Lipsus Banjir Bandang di Puncak Bogor

Amukan Ciliwung di Awal Ramadan

17 Maret 2025 20:02 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Hera termangu Senin pagi (3/3). Ia tak menyangka jembatan di Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, yang sehari-hari ia lewati putus. Padahal jembatan sepanjang 50 meter itu merupakan jalurnya mengais nafkah sebagai tukang ojek. Ia hanya bisa pasrah dengan musibah di awal Ramadan yang menimpanya dan sejumlah warga di Cisarua, Puncak, Bogor.
Menurut Hera, jembatan putus usai diterjang banjir bandang Sungai Ciliwung pada Minggu (2/3) malam. Putusnya jembatan itu membuat pemasukan hariannya sebagai tukang ojek menurun.
Hera yang biasanya mengantar wisatawan dengan menyeberangi jembatan tersebut terpaksa setengah menganggur beberapa hari setelah banjir bandang. Sebenarnya ada jalan alternatif dengan memutar, tapi tentu saja jaraknya lebih jauh dan otomatis biaya bensin bertambah.
Di hari normal, Hera biasa beli bahan bakar untuk motor bebeknya dua hari sekali. Kini setelah jembatan putus, bahan bakar di tangki motornya hanya bertahan sehari. Dari yang biasa bisa mendapat ratusan ribu rupiah per hari, sekarang pendapatannya hampir nihil. Bila pun ada, hanya menutup untuk membeli bensin.
“Untuk [dampak] perputaran ekonomi, khususnya saya ojek di sini sangat benar-benar turun,” kata Hera bercerita sambil menunggu tumpangan, Rabu (12/3).
Jembatan dan jalan terputus akibat diterjang banjir bandang di Kampung Pensiunan, Desa Tugu Selatan, Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (3/3/2025). Foto: Yulius Satria Wijaya/ANTARA FOTO
Sekitar 20 meter dari tempat mangkal Hera dan kawan-kawannya, beberapa anggota TNI AD melemparkan batu satu per satu ke dasar jembatan yang telah putus. Para tentara itu ikut membangun kembali jembatan penghubung Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan, Cisarua, di kawasan Puncak itu.
Warga Cisarua lainnya, Linda, juga hanya bisa mengelus dada. Barang dagangannya yang bernilai Rp 15 juta tersapu ganasnya luapan Sungai Ciliwung. Ibu tiga anak itu baru saja berbelanja sembako, menambah stok dagangan menyambut bulan Ramadan.
Linda menambah stok beras lebih banyak dari biasanya. Tapi Minggu (2/3) malam, Sungai Ciliwung meluap dan menggenangi rumahnya. Dagangan dan perabotan rumah terendam air. Jajanan ringan yang tergantung lebih rendah dari yang lainnya juga ikut hanyut. Linda dan suami hanya sempat menyelamatkan diri dan ketiga anaknya. Mereka mengungsi di masjid yang berada di ketinggian di sekitar Jalan Raya Puncak.
Senin (2/3) pagi saat air mulai surut, Linda mencoba menengok rumahnya. “Sudah berantakan semuanya, Ya Allah,” tutur Linda mengulangi responnya saat melihat ruang rumahnya dipenuhi air dan lumpur.
“Aku enggak mikir mau nyelamatin beras atau apa ya, pada kerendam, nggak ada [yang selamat], abis,” kenangnya.
Linda, warga Desa Tugu Utara, Cisarua, yang terdampak banjir bandang Ciliwung. Foto: Subhan Zainuri/kumparan
Di saat umat Islam khusyuk menjalani ibadah awal Ramadan, Linda malah mendapati malam mencekam. Minggu (2/3) itu hujan intensitas tinggi mengguyur Bogor, termasuk sebagian besar wilayah Jabodetabek.
Malamnya, debit air Sungai Ciliwung di bagian hulu, termasuk di Desa Tugu Utara, meninggi. Meski begitu, Linda tak menghiraukan secara khusus karena hujan deras memang biasa di Puncak, terutama pada musim basah.
Namun sekitar 30 menit kemudian Linda panik. Ia mendengar gemuruh disertai batuan yang terbawa arus deras Sungai Ciliwung. Spontan, Linda lari ke kamar mandi mengecek apakah suara tersebut berasal dari sana. Ia sekaligus memastikan kamar mandi tak ada kerusakan.
Celakanya, sekeluarnya dari kamar mandi, Linda menemui ruang rumahnya sudah tergenang air. Kursi sofanya hampir teredam. Lemari pendingin dan mesin cuci juga tak sempat diselamatkan hingga akhirnya ikut teredam.
Linda hanya berusaha mengungsikan diri dan anaknya kala mendengar imbauan kepala lingkungan. Kaca rumah Linda gemetar terguncang gelindingan batu di kali. Air juga semakin meninggi di dalam rumahnya.
“Aku keluar kamar mandi sudah segini [airnya - sekitar setengah meter - red]. Mana bisa aku nyelametin yang lain. Kata Pak RT ‘tinggalin-tinggalin’,” ucap Linda.
Kondisi rumah Linda usai diterjang banjir bandang kali Ciliwung. Foto: Dok. Istimewa
Momen serupa dialami Arif Rianto, warga kampung Leuwimalang, Cisarua. Ia seorang kuli di sebuah pembangunan vila di kawasan puncak. Ia tinggal di Cisarua sejak 2018.
Malam itu Arif hendak terlelap bersama dingin disertai hujan deras. Saat hendak terlelap, Arif dikagetkan dengan ketinggian air sungai yang mengalir di bagian bawah gubuk panggungnya. Padahal gubuk berdinding tripleks itu berdiri di tanggul atas yang berjarak 4-5 meter dari dasar sungai.
Arif segera keluar dari gubuknya mengecek kondisi sungai. Ia menjumpai air sungai meninggi dan mulai menggerogoti tanggul bronjong di seberang gubuknya. Beberapa menit kemudian, bronjong lepas seperti longsor.
Setelahnya, air turut menggerogoti dasar pondasi jembatan Hankam Cisarua. Kondisi air paling ekstrem, kata Arief, terjadi pada pukul 20.00 WIB sampai 22.00 WIB. Luapan airnya membuat jembatan putus sekaligus membuat Arif tak bisa tidur lagi.
“Saya sampai pagi [tidak tidur]. Pokoknya dua malam yang enggak bisa tidur,” ujar Arif saat ditemui kumparan di gubuknya yang sedikit bersandar ke beton jembatan Hankam.
Foto udara kondisi jembatan Ciliwung yang putus akibat meluapnya sungai Ciliwung di Desa Jogjogan, Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (3/3/2025). Foto: Yulius Satria Wijaya/ANTARA FOTO

