Ahli Soroti Unsur Pembunuhan di Kasus Satu Keluarga Tewas di Penjaringan, Jakut

12 Maret 2024 11:14 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana TKP bunuh diri di Apartemen Taman Teluk Intan, Penjaringan, Jakarta Utara, Sabtu (9/3/2024).  Foto: Luthfi Humam/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Suasana TKP bunuh diri di Apartemen Taman Teluk Intan, Penjaringan, Jakarta Utara, Sabtu (9/3/2024). Foto: Luthfi Humam/kumparan
ADVERTISEMENT
Catatan Redaksi: Bijaksanalah membaca berita ini. Bunuh diri bukan jalan keluar persoalan kehidupan, segera cari pertolongan!
ADVERTISEMENT
Satu keluarga di Penjaringan, Jakarta Utara, tewas setelah melompat dari lantai 22 Apartemen Teluk Intan, Sabtu (9/3). Polisi memastikan empat korban, EA (50) bapak, AEL (52) ibu, dan dua anaknya berusia masing-masing 15 dan 13 tahun melakukan bunuh diri.
CCTV di sekitar lokasi menunjukkan detik-detik perjalanan keluarga itu sebelum mengakhiri hidup. Meski begitu, motif tindakan keluarga tersebut masih abu-abu dan tengah didalami oleh aparat kepolisian.
Ahli psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel, menyoroti adanya unsur pembunuhan di dalam peristiwa tewasnya satu keluarga tersebut. Sebab, ada dua anak yang menjadi korban peristiwa kelam itu.
"Empat orang yang terjun dari atap apartemen itu baru bisa dikatakan bunuh diri sekeluarga (bersama-sama), hanya jika bisa dipastikan bahwa pada masing-masing orang tersebut ada kehendak dan antarmereka ada kesepakatan (konsensual)." kata Reza dalam keterangannya.
ADVERTISEMENT
Menurut Reza, anak mesti diposisikan sebagai pihak yang tidak bersepakat dalam tindakan bunuh diri. Analogi yang serupa juga berlaku pada kasus aktivitas seksual di mana anak belum memiliki kesadaran penuh atas itu.
Ilustrasi anak. Foto: HTWE/Shutterstock
Karena itulah, kata Reza, siapa pun orang yang melakukan aktivitas seksual dengan anak-anak secara universal selalu diposisikan sebagai pelaku kejahatan seksual. Anak-anak secara otomatis berstatus korban.
"Aksi terjun bebas tersebut, dengan demikian, mutlak harus disimpulkan sebagai tindakan yang tidak mengandung konsensual," tuturnya.
Reza menyebut, anak-anak dalam peristiwa ini mesti dianggap dalam paksaan untuk melakukan aksi ekstrem bunuh diri itu.
Maka Reza tidak sepakat jika kasus ini disikapi sebagai bunuh diri satu keluarga. Anak-anak dalam kasus itu menurutnya justru jadi korban pembunuhan.
ADVERTISEMENT
Walau ada dugaan unsur pembunuhan, Reza memahami kasus ini tidak dapat diproses lebih lanjut karena terduga pelaku sudah tewas. Namun, menurut Anggota Pusat Kajian Asesmen Pemasyarakatan Poltekip itu, peristiwa ini mesti dicatat sebagai kasus pidana.
"Yakni terkait pembunuhan terhadap anak dengan modus memaksa mereka untuk melompat dari gedung tinggi," ujar lulusan Master Psikolog Forensik Universitas Melbourne ini.
Simbol Kesadaran Kesehatan Mental. Foto: EAK MOTO/Shutterstock

Perlu Layanan Kesehatan Mental

Psikolog Muhammad Iqbal menyebut kasus tewasnya satu keluarga di Penjaringan merupakan fenomena gunung es yang hanya tampak di permukaan. Padahal masalah bunuh diri yang tak kelihatan jumlahnya lebih besar.
Menyitir data Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Polri, ada 971 kasus bunuh diri di Indonesia sepanjang periode Januari hingga 18 Oktober 2023. Angka itu sudah melampaui kasus bunuh diri sepanjang 2022 yang jumlahnya 900 kasus dan angka ini diprediksi terus meningkat hingga tahun 2024.
ADVERTISEMENT
Iqbal menyebut tindakan bunuh diri didorong oleh banyak faktor, mulai dari masalah kesehatan fisik, mental, tekanan hidup, lingkungan, keyakinan dan pengaruh media. Untuk itu menurutnya perlu edukasi di berbagai tempat baik di lingkungan sekolah, tempat kerja dan media sosial untuk mencegah fenomena ini terjadi.
"Masalah kesehatan mental dan tekanan hidup semakin tinggi, untuk itu pemerintah perlu membuka akses layanan kesehatan mental bagi masyarakat bagi secara online maupun offline,," kata Iqbal dalam keterangannya.
Menurut Iqbal, akses layanan konseling selama ini masih bersifat eksklusif dan terbatas bagi masyarakat.
"Sehingga masyarakat tidak punya akses untuk mendapatkan bantuan dan pertolongan pertama psikologis (Psychological First Aid) dalam penanganan masalah gangguan mental. Padahal ini adalah upaya yang sangat dasar dalam pencegahan bunuh diri," tutupnya.
ADVERTISEMENT