Ahli Cuaca Sebut Turbulensi Pesawat SQ Tak Biasa, Sulit Diantisipasi Pilot

23 Mei 2024 15:08 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Singapore Airlines Airbus A350 Foto: Edgar Su/Reuters
zoom-in-whitePerbesar
Singapore Airlines Airbus A350 Foto: Edgar Su/Reuters
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pesawat Singapore Airlines SQ321 rute London menuju Singapura mengalami turbulensi hebat saat melintasi Lembah Irrawaddy, Myanmar, Selasa (21/5). Guncangan itu terjadi sekitar 10 jam setelah pesawat lepas landas.
ADVERTISEMENT
Menurut ahli cuaca dari Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi & Geofisika (STMKG), Deni Septiadi, pesawat tipe Boeing 777-300ER mempunyai ukuran dan bobot yang besar, apabila dibandingkan 737-800 yang biasa digunakan maskapai dalam negeri. Seharusnya, pesawat tipe tersebut lebih stabil menghadapi guncangan.
“Pesawat ini memiliki daya jelajah hingga 13.650 km dengan kapasitas penumpang mencapai 500 orang, serta dilengkapi mesin jet yang mampu menghasilkan daya dorong maksimum sebesar 115.300 pound-force per mesin,” tulis Deni dalam keterangan tertulis yang diterima, Kamis (23/5).
Kondisi di dalam pesawat Singapore Airlines penerbangan SQ321 dari London ke Singapura, usai mengalami turbulensi parah, Selasa (21/5/2024). Foto: ViralPress via Reuters
Namun, turbulensi yang dialami SQ321 bukan hal biasa. Menurut Deni, meski pesawat terbang pada ketinggian jelajah aman, turbulensi yang terjadi menyebabkan perubahan ketinggian secara tiba-tiba.
“Ketinggian jelajah SQ321 sebelum terjadinya turbulensi hebat bahkan di atas 11 km merupakan ketinggian yang cenderung aman dari turbulensi (safe flight altitude) mengingat aliran fluida cenderung laminer serta dengan system radar cuaca pesawat yang canggih meskipun melewati awan badai, turbulensi harusnya masih bisa diredam oleh pesawat,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa penelitian, severe turbulence, dikenal sebagai turbulensi sangat parah, didefinisikan dengan perubahan ketinggian sekitar 30 meter.
"Namun faktanya, SQ321 mengalami “severe turbulence”, dengan perubahan ketinggian secara tiba-tiba hingga 500 kaki (sekitar 152 meter)," lanjut Deni.
Kecelakaan itu menunjukkan bahwa turbulensi yang dialami SQ321 adalah Clear Air Turbulence (CAT), fenomena yang tidak dapat dideteksi oleh radar cuaca dan sulit diantisipasi oleh pilot.
“Clear Air Turbulence (CAT) terjadi pada cuaca cerah dan seringkali terkait dengan aliran jet stream. Di daerah sekitar Lembah Irrawaddy, Myanmar, terdapat aliran jet stream sub-tropis dengan kecepatan di atas 60 knot (111 km/jam) pada ketinggian 10-12 km di atas permukaan laut. Aliran jet stream ini yang menyebabkan terjadinya turbulensi parah yang mengguncang pesawat SQ321,” tulis ahli cuaca dari STMKG itu.
Kondisi interior pesawat Singapore Airlines penerbangan SQ321 setelah pendaratan darurat akibat turbulensi, di Bandara Internasional Suvarnabhumi Bangkok, Thailand, Selasa (21/5/2024). Foto: Stringer/Reuters
Menurut Deni, insiden ini juga menekankan bahwa meskipun pesawat modern dilengkapi dengan teknologi canggih dan desain yang stabil, faktor alam seperti CAT tetap menjadi tantangan besar dalam dunia penerbangan.
ADVERTISEMENT
Edukasi kepada penumpang tentang pentingnya mengenakan sabuk pengaman dan penelitian lebih lanjut tentang pola aliran udara di atmosfer dapat membantu mengurangi risiko cedera akibat turbulensi di masa depan.
Turbulensi ini juga menyoroti perlunya peningkatan sistem prediksi dan deteksi turbulensi untuk membantu pilot mengambil langkah-langkah mitigasi yang lebih efektif.