Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Lima nyawa. Harga mahal yang dibayar untuk rangkaian protes atas beragam rancangan undang-undang yang janggal dan kebijakan pemerintah yang tak cukup berpihak pada rakyat. Tindak kekerasan aparat diduga turut berperan mengubah aksi unjuk rasa jadi seolah medan perang hingga melahirkan korban.
***
Malam itu di luar salah satu rumah makan di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, Maspupah (50) hanya bisa menangis. Sementara di dalam, delapan polisi yang mengabarkan anak sulungnya tewas tengah mengisi perut mereka yang lapar.
Maspupah menunggu dengan resah, ia ingin segera tiba di rumah sakit untuk membuktikan kematian tragis anaknya. “Boro-boro saya makan. Anak saya dikabarin meninggal, malah disuruh makan,” ucap Maspupah menahan emosi saat bercerita kepada kumparan, di Tanah Abang, Jakarta Pusat, pada Kamis (17/10).
Anaknya, Maulana Suryadi (23), dikabarkan tewas setelah demonstrasi berlangsung pada 25 September di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Yadi—panggilan akrab Maulana, bukanlah demonstran. Ia hanya seorang kuli panggul di Pasar Tanah Abang yang penasaran dan ingin melihat rupa aksi unjuk rasa.
“Pamit ke saya sambil ketawa-ketawa, katanya mau lihat demo,” ucap Maspupah berkaca-kaca. Ketika semalaman Yadi tak pulang dan tak ada kabar hingga siang, Maspupah mencari-cari. Namun hingga sore, ia tak kunjung beroleh secuil kabar. Pencariannya usai ketika pada malam hari teleponnya berdering dan kabar kematian Yadi, sang tulang punggung keluarga, menjadi petaka yang tak pernah ia kira.
Ketika akhirnya tiba di Rumah Sakit Polri, Kramat Jati, Jakarta Timur, Maspupah tak kuat menyaksikan kondisi Yadi yang mengenaskan. “Telanjang bulat cuma dikasih kain selembar… Ngeliat mukanya bengkak, biru di dagu, terus ini (kuping dan hidung) berdarah,” kenangnya pilu.
Maspupah sempat menolak percaya bahwa tubuh yang telah terbujur kaku itu adalah anak sulungnya. “Saya nanya, ‘Kayak bukan anak saya mukanya’. Adiknya bilang, 'Yadi, Bu'. Saya bilang lagi ‘Kayak bukan Yadi, mukanya lain.’ Mukanya bengkak kayak digebukin,” tuturnya.
Ia kemudian bercerita bahwa polisi sempat menanyai riwayat penyakit Yadi. “Polisi sempat nanya dulu (di rumah Maspupah), ‘Ada penyakitnya enggak, Bu?’ Ya ada, penyakit bapaknya keturunan, asma.” Tapi Maspupah tak menyangka pernyataannya itu dimuat dalam surat keterangan yang didiktekan polisi kepada Peby, adik perempuan Yadi yang masih duduk di bangku SMP, sebagai alasan kematian.
Padahal, menurut Maspupah, asma yang ia maksud adalah kemungkinan penyakit keturunan dari mendiang ayah Yadi. Sementara Yadi sendiri sebenarnya belum pernah menderita asma. Pernyataan itu pun Maspupah sampaikan sebelum melihat kondisi jenazah sang anak yang penuh lebam dan berdarah-darah.
Setelah menyaksikan kondisi Yadi, Maspupah yakin anaknya tewas karena dipukuli, bukan karena gas air mata apalagi asma seperti tertulis dalam surat keterangan yang ia tanda tangani di atas materai 6000 sambil terisak. Tapi niatan untuk melakukan autopsi terhadap anaknya itu layu sebelum berkembang.
“Polisi nunjukin (foto), ‘Kayak begini nanti begitu kalau diautopsi’. Ya udah saya bilang, ‘Ya udah jangan’, anak saya nanti diambil (organ) dalamnya,” ujar Maspupah sambil mengusap air matanya. Ia ngeri melihat foto-foto yang ditunjukan polisi itu kepadanya, ia tak kuasa membayangkan itu semua.
Jenazah Yadi pun ia bawa ke rumah neneknya di Jalan Tanah Rendah 3, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Meski telah dimandikan dan hendak dimakamkan, jenazah Yadi masih sempat mengeluarkan darah dari lubang hidung dan telinga, mengubah warna kain kafan menjadi merah.
“Masih sakit hati. Masih kebayang-bayang dipukulin. Saya sih nuntut kagak. Itu kan mesti pakai uang. Kita kan enggak punya. Tukang parkir mana ada duit. Orang buat makan doang sama bayar kontrakan,” pungkas Maspupah.
