Ancaman Sungai Citarum

23 Maret 2018 7:35 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Sudah berapa dekade berlalu sejak pertama kali Citarum “menjawil” manusia minta diperhatikan, hingga kini ia melempar ragam penyakit sampai banjir bandang sebagai peringatan kepada manusia yang kerap menyengsarakannya.
ADVERTISEMENT
Bagaimana tak sengsara bila berton-ton limbah selama puluhan tahun ditumpahkan ke aliran Citarum, memaksa sungai itu menelan begitu saja segala keburukan dunia.
Dari hulu ke hilir, Citarum dan Manusia bak musuh bebuyutan yang saling melempar borok. Hasilnya: kerusakan di depan mata.
Suasana di Citarum. (Foto: Prima Gerhard/kumparan)
Aliran Sungai Citarum menghidupi puluhan juta jiwa di 13 kabupaten/kota di tanah Sunda. Ya, tanah Sunda yang kata pepatah, “makmur jelmana, hejo ngemploh leweungna, recet manukna, curcor caina, cing siriwig laukna,” (makmur manusianya, hijau lebat hutannya, banyak burungnya, melimpah airnya, banyak ikannya).
Pepapah itu tepat betul--puluhan tahun silam. Sebelum manusia berulah dan bencana mengetuk pintu lalu menerabas masuk tanpa ampun.
Dulu, Heri Ferdian masih merasakan segarnya air Sungai Citarum di desanya, Tarumajaya Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung, yang terletak di kaki Gunung Wayang.
ADVERTISEMENT
Saat itu, akhir 1980-an atau awal 1990-an, Heri masih di bangku sekolah dasar. Ia bersama teman-temannya sering menghabiskan waktu sore dengan bersenang-senang di Citarum hingga senja datang.
Tapi kebahagiaan itu tak bertahan lama. Zaman berubah. Pada periode 1990-an, banyak pensiunan petani dari perkebunan kina PTPN VIII (bekas BUMN perkebunan “warisan” pemerintah Hindia Belanda yang beroperasi di Jawa Barat) pindah ke Desa Tarumajaya.
Para petani itu pensiun karena faktor usia. Mereka yang semula hidup di lahan perkebunan, harus mencari tempat tinggal baru dengan uang pesangon tak seberapa. Akhirnya mereka membangun rumah di bantaran sungai, sekitar 500 meter dari Situ Cisanti--danau buatan di Desa Tarumajaya yang menampung air dari tujuh mata air utama Sungai Citarum.
ADVERTISEMENT
“Karena lahan (dengan hak) milik itu mahal dan sangat jarang ada orang yang menjual lahan, akhirnya banyak yang membeli lahan murah di badan sungai. Itu juga istilahnya bukan ‘beli tanah’ karena kan statusnya tanah negara. Artinya hanya ngebayarin (menyewa) tanah garapan (untuk ditinggali),” ujar Heri di kediamannya, Tarumajaya, Kamis (15/2).
Tak cuma harus mencari tempat tinggal baru, para petani itu juga harus memperoleh pekerjaan baru. Ada yang tetap menjadi petani dengan bertani sayuran, ada juga yang beralih profesi menjadi peternak sapi perah.
Ternak sapi perah saat itu memang menghasilkan keuntungan yang lumayan, cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Alhasi, kandang-kandang sapi kian banyak. Masalahnya, kandang-kandang itu dibangun di pinggir sungai.
Peternakan sapi di pinggir sungai Citarum (Foto: Prima Gerhard/kumparan)
“Peternak sapi lebih memilih beternak sapi di pinggir kali, supaya limbahnya bisa langsung ke kali,” kata Heri.
ADVERTISEMENT
Kotoran sapi dan sisa pakannya, juga limbah dapur dan kamar mandi dari rumah-rumah di pinggir Citarum, digelontorkan langsung ke sungai, dan itu menjadi awal pencemaran di zona hulu inti Citarum--yang kemudian menyebar masif sampai hilir, dan tak putus mendera Citarum hingga kini.
Pencemaran di hulu inti daerah aliran sungai (DAS) Citarum itu tentu menjadi perhatian, sebab wilayah Gunung Wayang sejatinya berfungsi sebagai area tangkapan air demi menjaga keseimbangan alam daerah-daerah di bawahnya.
Di Kecamatan Kertasari itu, sebagian besar wilayah hutan lindung telah menjelma bentangan pertanian sayur. Itu sebabnya petani di Desa Tarumajaya kerap dianggap sebagai salah satu pihak yang paling berdosa atas hilangnya lahan hutan di hulu Citarum.
ADVERTISEMENT
Heri sendiri merupakan petani sayur di kaki Gunung Wayang yang menjadi bagian dari komunitas persaudaraan Baraya Tani. Menurutnya, anggapan “petani berdosa” itu memang tak sepenuhnya salah.
