Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
ADVERTISEMENT
Mahkamah Agung (MA) telah memvonis lepas eks Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung, pada 9 Juli 2019.
ADVERTISEMENT
Namun putusan itu tak bulat, alias terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion). Dari tiga anggota majelis kasasi, satu hakim agung yakni Salman Luthan meyakini perbuatan Syafruddin merupakan korupsi.
"Telah terjadi perbedaan pendapat (dissenting opinion) dalam musyawarah majelis hakim dan telah diusahakan dengan sungguh-sungguh, tetapi tidak tercapai mufakat. Maka sesuai dengan ketentuan Pasal 30 ayat (3) UU MA perbedaan pendapat dari Ketua Majelis yaitu hakim agung Salman Luthan dimuat (dalam putusan)," bunyi salinan putusan kasasi Syafruddin, Selasa (1/10).
ADVERTISEMENT
Dalam pertimbangan hukumnya, Salman menyatakan argumen Syafruddin yang menilai perkaranya merupakan ranah perdata atau adminstrasi tidak tepat.
Salman mengatakan, argumen perdata tidak tepat lantaran Syafruddin dengan wewenangnya sebagai Kepala BPPN, telah menerbitkan SKL BLBI untuk BDNI. Sehingga negara kehilangan hak penagihan piutang kepada Sjamsul Nursalim sebesar Rp 4,8 triliun.
"Yang secara tidak langsung menimbulkan kerugian kepada negara sejumlah piutang tersebut bukan merupakan masalah perdata, tetapi merupakan masalah tindak pidana korupsi," kata Salman dalam pertimbangan hukumnya.
Salman menilai kesalahan Syafruddin yakni mengatakan bahwa Sjamsul Nursalim tidak melakukan misrepresentasi (tidak membuka informasi yang sebenarnya) terhadap utang petambak yang diserahkan ke BPPN. Hal itu disampaikan Syafruddin saat memimpin rapat di BPPN pada 21 Oktober 2003.
Hal itu bertolak belakang dengan keputusan BPPN sebelumnya yang menolak permintaan Sjamsul Nursalim agar utangnya ke BLBI dikurangi guna menutupi kerugian BPPN akibat adanya misrepresentasi. Sebab Sjamsul menyatakan aset petambak senilai Rp 4,8 triliun yang diserahkan ke BPPN untuk membayar utang BLBI sebagai piutang lancar.
ADVERTISEMENT
Padahal hasil audit financial due dilligence (FDD) oleh Kantor Akuntan Publik Prasetio Utomo & Co (Arhtur Andersen) dan Legal Due Dilligence (LDD) oleh Kantor Hukum Lubis Gani Surowidjojo (LGS), menyatakan piutang BDNI kepada petambak merupakan kredit macet.
Namun karena berkukuh bahwa Sjamsul tak melakukan misrepresentasi, Syafruddin dalam sidang kabinet terbatas tanggal 11 Februari 2004 melaporkannya kepada Presiden Indonesia saat itu, Megawati Soekarnoputri. Dalam rapat itu, Syafruddin menyatakan aset petambak milik Sjamsul yang diserahkan ke BPPN berjumlah Rp 3,9 triliun. Namun hanya Rp 1,1 triliun yang bisa ditagih BPPN ke petambak. Sedangkan Rp 2,8 triliun sisanya diusulkan untuk dihapus.
"Namun pada rapat tersebut tidak ada penetapan hutang petambak kepada BPPN," kata Salman.
ADVERTISEMENT
Syafruddin, kata Salman, kembali mengusulkan hal yang sama kepada Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) pada 12 Februari 2004. Padahal dalam rapat kabinet terbatas itu, tak ada penetapan untuk menghapus utang petambak Rp 2,8 triliun.
Sehari setelahnya,Dorojatun Kuntjoro-Jakti selaku Ketua KSSK menandatangani keputusan yang menyetujui usulan Syafruddin dengan menghapus utang petambak Rp 2,8 triliun.
Atas dasar itu, Syafruddin pada 26 April 2004 menandatangani SKL BLBI yang menghapus kewajiban Sjamsul Nursalim membayar utang BLBI.
Adapun terkait argumen perkaranya merupakan ranah adminstrasi juga ditolak Salman. Menurut Salman, meski perbuatan Syafruddin menerbikan SKL berdasarkan wewenang formal yang dimilikinya, tetapi hal itu tidak sesuai dengan tujuan ia menjabat Kepala BPPN yakni menyehatkan perbankan dan untuk mengusahakan penyelamatan uang negara.
ADVERTISEMENT
"Bahwa perbuatan terdakwa (Syafruddin) menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham kepada Sjamsul Nursalim bukan perbuatan hukum administrasi. Tetapi perbuatan melawan hukum yang masuk kualifikasi korupsi yang dilegalisasi dengan sebuah ketetapan/keputusan hukum yang dibuat oleh terdakwa tetapi tanpa dasar moralitas hukum dan moralitas jabatan," jelas Salman.
Meski menyatakan perbuatan Syafruddin merupakan korupsi, namun Salman kalah suara. Sebab dua hakim lainnya yakni Syamsul Rakan dan Mohamad Askin menilai perbuatan Syafruddin merupakan ranah perdata dan administrasi.