modernisasi industri hingga mengendalikan pertumbuhan penduduk.
"Kami [China] membuka diri kepada AS, kepada Barat di awal 1980-an karena mereka memiliki uang, memiliki teknologi, dan memiliki pengalaman terhadap modernisasi. Sehingga kami harus memperhatikan hubungan dengan AS, Eropa, Jepang. Ini merupakan kerja sama yang win-win," jelasnya.
Karena modernisasi yang dilakukan negara Barat begitu sukses, pemerintah China saat itu ingin belajar dari mereka. Meski demikian, belajar dari AS atau negara Barat lainnya dinilai oleh Prof. Wang bukan untuk menjadi AS atau apa yang disebutnya 'westernized'.
ADVERTISEMENT
"China belajar tapi bukan untuk meniru, bukan untuk mengikuti. Kami belajar untuk tetap menjadi jati diri kami," ujarnya.