Alvin Lie, Fadli Zon, dan Johan Budi Bicara soal Korupsi hingga Pemicu RUU KPK

10 Maret 2021 19:10 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Anggota Ombudsman RI Alvin Lie memberikan keterangan saat menggelar pertemuan untuk meminta klarifikasi PLN di Kantor Ombudsman RI, Jakarta, Kamis (8/8/2019). Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Anggota Ombudsman RI Alvin Lie memberikan keterangan saat menggelar pertemuan untuk meminta klarifikasi PLN di Kantor Ombudsman RI, Jakarta, Kamis (8/8/2019). Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
Eks Komisioner Ombudsman RI Alvin Lie mengungkapkan, kehadiran lembaga independen antikorupsi saat ini sangat dibutuhkan. Sebab, tindak pidana korupsi di Indonesia sudah mengakar sehingga sulit ditangani jika tidak ada lembaga independen.
ADVERTISEMENT
"Korupsi dilakukan oleh orang-orang yang berada atau memiliki kekuasaan. Jadi apabila kita tidak memiliki badan antikorupsi khusus yang independen, hampir mustahil untuk perangi korupsi terutama di negara-negara di mana korupsi sudah mengakar," kata Alvin dalam acara diskusi "Berkaca pada Interaksi antara Parlemen dan Lembaga Anti Korupsi dalam Pemberantasan Korupsi", Rabu (10/3).
Acara itu diprakarsai oleh Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI yang bekerja sama dengan Westminster Forum for Democracy (WFD) dan Global Organization of Parliamentarians Against Corruption (GOPAC). Selain Alvin Lie, hadir beberapa tokoh lain secara virtual seperti Fadli Zon hingga Johan Budi.
Ilustrasi Korupsi. Foto: Indra Fauzi/kumparan
Alvin mengatakan, korupsi terjadi karena adanya biaya politik yang tinggi demi sebuah jabatan. Sebagai contoh, ketika anggota DPR terpilih, kemudian melakukan korupsi untuk mengembalikan modal awal yang dikeluarkan.
ADVERTISEMENT
"Orang-orang yang memiliki kekuasaan terutama mereka yang duduk dan diberikan kekuasaan politik, berupaya melakukan korupsi, salah satu alasannya adalah mungkin karena biaya politik. Mengapa anggota parlemen terlibat korupsi karena mereka harus memulihkan biaya-biaya yang sudah mereka keluarkan" ucap dia.
"Untuk melakukan kampanye, untuk bisa terpilih, janji-janji mereka terhadap konstituen mereka. Hal ini menunjukkan bahwa korupsi tidak dapat dihapuskan hanya dengan bekerja dengan orang-orang yang memiliki kekuasaan saja, tetapi kita juga harus menanamkan nilai-nilai baru bagi masyarakat," tambah Alvin.
Fadli Zon klaim bukti PKI dalang G30S. Foto: Youtube: Fadli Zon Official
Sementara Ketua BKSAP Fadli Zon menuturkan sempat muncul anggapan KPK menjadi lembaga yang terlalu berkuasa sehingga mengakibatkan penyalahgunaan kekuasaan.
Hal itu kemudian memicu revisi UU KPK untuk mengawasi kinerja KPK.
"Lembaga antikorupsi Indonesia dapat dianggap sebagai salah satu lembaga antikorupsi terkuat di dunia, tetapi juga terdapat perdebatan tahun-tahun terakhir bahwa KPK terlalu berkuasa sehingga dapat mengakibatkan penyalahgunaan kekuasaan," kata Fadli.
ADVERTISEMENT
"UU baru digunakan dan juga badan baru dibentuk untuk mengawasi KPK dalam melakukan penegakan hukum. Beberapa perubahan juga sudah dilakukan seperti misalnya status staf KPK, bagaimana hubungan antara Dewas KPK, KPK dan parlemen, bagaimana independensi KPK dilindungi tapi di saat bersamaan tetap mereka dapat bertanggung jawab atau akuntabel terhadap publik melalui parlemen," jelas Fadli.
Mantan Jubir KPK dan Jubir Istana yang menjadi Anggota DPR RI periode 2019-2024 dari fraksi PDI Perjuangan Johan Budi (tengah) melambaikan tangan usai mengikuti Sidang Paripurna MPR ke-2 di Ruang Rapat Paripurna, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (2/10/2019) Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/hp.
Sedangkan anggota Komisi III Fraksi PDIP Johan Budi menjabarkan sejumlah persepsi yang muncul antara DPR dan KPK sebelum adanya revisi UU KPK yakni periode 2005-2019.
Eks jubir KPK itu menuturkan, dalam kurun waktu tersebut, KPK menganggap DPR selalu mengintervensi hukum. Kemudian, DPR dianggap membatasi ruang gerak.
"Dulu persepsi KPK terhadap DPR di publik itu, DPR ini selalu intervensi proses hukum yang ada di KPK. Sekali lagi ini persepsi yang saya gambarkan. Kemudian membatasi ruang gerak KPK, kemudian dulu selalu dikatakan kalau DPR yang bicara seolah-olah ingin KPK itu jangan banyak melakukan penangkapan tapi lebih banyak pencegahan," kata Johan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, persepsi DPR terhadap kinerja KPK selalu buruk karena tebang pilih dalam penanganan kasus hingga seringkali melakukan abuse of power.
"Kita balik persepsi DPR terhadap KPK, dulu sering kali kita dengar KPK tebang pilih, ada kepentingan politik dalam mengusut sebuah kasus apalagi kasus itu melibatkan anggota parlemen. Kemudian ada abuse of power yang dilakukan KPK, seolah-olah berada di atas UU. Sekali lagi ini persepsi yang dimunculkan dalam periode 2005-2019," jelas dia.
Meski begitu, Johan mengaku belum mengetahui pengaruh adanya UU KPK yang baru terkait persepsi terhadap kinerja KPK dan DPR. Sebab, ia merupakan anggota baru komisi III yang sebelumnya merupakan anggota komisi II DPR.