Ia lantas bercerita, sejak usia remaja sudah ikut orang-orang dewasa di kampungnya membabat hutan, mengolah lahan, dan menanaminya dengan sayur.
“Saya akui, memang waktu SMP saya pernah ikut merambah hutan, membuka lahan untuk pertanian,” ujar Heri.
Perambahan hutan ini juga diceritakan oleh Maman, sesama petani di Gunung Wayang. Menurutnya, untuk membuka hutan, penduduk harus main mata dengan para pegawai perum pengelola hutan.
“Ada yang ngasih uang ke mereka, ‘main-main’ gitu,” kata Maman.
Pertanian di kaki Gunung Wayang (Foto: Ulfa Rahayu/kumparan)
Kritisnya kerusakan lingkungan di Gunung Wayang, sejumlah program ‘penyembuhan’ Citarum pun dimulai dari desa ini. Sebut saja Citarum Bergetar (Bersih, Geulis, Lestari) pada 2003, ICWRMIP (Integrated Citarum Water Resources Management Investment Program) tahun 2008, dan Citarum Bestari (Bersih, Sehat, Indah, Lestari) pada 2014.
ADVERTISEMENT
Dari program-program tersebut, ada yang mengajak petani Gunung Wayang untuk beralih komoditas dari pertanian sayur menjadi pertanian keras yang mampu menjadi penyangga tanah, seperti tanaman jarak dan murbei.
Selain alih komoditas, ada juga pogram yang tegas menutup lahan pertanian di salah satu petak Gunung Wayang. Sebagai gantinya, petani diajak beralih profesi menjadi peternak kambing dan domba.
Sayangnya, dari semua program tersebut, tak satu pun yang masih bertahan hingga kini, khususnya di Desa Tarumajaya. “Penggarap (petani) sudah mengikuti program pemerintah--alih profesi, alih komoditas. Tapi kan pasarnya tidak siap. Akhirnya saat mereka menanam sesuatu tapi tidak bernilai jual, ya (rugi, lalu tanamannya) ditebang, diganti dengan sayuran lagi,” ujar Heri.
Para petani bukannya tak tahu mengubah hutan di Gunung Wayang menjadi pertanian sayur adalah salah. Oleh sebab itu komunitas Baraya Tani pernah mengusulkan jalan keluar yang dapat mengembalikan hutan sekaligus menyejahterakan petani, yakni dengan meminta 25 hektare lahan milik negara yang saat itu ditanami sayur, sebagai tempat tinggal baru bagi para petani yang tinggal di bantaran sungai.
ADVERTISEMENT
Pada program usulan Baraya Tani itu, rumah para petani dirancang dalam konsep pertanian irit lahan. Di tiap halaman rumah, petani bisa melakukan pembibitan kayu. Bibit-bibit kayu itu nantinya bisa dibeli pemerintah untuk menghijaukan Gunung Wayang.
Program tersebut punya dua keunggulan sekaligus, yakni memindahkan atau membawa petani turun dari Gunung Wayang, dan mengalihkan mata pecaharian petani dari tani sayur ke tani pembibitan.
Sayangnya, saat itu program usulan Baraya Tani ditolak pemerintah, dengan alasan lahan pemerintah tak dapat digunakan sebagai permukiman. Namun, kini usul tersebut diakomodasi dalam program terbaru bertajuk Citarum Harum yang diluncurkan Februari 2018. Program terintegrasi dengan anggaran gabungan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah itu ditargetkan selesai dalam 7 tahun.
Pasang Surut Program Citarum (Foto: Lidwina Win Hadi/kumparan)
Jika di Kecamatan Kertasari terdapat lahan hutan yang disulap menjadi pertanian sayur, di Kecamatan Majalaya menghampar pabrik yang didominasi oleh industri tekstil. Majalaya masih wilayah hulu Citarum, 45 kilometer turun sedikit dari Desa Tarumajaya, Kertasari.
ADVERTISEMENT
Deni Riswandani, Ketua LSM Elemen Lingkungan, mengatakan ada sekitar 200 industri tekstil di Majalaya. Itu tak aneh, sebab sejak seabad lalu, Majalaya terkenal dengan industri tekstilnya. Tapi saat itu mereka masih menggunakan alat tenun bukan mesin yang tak banyak mencemari lingkungan.
Tapi, zaman berubah. Itu keniscayaan dalam gerak laju kehidupan yang kerap menggilas alam. Sejak pemerintahan Soeharto menetapkan Majalaya sebagai kawasan industri, pabrik-pabrik tekstil merajalela. Pabrik dalam arti sesungguhnya, yakni bangunan-bangunan bersenjatakan mesin untuk memproduksi barang secara massal guna diperdagangkan.
Industri-industri yang memakai alat tenun bukan mesin, kalah saing dengan pabrik yang menggunakan mesin modern. Dan celakanya, ujar Deni, penetapan Majalaya sebagai kawasan industri tak disertai perencanaan matang soal dampak industri tersebut bagi lingkungan. Akibatnya, pencemaran dan kerusakan tak terelakkan.
ADVERTISEMENT
Pabrik-pabrik di Majalaya, Kabupaten Bandung. (Foto: Prima Gerhard/kumparan)
Limbah tekstil sama sekali tak bisa diuraikan secara alami. Ia harus diolah melalui instalasi pengolahan air limbah (IPAL) yang sesuai standar ramah lingkungan. Regulasi memang tercantum jelas, mengatur bahwa setiap industri wajib mengelola limbahnya melalui IPAL.
Namun pada praktiknya, banyak pabrik tidak menggunakan IPAL sesuai ketentuan, dan dengan seenaknya membuang limbah langsung ke sungai. Pada akhirnya IPAL sekadar jadi syarat tanpa jati. Nyatanya limbah terus menggelontor ke Citarum, baik dari pabrik yang tidak memiliki IPAL, pabrik yang punya IPAL tapi tak sesuai standar, dan pabrik yang memiliki IPAL tetapi hanya dijadikan cadangan.
Semua semrawut. Riset Elemen Lingkungan (Elingan) menunjukkan, 60 persen industri di Majalaya memiliki IPAL hanya sebagai formalitas persyaratan izin pendirian usaha.
ADVERTISEMENT
Sementara tim bentukan Letjen Doni Monardo, mantan Pangdam Siliwangi yang kini menjabat Sekjen Dewan Ketahanan Nasional dan menaruh perhatian pada persoalan lingkungan, memaparkan bahwa di Jawa Barat terdapat 1.900 industri yang setiap harinya menghasilkan 340 ribu ton limbah cair, dan 90 persennya membuang tanpa menggunakan IPAL yang sesuai.
Pelanggaran-pelanggaran yang tak henti ini, di sisi lain, menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam mengembalikan kemurnian Sungai Citarum. Padahal, menurut pakar hidrologi dan lingkungan Universitas Padjadjaran Chay Asdak, menertibkan pembuangan limbah industri seharusnya tak sulit dilakukan pemerintah, sebab sudah ada hukum tertulis yang mengatur tegas.
ADVERTISEMENT
“Memang enggak mungkin ditutup semua, sebab (industri) itu kan bagian dari pembangunan daerah,” kata Chay Asdak kepada kumparan, Senin (19/3).
Limbah dari outfall pabrik langsung ke sungai (Foto: Ulfa Rahayu/kumparan)
Kenapa persyaratan IPAL, instalasi pengolahan air limbah, ini kerap tak ditaati industri?
Sebab pabrik tak mau bayar mahal. Menurut Ade Sudrajat, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia, industri yang tidak menggunakan IPAL bisa menghemat biaya Rp 200 juta sampai 300 juta setiap bulannya.
Jelas sudah, untung besar direguk pengusaha, nahas diterima lingkungan, dan penyakit diterima warga di permukiman dekat sungai. Penyakit itu pun tak cuma sejenis, tapi beragam, mulai penyakit kulit, gangguan otak, hingga kanker pembuluh darah.
Tercemarnya Citarum tak berhenti di penyakit, tapi juga berpengaruh terhadap kelangsungan pasokan listrik ke seluruh Jawa dan Bali yang bersumber dari tiga waduk, yakni Waduk Saguling, Waduk Cirata, dan Waduk Jatiluhur.
ADVERTISEMENT
Hingga kini, Citarum sakit parah. Semakin ke hilir semakin beracun. Segala borok dari hulu terbawa hingga ke Muara Gembong, tempat terakhir perjalanan air Citarum. Sampah, sedimentasi, limbah, bercampur menjijikkan menyebar penyakit ke segala arah.
Bahkan, menurut penelitian lembaga pemerhati lingkungan asal Swiss, Green Cross and Blacksmith Institute, air sungai Citarum juga mengandung timbal (timah hitam; logam berat), kadmium (logam putih), kromium (logam putih perah; keras), dan pestisida (zat beracun pembasmi hama).
Perkara Citarum dari Hulu ke Hilir (Foto: Basith Subastian/kumparann)
Bila semua itu dibiarkan, bukan tak mungkin penyakit di Citarum bakal membunuh peradaban. Gunung kehilangan hutan, nelayan kehilangan ikan, manusia kehilangan air bersih, belum lagi ancaman gulita se-Jawa dan Bali bila pasokan listrik terganggu.
Menjaga sungai adalah mutlak. Sebab melindungi air ialah merawat kehidupan.
ADVERTISEMENT
------------------------
Ikuti isu mendalam lain dengan mengikuti topik Ekspose di kumparan.