Aktivis Perempuan Aceh: Poligami Tidak Adil Bagi Ibu Saya

10 Juli 2019 15:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Mitra Sejati Kerja Perempuan Indonesia (MiSPI) Aceh, Syarifah Rahmatillah. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Mitra Sejati Kerja Perempuan Indonesia (MiSPI) Aceh, Syarifah Rahmatillah. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
ADVERTISEMENT
Ketua Mitra Sejati Kerja Perempuan Indonesia (MiSPI) Aceh, Syarifah Rahmatillah, masih ingat betul bagaimana kesedihan dialami ibunya ketika sang ayah poligami. Sebagai seorang anak, Syarifah merasa keadilan terpenuhi, namun ibundanya tak merasa demikian.
ADVERTISEMENT

Syarifah menumpahkan rasa keresahan hatinya ketika mengingat sebagai anak korban poligami. Curhatan itu disampaikannya di hadapan mahasiswa dan peserta yang ikut dalam diskusi publik membahas tentang Wacana Pembentukan Qanun Poligami di Aceh di kampus Uin-Raniry, Banda Aceh, Rabu (10/7). 

“Posisi adil yang dirasakan oleh anak-anak berbeda dengan rasa adil untuk Umi saya,” kata Syarifah. 

Syarifah menceritakan, dirinya pernah menanyakan kepada ibunda mengapa begitu tegar dan tidak ingin menceraikan ayahnya. Ibunya mengaku, banyak pertimbangan, salah satu karena rasa cinta dan sayang. Walaupun hatinya sedih menerima kenyataan itu. 

“Umi saya tidak merasakan keadilan itu, versi Umi. Ketika saya tanya apakah Umi senang? Beliau mengatakan tidak senang. Tetapi kenapa Umi tidak menceraikan waled (Ayah) dia mengatakan banyak pertimbangan. Jadi saya tidak bisa memaksakan adil versi saya dengan adil versi Umi,” katanya. 
Lipsus Historia: Poligami Tempo Dulu. Foto: Kiagoos Aulianshah/kumparan
Syarifah menilai jika dengan hadirnya aturan poligami yang dibahas dalam Qanun Hukum Keluarga menyebut tentang keadilan, baginya realita dirasakan jauh seperti yang diharapkan. Syarifah tak sanggup membayangkan kala dirinya stres melihat ibunya menangis histeris. 
ADVERTISEMENT

“Umi saya histeris nangisnya, saya begitu stres melihat poligami yang dilakukan waled saya. Tapi Umi saya begitu mencintai waled saya. Dia tetap memilih satu-satunya waled saya sebagai lelaki yang dicintai,” ujarnya. 
Beranjak dari pengalaman sang ibu, saat ingin menikah Syarifah berkata jujur kepada calon suami kalau dirinya merupakan anak korban poligami. Dia tidak ingin hal dirasakan ibunya terulang kembali. 
“Menjelang pernikahan saya sampaikan saya anak korban poligami. Saya tidak mau melanjutkan pernikahan ketika Abang mau berpoligami atau nanti saya akan mundur,” ceritanya. 
Ilustrasi poligami. Foto: Indra Fauzi/kumparan

Diundang sebagai salah seorang pembicara dalam diskusi tersebut, Syarifah melihat aturan mengenai perkawinan lebih dari satu itu sama dengan UU perkawinan, maka sebaiknya poin tentang poligami dalam qanun Hukum Keluarga itu dihapuskan saja. 
ADVERTISEMENT
“Sama dengan UU Perkawinan, saya pikir ini hanya memperberat masalah yang sejatinya sudah diatur,  jadi tidak perlu lagi. Hadirnya qanun ini bukan jaminan untuk mengurangi nikah siri. Jangan paksa istri untuk menerima poligami dan memberi izin,” ujarnya. 
“Tidak begitu urgent harus diatur karena isinya sama dengan UU Perkawinan dan juga dalam Alquran. Jika disahkan pun tidak ada efek karena itu sudah diatur semua. Kecuali qanun itu membuat misalnya ada mahar gratis diberikan oleh pemerintah Aceh atau ada pembatalan nikah untuk suami yang tidak adil itu yang tidak ada. Kalau yang lain itu sama persis seperti dalam UU,” tambahnya.