Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Adu Tafsir KPU dan Bawaslu soal Caleg Koruptor
10 September 2018 10:55 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
ADVERTISEMENT
Ini soal bekas pemilu dan koruptor. Pemilu 2019 di ambang pintu, dan bekas koruptor ikut mendaftar jadi caleg . Masalah ini lantas jadi polemik antara Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu, sedangkan penetapan Daftar Calon Tetap (DCT) anggota legislatif kurang dari dua minggu lagi.
ADVERTISEMENT
Jadi, boleh atau tidak bekas pesakitan kasus korupsi maju sebagai calon anggota legislatif?
KPU berpegangan pada Pasal 11 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018. Pasal itu mewajibkan pemimpin partai politik menandatangani Pakta Integritas yang berisi larangan mengajukan calon legislatif eks terpidana narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan/atau korupsi. Bila melanggar, KPU berhak mencoret nama bakal calon legislatif terkait.
“Dalam bahasa administrasinya, memberikan status kepada yang bersangkutan: tidak memenuhi syarat sebagai bakal calon anggota DPR, DPRD dan DPD,” kata Komisioner KPU Wahyu Setiawan di kantor KPU, Rabu (5/9).
Menurut Wahyu, PKPU telah sah diberlakukan sejak diundangkan oleh Kementerian Hukum dan HAM pada 5 Juli lalu. Maka mestinya, para penyelenggara dan peserta pemilu terikat pada aturan itu. Dan jika Bawaslu tak sependapat dengan PKPU, ia harus melayangkan gugatan uji materi ke Mahkamah Agung.
ADVERTISEMENT
“Bawaslu tidak melakukan itu sampai sekarang,” kata Wahyu.
Bawaslu bersikeras PKPU bertentangan dengan Pasal 240 Ayat 1 huruf g UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Pasal itu membolehkan mantan narapidana dengan masa hukuman lima tahun atau lebih untuk maju sebagai calon legislatif, asal mengumumkan statusnya sebagai eks narapidana secara terbuka ke publik.
Bawaslu juga berpegang pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUUVII/2009 yang menetapkan bahwa pencabutan hak politik adalah konstitusional, namun tetap pada batasan-batasan tertentu.
Batasan yang dimaksud adalah pencabutan hanya berlaku sampai lima tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya. Selanjutnya, bekas terpidana dapat menduduki jabatan publik melalui pemilihan, bukan lewat pengangkatan atau penunjukkan.
Argumentasi itulah yang membuat Bawaslu meloloskan 12 eks terpidana korupsi sebagai bakal calon legislatif. Menurut Bawaslu, aturan larangan koruptor dalam PKPU bertabrakan dengan UU Pemilu dan putusan MK.
ADVERTISEMENT
“Dan ketika tabrakan kami terpaksa mengikuti UU,” ujar anggota Bawaslu, Rahmat Bagja.
Berikut penjelasan Komisioner KPU Wahyu Setiawan dan anggota Bawaslu Rahmat Bagja secara terpisah kepada kumparan terkait perkara majunya caleg koruptor tersebut.
Bagaimana awal keluarnya Peraturan KPU soal pelarangan caleg koruptor?
Wahyu: Landasan awalnya adalah undang-undang tentang pemerintah yang bersih dan bebas KKN (korupsi, kolusi, nepotisme). Dan pembentukan pemerintahan--yang terdiri dari legislatif dan eksekutif--dimulai dari pemilu. Kita memilih presiden, anggota DPR, dan DPRD, itu kan bagian dari pemerintahan.
Jadi, mulai dari hulu harus ada upaya-upaya konkret untuk mengedepankan semangat pemerintahan yang bersih dan bebas KKN. KPU juga mendorong terciptanya pemilu yang berintegritas.
Pemilu berintegritas itu syarat minimumnya ada tiga: penyelenggara pemilu yang berintegritas, peserta yang berintegritas, dan pemilih yang berintegritas.
ADVERTISEMENT
Bagaimana mungkin mantan napi korupsi--orang yang pernah mencederai mandat rakyat itu, masih juga diberi kesempatan untuk menjadi anggota DPR dan DPRD.
UU Pemilu membolehkan mantan napi korupsi ikut pemilu, asal ia mengumumkan statusnya sebagai koruptor ke publik. Bagaimana sikap KPU dan Bawaslu soal itu?
Wahyu KPU: Dalam Undang-Undang Pemilu, kami diberi amanah untuk membentuk peraturan operasional yang belum diatur terperinci oleh UU. Artinya peraturan itu termaktub dalam PKPU. Jadi KPU berwenang membuat Peraturan KPU.
Berdasarkan UU itu juga, apabila ada pihak yang tidak sependapat dengan PKPU, dipersilakan untuk melakukan pengujian ke Mahkamah Agung. Itu prosedur teknisnya. Tapi kami juga memahami nilai-nilai atau norma-norma dalam PKPU itu idealnya memang dicantumkan dalam UU, dan kami sudah mengupayakan itu, tapi tidak berhasil.