Banjir Bandang Terparah di Hulu Ciliwung

Linda dan Arif sama-sama tinggal di bantaran Sungai Ciliwung. Kontrakan seluas 5x5 m2 yang jadi rumah tinggal Linda bahkan berdiri persis di bibir kali. Teras rumahnya bersentuhan langsung dengan air sungai. Kontrakannya hanya dibatasi tembok setinggi 2 meter. Pagar tersebut sekaligus sebagai penahan air agar tak langsung mengalir ke teras.
Kendati rumahnya paling terdepan dihantam sungai, tapi Linda tak pernah mengira ancaman Sungai Ciliwung akan seberbahaya itu.
Ia sudah tinggal di Cisarua sejak lahir, tapi belum pernah menjumpai luapan Sungai Ciliwung sampai merubuhkan jembatan. Walaupun banjir besar juga pernah melanda di tahun 2018 dan 2021.
Kondisi rumah di bantaran sungai Ciliwung yang terdampak banjir bandang di Kampung Pensiunan, Desa Tugu Selatan, Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (3/3/2025). Foto: Yulius Satria Wijaya/ANTARA FOTO
Arif juga mengingat dua peristiwa bencana tersebut. Namun bagi Linda dan Arif, banjir Maret 2025 lebih merusak dibandingkan sebelum-sebelumnya. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat banjir bandang awal Maret mengakibatkan 7 jembatan di Kecamatan Cisarua rusak berat, bahkan hingga putus.
“Kalau banjir cuma semata kaki itu sih sering. Cuma kejadian sampai sekarang [banjir] gede gitu, baru kali ini ngerasainnya,” ucap Linda.
Rumah Linda sebenarnya termasuk dalam kawasan hulu. Tempat tinggalnya hanya berjarak sekitar 20 km dari titik nol hulu Sungai Ciliwung yang ada di kawasan Puncak Bogor.
Namun tahun ini Sungai Ciliwung menggila sampai bagian hulu juga terdampak. Sehingga tak mengherankan di hilir – Bekasi sampai Jakarta – yang jadi tempat bermuara tiga kali besar di Puncak, terendam banjir besar.
Personel TNI/Polri membersihkan material sisa banjir bandang di Kampung Pensiunan, Desa Tugu Selatan, Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (3/3/2025). Foto: Yulius Satria Wijaya/ANTARA FOTO
Secara luas wilayah, banjir Maret 2025 melanda 8 kabupaten/kota, 90 kecamatan, 113 kelurahan, dan 105 desa. Dampak banjir tersebar dari Bogor hingga Tangerang Selatan.
Tercatat banjir di Kabupaten Bogor mengakibatkan 1.399 warga terdampak. Lalu di DKI Jakarta ada 4.247 warga yang terdampak. Sementara yang terparah di Kota maupun Kabupaten Bekasi dengan jumlah 122 ribu warga terdampak.
Hera tak heran banjir kali ini begitu merusak. Ia menyebut bahwa ini adalah amukan akibat kerusakan alam di Puncak Bogor. “Alam sudah marah,” kata Hera.
Kerusakan yang dimaksud Hera adalah alih fungsi hutan menjadi bangunan vila maupun tempat wisata. Tetua di Cisarua, Yudi Wiguna, juga menilai ambisi pembangunan wisata di Puncak jadi salah satu penyebab bencana ekologi.
“Dengan keadaan sekarang seperti ini Puncak ya jangan salahkan masyarakat. Salahkanlah mereka-mereka para pengusaha dan penguasa yang setali tiga uang,” kata Yudi.
“Daerah resapan dibangun serta merta dengan gila. Hal yang bodoh. Ke mana mata mereka? Di mana telinga mereka?” ucap Yudi geram.
Kondisi tempat wisata Hibisc Fantasy Puncak yang kini disegel dan dibongkar pada Kamis (13/3/2025). Foto: Subhan Zainuri/kumparan
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten