Andi Widjajanto Ragu PT TMI Bisa Monopoli Pengadaan Alutsista

7 Juni 2021 18:06 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Defile Alutsista TNI saat HUT Ke-74 TNI di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta TImur, Sabtu (5/10/2019). Foto: Helmi Afandi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Defile Alutsista TNI saat HUT Ke-74 TNI di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta TImur, Sabtu (5/10/2019). Foto: Helmi Afandi/kumparan
ADVERTISEMENT
Ahli pertahanan, Andi Widjajanto, meragukan dugaan PT Teknologi Militer Indonesia (TMI) akan memonopoli pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) sekitar Rp1.760 triliun. Pangkalnya, modal awal yang harus dimiliki terlalu besar dan sukar bagi perusahaan mana pun untuk memenuhinya.
ADVERTISEMENT
"Kalau dibilang PT TMI akan ambil semua, Rp1,7 kuadriliun, itu saya yakin, pasti tidak bisa," ujarnya dalam kanal YouTube Akbar Faizal Uncensored, dilansir pada Minggu (6/6).
"Hitungannya sederhana saja. Rp1,7 kuadriliun itu, maka dia equity-nya (penyertaan modal) kira-kira harus 30%. Dari Rp1,7 kuadriliun, katakan Rp600 triliun.” tambahnya.
Dari Rp600 triliun tersebut, lanjut Andi, PT TMI harus menyediakan dana sekitar paling tidak Rp200 triliun. "Itu terlalu besar, enggak ada yang bisa melakukan itu di Indonesia bahkan BUMN."
"Jadi, mengambil keseluruhan (proyek senilai) Rp1,7 kuadriliun dengan hitungan bisnis normal enggak akan bisa, enggak bisa dicari cara cepat untuk kuasai Rp1,7 kuadriliun itu di tangan satu entitas. Menhan pasti akan lihat BUMN dan BUMS (badan usaha milik swasta) dan diatur bareng-bareng," imbuh analis LAB45 ini.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Andi menilai, berdirinya PT TMI dalam memeriahkan industri alutsista merupakan hal wajar. Perusahaan ini dinilai melihat adanya peluang perluasan bisnis di bidang industri pertahanan seiring dengan disahkannya Undang-Undang tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker).
"UU Ciptaker menyatakan, sekarang boleh swasta jadi lead integrator memproduksi senjata. Sebelum ada UU Ciptaker, yang boleh cuma delapan BUMN," jelasnya.
Meski demikian, dia mengingatkan, swasta diperkenankan menjual dan memproduksi senjata atas izin menteri pertahanan. Kemudian, wajib ada alih teknologi sesuai mandat UU Industri Pertahanan.
Selain swasta, merujuk UU Ciptaker, investor asing kini juga diperkenankan menanamkan modal pada industri pertahanan. Sebelumnya, sektor ini masuk terlarang atau tercantum dalam daftar negatif investasi (DNI).
"Jadi, bisa aja Pindad dapat investment joint venture (JV) dengan Jerman, misalnya, seperti yang dilakukan Rheinmetall ke Turki. PT Dirgantara Indonesia juga bisa saja ke Lockheed Martin. TNI AD pengin beli black hawke? Bisa JV buat bikin fasilitas perawatan black hawke," tuturnya.
ADVERTISEMENT
"Lantas, apa masalahnya?" tanya Akbar. "Saya enggak tahu," jawab Andi.
Dirinya melanjutkan, PT TMI ataupun swasta lainnya belum bisa secara resmi bermain pada industri pertahanan sekalipun sudah mendapat "lampu hijau" dari UU Ciptaker. Alasannya, aturan turunan dari beleid sapu jagat (omnibus law) belum terbit hingga kini.
"Belum bisa bergerak karena menunggu UU Ciptaker lengkap turunannya. Selama aturan turunan belum lengkap, mereka belum bisa bergerak," ucapnya. "Mestinya aturan turunan (terbit) April 2021."