ADVERTISEMENT
Jadi sebenarnya opsi ideal adalah norma pelarangan terhadap napi korupsi, napi bandar narkoba, napi pelaku kejahatan seksual terhadap anak, itu dicantumkan dalam UU. Kami sudah meminta kepada DPR untuk melakukan revisi terbatas, tetapi tidak berhasil.
Kemudian kami menurunkan opsi kedua lewat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Pemerintah tidak mau karena satu dan lain hal.
Maka suka-tidak suka, kami hanya punya opsi terakhir: memasukkan norma itu ke dalam PKPU. Itu yang paling memungkinkan karena itu kewenangan kami.
Bagaimana mungkin seseorang yang diberi mandat, dipilih rakyat, tetapi mengkhianati negara? Apa kita bisa mengatakan korupsi bukan pengkhianatan terhadap negara?
Ini bukti bahwa sebenarnya perspektif kita tidak serta-merta dapat disimpulkan melanggar UU. Kalau kemudian letter lecht UU, yang berarti deretan kata-kata dalam pasal, mungkin iya (melanggar). Tetapi secara substansi, kami tidak bertentangan dengan UU.
ADVERTISEMENT
Berikutnya, KPU dalam bekerja tidak semata-mata berpedoman pada UU Nomor 7 Tahun 2017, tetapi juga pada UU lain yang relevan. Kita tahu ada UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Pemerintahan yang Bersih dan Bebas KKN.
Tetapi memang harus kita akui, pihak-pihak yang tidak sependapat dengan PKPU selalu menyoal dari sisi teknis kata per kata.
Mengapa Bawaslu tidak mematuhi Peraturan KPU soal larangan caleg koruptor?
Rahmat: Karena PKPU tersebut dalam salah satu pasalnya bermasalah, dan Bawaslu--sesuai aturan dan sistematika hukum--berhak untuk menyelesaikan sengketa. Sengketa itu salah satunya adalah tabrakan hukum antara das sollen (fakta hukum secara teoritis) dan das sein (hukum sebagai fakta yang berkembang di masyarakat).
Kalau kami mengambil posisi ini (mematuhi PKPU larangan caleg koruptor), kami mengkhianati prinsip negara hukum.
ADVERTISEMENT
Jika ada tabrakan aturan, maka aturan yang lebih tinggi yang dipakai. Cara berpikirnya logis saja.
Sejak kapan Bawaslu menolak PKPU soal larangan koruptor nyaleg tersebut?
Rahmat: Sejak drafnya kami protes. Tapi protes itu dianggap angin lalu. Berkali-kali PKPU diprotes di Rapat Dengar Pendapat oleh kami (Bawaslu), Kemenkumham, dan DPR. Itu mengangkangi prinsip negara hukum, dan bagi kami itu masalah besar.
Indonesia adalah negara berdasar hukum, Pasal 1 ayat 3 UUD 1945. Indonesia adalah rechstaat (negara hukum), bukan maachstaat (negara berdasar kekuasaan). Itu harus dipahami. Temen-temen KPU sudah maachstaat.
Aturan yang melandasi kinerja kami memang Undang-Undang Pemilu Nomor 7. Dan dalam mengawasi, salah satu bahan pertimbangan kami adalah PKPU.
Koruptor katanya juga punya hak asasi. Bagaimana pandangan Anda terkait hak politik mereka?
ADVERTISEMENT
Wahyu KPU: Rakyat juga punya hak asasi. Rakyat yang uangnya dikorupsi juga punya hak asasi. Dan hak asasi itu bukan berarti hak yang tidak bisa dibatasi. Contoh paling konkret, ada peraturan pemerintah yang pada intinya tidak mengizinkan napi korupsi mendapat remisi. Itu kan pembatasan hak juga.
Artinya, hak seseorang bisa dibatasi oleh kemanfaatan yang lebih luas. Hukum juga harus mempertimbangkan aspek keadilan dan kemanfaatan. Apa manfaatnya bagi publik jika koruptor jadi caleg? Bandingkan dengan kemanfaatan bagi publik jika mantan napi koruptor tidak jadi caleg. Lebih besar mana kemanfaatannya bagi masyarakat?
Kalau orang menggunakan asumsi apakah ada jaminan orang yang bukan napi korupsi tidak melakukan korupsi, tentu saja tidak ada yang bisa menjamin. Tetapi akal sehat publik mengatakan, kalau masih ada orang yang belum pernah melakukan, kenapa harus mencalonkan orang yang sudah pernah melakukan?
ADVERTISEMENT
Kalau ada orang yang rekam jejaknya baik, kenapa harus mencalonkan orang yang rekam jejaknya tidak baik? Inilah argumentasi-argumentasi kami secara umum.
