Akar Masalah Kenapa Aset Malaysia Senilai Rp 210 T di Dunia Terancam Disita

21 Juli 2022 11:12 WIB
ยท
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Persidangan. Foto: Getty Images
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Persidangan. Foto: Getty Images
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pertempuran hukum senilai RM 62.59 (Rp 210 triliun) atas peninggalan kolonial Inggris telah menyelimuti Malaysia dalam kepanikan sejak pekan lalu.
ADVERTISEMENT
Disadur dari Financial Times, pertarungan hukum itu melibatkan keturunan mantan sultan abad ke-19, kesepakatan tanah dengan Inggris, dana litigasi asal London, dan sengketa yang memanjang hingga 144 tahun.
Anggota parlemen menyerukan debat darurat sementara pemerintah mengumumkan rencana pembentukan satuan tugas khusus. Para ahli hukum menggambarkan proses tersebut sebagai salah satu sengketa arbitrase internasional paling janggal dalam sejarah.
"Tidak ada yang bisa meramalkan 144 tahun yang lalu bahwa perjanjian yang ditandatangani di Borneo selama masa kolonial Inggris akan menimbulkan perselisihan seperti itu hari ini," ungkap seorang pengacara arbitrase terkemuka, Colin Ong QC.
Kasus tersebut berakar pada persaingan klaim atas Negara Bagian Sabah, Malaysia. Sabah merupakan wilayah berukuran sekitar 74.000 km persegi dengan populasi hampir 4 juta orang.
ADVERTISEMENT
Malaysia telah menangkis klaim-klaim atas wilayah yang kaya akan minyak tersebut. Filipina memiliki klaim sejarah pula atas negara bagian itu.
Sebelum ditemukannya sumber daya alam yang luas di Sabah, Kesultanan Sulu menandatangani perjanjian sewa tanah dengan perusahaan Inggris pada 1878.
Pihaknya lantas mengincar kompensasi atas tanah tersebut. Malaysia mewarisi kewajiban perjanjian sewa itu usai mendapatkan kemerdekaannya dari Inggris pada 1963.
Ilustrasi Pengadilan. Foto: Shutter Stock
Delapan orang kemudian mengaku sebagai pewaris Sultan Sulu, Jamalul Kiram II. Selama berabad-abad, kekuasaannya mencakup wilayah yang kini merupakan Malaysia dan Filipina.
Jamalul Kiram II meninggal pada 1936 tanpa meninggalkan ahli waris langsung. Sejak itu, sejumlah warga Filipina telah mengeklaim takhta tersebut.
Dengan demikian, Malaysia harus membayar RM 62.59 (Rp 210 triliun) sebagai kompensasi atas perjanjian sewa tanah nenek moyangnya. Pemerintah telah memberikan tunjangan tahunan sebesar RM 5.300 (Rp 17,8 juta) kepada mereka.
ADVERTISEMENT
Pada 2013, seseorang yang mengaku sebagai ahli waris kemudian memimpin invasi ke Sabah. Pertempuran dengan pasukan keamanan itu menewaskan 60 orang sebelum para penyerbu yang berjumlah tak lebih dari 180 orang akhirnya mundur.
Mantan Jaksa Agung Malaysia mengakui, pihaknya tidak memiliki bukti yang menunjukkan hubungan penyerang dengan para ahli waris tersebut. Namun, Kuala Lumpur menghentikan pembayaran bagi mereka sejak serangan itu.
Pada 2017, para keturunan itu lantas menyatakan niat mereka untuk menempuh jalur hukum. Kedelapan ahli waris yang tinggal di Filipina itu tidak kaya. Sebagian dari mereka hanyalah pensiunan.
Kendati demikian, mereka mendapatkan dukungan dari dana investasi Inggris, Therium. Investor tersebut telah mendorong mereka dalam proses litigasi yang sekarang telah menelan biaya puluhan juta dolar.
ADVERTISEMENT
Therium telah mendukung kasus-kasus yang tak sensitif secara geopolitik sebelumnya, seperti banding tingkat tinggi terhadap hukuman yang salah terhadap pekerja Kantor Pos Inggris pada 2021.
Ilustrasi Pengadilan. Foto: Shutter Stock
Selama beberapa tahun, para penggugat berupaya mendapatkan kompensasi itu. Pada Februari 2022, seorang arbitrer di Prancis, Gonzalo Stampa, mendukung klaim para ahli waris.
Putusan Stampa menyatakan, Malaysia mewarisi perjanjian sewa tersebut. Alhasil, pemerintah harus menyerahkan RM 62.59 (Rp 210 triliun) sebagai kompensasi.
Malaysia mengeluhkan putusan itu dengan dalih bahwa pengadilan tidak menyertakan bukti lengkap. Pengadilan Tinggi Madrid lantas membatalkan putusan tersebut.
Mengutuk kasus itu sebagai serangan terhadap kedaulatannya, Malaysia mengajukan banding atas keputusan Stampa. Sebagian warga negara itu bahkan mempertanyakan kebenaran identitas para keturunan Sultan Sulu.
ADVERTISEMENT
Hakim Paris menangguhkan penegakan kompensasi RM 62.59 (Rp 210 triliun) tersebut sampai banding selesai. Malaysia mengatakan, keputusan itu lantas tak lagi berlaku di dunia.
Tetapi, para penggugat berkata berlainan. Pihaknya menekankan, penangguhan itu hanya berlaku di Prancis. Artinya, Malaysia masih memiliki kewajiban untuk menyelesaikan pembayaran.
Penggugat kemudian menyita dua unit perusahaan minyak negara milik Malaysia, Petronas, di Luksemburg. Perusahaan energi terbesar di dunia itu menghasilkan 11 persen dari pendapatan Pemerintah Malaysia.
Selang beberapa jam, penuntut mendatangi sembilan bank di negara itu untuk membekukan rekening Petronas Azerbaijan (Shah Deniz) dan Petronas Kaukasus Selatan.
Pengacara penggugat menekankan, penyitaan akan menjerat aset negara lainnya kecuali klaim mereka diakui oleh Malaysia.
Menteri Pertahanan Malaysia Ismail Sabri Yaakob. Foto: Facebook/Ismail Sabri Yaakob
Kasus tersebut muncul pada masa yang kritis bagi Malaysia. Negara itu telah bergelut dengan krisis politik sejak 2015. Seorang menteri senior mengindikasikan, Petronas akan menjadi pusat upaya pemerintah untuk membangun kembali ekonomi pasca-pandemi.
ADVERTISEMENT
Namun, penyitaan oleh para ahli waris telah menghambat upaya pemulihan Malaysia. Selama Malaysia menolak menerima keputusan itu, utangnya kepada para penggugat kemungkinan akan meningkat. Dana itu akan melambung 10 persen setiap tahunnya.
Ketika berita tersebut sampai ke Malaysia, pemerintah bersumpah akan memperjuangkan aset-aset negara. Perdana Menteri Malaysia, Ismail Sabri Yaakob, menegaskan bahwa pihaknya tidak akan membuat kompromi.
"Mereka [Sulu] membawa kasus ini ke pengadilan, jadi kami juga akan melindungi aset kami melalui jalur hukum," tegas Yaakob.
"Saya memberikan jaminan untuk tidak berkompromi atau bahkan bergerak sedikit pun dalam membela hak dan kedaulatan negara," sambung dia.
Perwakilan para ahli waris mengungkap, pihaknya terdesak pula untuk mengambil tindakan tersebut. Sebab, Malaysia terus menolak untuk terlibat. Pengacara utama mereka, Paul Cohen, mengatakan bahwa litigasi adalah jalan terakhir.
ADVERTISEMENT
"Lebih dari satu pemerintah Malaysia menolak untuk menanggapi pendekatan langsung klien kami dalam beberapa tahun terakhir," tutur Cohen.
"Mengingat bahwa pemerintah Malaysia tahu siapa mereka, dan mengetahui setiap aspek dari kontrak berusia 140 tahun ini, ini jelas merupakan taktik untuk membekukan konfrontasi dan resolusi," ujar dia.