Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Amien Rais: Hanya Orang Dungu yang Bilang Politik di Masjid Tak Boleh
30 April 2018 11:32 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
ADVERTISEMENT
Di usianya ke-74 tahun, Amien Rais tampak bugar bergerak ke sana kemari. Satu hari itu saja, Kamis (26/4), ia ‘lompat-lompat’ dari DPR di Senayan ke Pejaten, sambung ke Condet. Macam tak ada capeknya.
ADVERTISEMENT
Di Pejaten, kala ia mengisi acara peluncuran buku I Am Sazahra karya putrinya, Hanum Salsabiela, kami menemuinya. Maklum, Amien sedang jadi incaran media setelah dua pernyataannya bulan ini bikin geger.
Pertama, karena tausiyahnya pada acara Gerakan Indonesia Salat Subuh Berjemaah, Jumat (13/4), di Masjid Baiturrahim, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan itu mendikotomikan antara partai Allah dan partai setan. Ini membuat ia dilaporkan oleh Cyber Indonesia ke Kepolisian atas dugaan ujaran kebencian.
Kedua, gara-gara ceramahnya di Balai Kota DKI Jakarta dalam acara tasyakuran Ustazah Peduli Negeri, Senin (24/4).
Di sana, Amien menunjuk-nunjuk foto Presiden Jokowi dan meramalnya tak akan menang di Pilpres 2019. Ia juga menganjurkan agar para ustazah, jika benar peduli pada negeri, untuk menyisipkan pesan politik di tiap pengajian mereka.
ADVERTISEMENT
Pro-kontra pun timbul. Sosok yang selama ini dikenal sebagai Bapak Reformasi itu dinilai telah menganjurkan politisasi masjid. Sebuah gagasan yang cukup berbahaya dan berpotensi memecah belah umat jika diinterpretasikan dan diimplementasikan secara serampangan.
Maka bakda magrib, sebelum Amien bertolak menuju markas Persaudaraan Alumni 212 di Condet, kami mencuri sedikit waktunya untuk berbincang singkat. Berikut petikannya.
Anda sudah berkali-kali melontarkan kritik keras. Ada keresahan apa?
Perjalanan bangsa kita ini semakin tidak terkendali. Kita ini, menurut saya, sudah menjadi negara yang di atas kertas masih berdaulat, tetapi ekonomi kita, semua dimensi kehidupan nasional kita, sudah tidak di tangan kita.
ADVERTISEMENT
Jadi kalau saudara melihat, yang menguasai aset di kebun sawit, yang menguasai saham paling besar di perbatubaraan, mineral, gas, minyak, dan lain-lain, itu sudah bukan rancangan kita lagi.
Yang lebih lebih gawat lagi, saya heran, di zaman Pak Jokowi itu memang ada yang dianakemaskan. Hampir semua China, semua infrastruktur. Tenaga kerja dari China itu berlebihan. Jadi menurut saya, nggak usah mengelabui.
Cara yang Anda tempuh cukup frontal dan kerap membawa identitas Islam, mengapa?
Ya, karena buat orang Islam seperti saya ini, yang dilahirkan di keluarga Islam, yang setiap hari masih baca Al-Quran, itu yakin sekali bahwa Al-Quran itu pedoman abadi anak cucu Adam, terutama umat Nabi Muhammad SAW ini sampai akhir zaman.
ADVERTISEMENT
Jadi dalam Al-Quran, yang pertama-tama diajarkan, benang merah atau benang emas Al-Quran itu namanya justice, keadilan. Setiap khatib turun dari mimbar pergi ke tempat imam, pasti membaca “Innallaha ya’murukum bil adli wal ikhsan--sesungguhnya Allah mewajibkan kepadamu, wahai orang beriman, menegakkan keadilan dan berbuat kebajikan.”
Di tempat (ayat) lain dikatakan, jangan sampai orang Islam itu hanya amar makruf nahi munkar, tapi juga harus al amru bil adli wa nahyu anil dzulmi. Ini doktrin kedua yang dilupakan oleh umat Islam kebanyakan, yaitu menancapkan keadilan sosial, ekonomi, politik, hukum, pendidikan, untuk semua anak bangsa. Jangan malah membiarkan kezaliman di berbagai bidang itu berjalan terus.
Sesungguhnya buat saya Al-Quran itu sumber hukum, sumber moral, sumber etika. Al-Quran itu bukan book of law, bukan kitab hukum pidana atau perdata, bukan. Tapi Quran itu nilai-nilai kongruen, sama sebangun dengan kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Jadi mengapa orang Indonesia ini dengan mudah menerima Pancasila? Karena lima sila itu ada dalam Al-Quran.
Maaf, hanya orang dungu dan superbodoh (yang bilang) Islam nggak boleh bicara politik di masjid. Itu harus dikatakan.
Islam itu agama dunia. Akhirat itu besok, hanya tinggal panen. Islam itu agama dunia, bukan agama akhirat. Makanya disuruh mendekatkan keadilan, menyantuni anak yatim, membagi modal--tidak boleh dipegang sekelompok kecil, dan lain-lain, karena Islam itu agama dunia.
Sehingga kalau ada orang Islam mengatakan, “Masjid nggak boleh ada khotbah politiknya.” Wah, itu namanya orang munafik. Orang munafik itu rijsun (kotor, haram, najis, atau kufur). Istilahnya kasar sekali, itu Al-Quran yang bilang.
Soal politik, saya sudah pergi sangat jauh. Saya (membaca) teori-teori Barat, teori Marxisme-Leninisme. Saya pernah mengklaim kalau soal teori Marxisme itu saya lebih pandai dari Aidit, dari siapapunlah. Karena saya itu punya Certificate on East European Studies and Soviet Studies. Tetapi saya baca Al-Quran.
ADVERTISEMENT
Al-Quran ini luar biasa. Jadi kalau kita orang Islam modern, mengambil nilai dari wahyu yang sifatnya universal dan abadi itu, dikonfrontasikan dengan bangsa yang tentu (memiliki) kekhasan masing-masing, apakah itu Malaysia, Irak, Mesir, Indonesia, itu insya Allah akan lebih lempeng, tidak zig-zag. Karena Al-Quran itu memberikan acuan yang abadi.
Jadi jika ada sok negarawan, sok politisi, yang membuang kitab suci ke lemari es dan (hanya) menggunakan akalnya, ini pasti akan sesat, karena akal itu untung dan rugi.
Anda tidak takut pesan politik yang disisipkan dalam pengajian akan memecah belah umat?
Ini, maaf, orang-orang sekuler yang cebong-cebong itu mau menggurui kita. Israel adalah satu negara yang paling rasialis, paling imperialis, paling ekspansionis, tapi mereka katakan sebagai negara yang bagus.
ADVERTISEMENT
Amerika itu negara yang sangat rasialis, negara yang berpihak pada kaum kaya, kaum miskin tetap miskin. Tapi (mereka katakan), “Amerika hebat lho.”
Apakah ada batasan pesan politik macam apa yang mestinya disisipkan itu?
Semua urusan dunia di masjid, sah.
Bagaimana jika masing-masing masjid jadi punya afiliasi partai politik sendiri-sendiri?
Masjid itu harus untuk semuanya. Tidak boleh masjid untuk orang Golkar, masjid orang Muhammadiyah, nggak ada.
Bagaimana bila nanti masjid digunakan sebagai bagian dari strategi politik?
ADVERTISEMENT
Nah, itu yang dinamakan masjid dirar (pembangkang). Al-Quran mengatakan, “Ingat ada orang-orang yang mendirikan masjid dirar untuk memecah-belah orang Islam, untuk memata-matai orang-orang yang memperjuangkan kebenaran.”
Seperti apa batasan masjid dirar dan masjid bukan dirar?
Masjid dirar itu di zaman nabi untuk memata-matai orang Islam sejati. Yang didalami bukan Al-Quran, tapi kemusyrikan, kekafiran, cuma selubungnya masjid.
Masjid dirar dalam konteks Pilpres ini?
Terserah saja, penafsiran masing-masing. Untuk orang yang seperti saya, akan kelihatan.
Misal, imbas pesan politik yang disisipkan di pengajian, ke depannya ada masjid #2019gantipresiden dan #2019tetapjokowi. Itu bagaimana?
Nggak masalah, asal demokratis.
ADVERTISEMENT
Saya pesan pada Jokowi, “Bung Jokowi, mari kita bertarung gentle. Duel tapi gentle.”
Syaratnya tiga. Pertama, jangan sekali-kali gunakan politik uang. Uang itu aib, karena begitu menang, presiden akan berutang budi pada uang itu.
Kedua, jangan lagi menggunakan hukum untuk kepentingan politik. Misal KPK disuruh mengejar lawan politik, tapi kalau teman jangan (dikejar), dilindungi, kurang bukti.
Ketiga, jangan pernah meminta bantuan asing.
Soal partai setan dan partai Allah?
Itu sudah kuno. Tinggal baca Al-Quran.
------------------------
Ikuti terus Kontroversi Amien Rais di Liputan Khusus kumparan.