Rahmat Bawaslu: Pemilu tidak dibangun dengan asal nabrak begitu saja, tapi atas dasar hukum dan undang-undang yang sistematik. Inilah yang menurut kami menjadi landasan.
Teman-teman KPU telah bertindak sebagai (lembaga) daulat rakyat. Mereka bertindak seperti DPR atau Presiden. Boleh tidak seperti itu?
Pasal 28J UUD 1945 mengatakan: hak asasi manusia ada dua tipe, derogable dan non-derogable rights. Non-derogable itu hak yang tidak bisa dikurangi dalam bentuk apa pun, seperti hak hidup dan hak beragama. Sementara derogable rights boleh dibatasi dengan undang undang, tidak dengan peraturan perundang-undangan.
Bagaimana sebuah lembaga negara yang dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar, melanggar hak asasi manusia yang tercantum juga dalam Undang-Undang Dasar?
ADVERTISEMENT
Kita boleh benci perbuatan korupsi, tapi jangan kemudian kita mengatakan ini nggak boleh, itu nggak boleh. Pasal 28J itu pembatasannya.
Dalam KUHAP disebutkan, salah satu sanksi dalam pidana adalah pencabutan hak politik. Dan KPK sendiri dalam mencabut hak politik juga terbatas. Tidak semua terdakwa dicabut hak politiknya. Hanya sebagian, misalnya Setya Novanto dan Anas Urbaningrum.
Sekarang, KPU dengan PKPU--tanpa mengadili--mencabut hak politik. Padahal itu landasannya daulat rakyat. Dan daulat rakyat itu terdapat dalam dua kekuasaan: legislatif dan eksekutif.
KPU bukan lembaga daulat rakyat, tapi lembaga penyelenggara pemilu. Ini harus dipahami.
Terkait pembatasan hak politik, menurut KPU, secara filosofi benar berdasarkan UUD. Tetapi yang berhak menyatakan bahwa undang-undang ini spiritnya berdasarkan UUD siapa? Mahkamah Konstitusi.
ADVERTISEMENT
Secara filosofis, sosiologis, yuridis, Mahkamah Konstitusi telah menguji undang-undang yang berkaitan dengan hal ini. Jadi spirit UUD sudah dimaktubkan dalam putusan MK.
Dan tiba-tiba KPU menghantam hak tersebut. Padahal secara filosofis, sosiologis, dan yuridis, MK telah menguji undang-undang tersebut. Apakah KPU berhak menguji undang-undang? Tidak. Kalaupun mau, silahkan KPU menguji lagi.
Apakah ada sanksi tertentu untuk partai politik yang tetap mencalonkan caleg koruptor?
Wahyu KPU: Kami menyadari peserta pemilu legislatif adalah partai politik, bukan orang-per orang. Tapi sebenarnya, substansi dari norma itu muaranya sama: mantan napi korupsi, napi bandar narkoba, dan napi pelaku kejahatan seksual terhadap anak, tidak diperbolehkan menjadi calon anggota DPR dan DPRD.
Kami menghalangi tiga jenis mantan napi itu untuk menjadi anggota DPR dan DPRD.
ADVERTISEMENT
Bagaimana kalau parpol tetap menolak mencoret koruptor dari daftar bacalegnya?
Wahyu KPU: Kalau mereka tidak mau coret, ya kami yang coret. Atau dalam bahasa administrasinya: memberikan status kepada yang bersangkutan tidak memenuhi syarat sebagai bakal calon anggota DPR, DPRD dan DPD.
Tetapi kepada partai politik, tidak ada sanksi.
Apa beda Pakta Integritas KPU dan Bawaslu?
Rahmat Bawaslu: Pakta Integritas Bawaslu itu bersifat moral etis. Sebenarnya, Bawaslu pernah mengusulkan kepada KPU: sesuai dengan undang-undang, diumumkan saja siapa yang narapidana, masyarakat berhak tahu. Tapi KPU tidak mau. Mereka bilang: kami tidak ingin membuat malu partai politik.
Itu problem juga. Itu logika yang bermasalah.
Usul Pak Jokowi malah menarik. Beliau mengusulkan nama mantan narapidana ditempelkan di TPS. Itu terbuka untuk publik.
ADVERTISEMENT
Wahyu KPU: Pakta Integritas KPU itu sangat kuat. Kenapa merupakan lampiran dari proses pencalonan. Itu ada di formulir. Dan pelanggaran atas pakta integritas itu ada konsekuensinya.
Konsekuensinya, calon yang diajukan akan mendapat status tidak memenuhi syarat. Jadi tidak bisa maju (caleg). Berbeda dengan Pakta Integritas Bawaslu: kalau dilanggar, tidak ada sanksi.
------------------------
Simak selengkapnya Awas Caleg Koruptor! di Liputan Khusus kumparan.