Sampai dengan artikel ini diturunkan, pihak kepolisian baik Mabes Polri maupun Polda Metro Jaya menolak permintaan wawancara kumparan. Alasannya, sedang sibuk persiapan pelantikan presiden.
Korban lain, Akbar Alamsyah (19), mengembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta Pusat, Kamis (10/10). Serupa Yadi, Akbar juga hanya berniat menonton aksi unjuk rasa tapi kemudian tewas setelah demonstrasi pada 25 September itu berakhir ricuh.
Karena seharian tak ada kabar, sang ibunda, Rosminah, mulai gusar. Pada 26 September, teman-teman Akbar mendatangi rumah neneknya dan mengabarkan bahwa Akbar dibawa polisi. Mengetahui itu Rosminah segera menuju Polda Metro Jaya mencari keberadaan sang anak. Namun tak ada jawaban pasti ia dapati.
Rosminah pun pergi mendatangi Polres Jakarta Barat. Di sana ia melihat nama Akbar tertera dalam daftar orang-orang yang ditangkap Polres Jakarta Barat. Tapi Rosminah hanya diminta datang kembali esok pagi. Ia pun pulang dengan risau.
Hingga kemudian Rosminah menerima pesan berantai yang menyatakan bahwa Akbar dirawat di RS Pelni, Slipi, Jakarta Barat. Tanpa menunggu, Rosminah segera pergi ke RS Pelni. Setibanya di sana ia diberi tahu bahwa Akbar sudah dipindah ke RS Polri, Jakarta Timur.
“Kecewanya, kenapa Polres (Jakarta Barat) nggak bilang kalau Akbar sudah di rumah sakit,” ucap Irwan, kakak Akbar usai pemakaman adiknya pada Jumat (11/10).
Setelah dua hari pencarian itu akhirnya Rosminah bisa melihat anaknya. Sabtu, 28 September, keluarga Akbar tiba di RS Polri sekitar pukul 00.30. Saat itu keluarga sempat tak diizinkan melihat Akbar dengan alasan melewati waktu besuk. Baru pada Sabtu siang Rosminah diperbolehkan melihat anaknya selama 10 menit. “Wajah dan matanya lebam. Kepalanya sudah diperban, katanya habis operasi tulang kepalanya patah,” ucap Rosminah.
Tak cuma tempurung kepalanya pecah hingga merusak saraf, ginjal Akbar pun dikabarkan rusak. Menurut Rosminah, dokter sempat berkata bahwa Akbar mengalami kekerasan dari benda tumpul.
Setelah tiga hari menjalani perawatan di RS Polri, Akbar dirujuk ke RSPAD Gatot Soebroto pada 30 September. Di hari itu pula keluarga Akbar menerima kejutan lain berupa Surat Penetapan Tersangka atas nama Akbar Alamsyah karena telah melempari aparat dan merusak. Surat tersebut tak dikirimkan langsung oleh polisi, melainkan melalui kurir JNE.
“Kagetlah, dalam keadaan koma dijadikan tersangka,” ucap Fitri, kakak perempuan Akbar.
Dua hari sebelum Akbar meninggal, Kabag Penum Mabes Polri Kombes Pol Asep Adisaputra mengatakan luka yang diderita Akbar akibat terjatuh. “Akbar jatuh saat melompati pagar DPR. Jadi sementara, dugaannya bahwa Akbar luka bukan akibat kekerasan, tapi karena insiden,” ucapnya.
Namun pernyataan itu kemudian diralat oleh Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono. Di hari pemakaman Akbar, Argo mengatakan bahwa aparatnya bernama AKP Rano menemukan Akbar sudah terkapar di trotoar Slipi sebelum dibawa ke Polres Jakarta Barat.
“Jam 1.30 WIB, anggota polisi AKP Rano, yang di Jakbar saat menyisir dia menemukan laki-laki di trotoar, di Slipi. Kemudian pada pukul 03.00 pagi, setelah didata, urkes (urusan kesehatan) Polres Jakbar, memberikan pertolongan dan perawatan ke laki-laki tadi yang diketahui bernama Akbar Alamsyah,” kata Argo di Polda Metro Jaya, Jakarta.
Hingga saat ini keluarga masih mempertimbangkan langkah hukum yang kemungkinan ditempuh untuk mengungkap penyebab pasti kematian Akbar. “Mau tahu aja orangnya siapa, terus mereka tuh kayak gimana sih gituin adik saya. Enggak mungkin dia jatuh dari pagar, enggak mungkin. Dia enggak sampai ke gedung DPR kok,” ucap Fitri usai pemakaman.
Selain Akbar dan Yadi yang tewas dan menyisakan sejumlah tanda tanya, korban lainnya adalah Bagus Putra Mahendra (15), siswa kelas XI SMA Al Jihad, Jakarta Utara. Ia tewas usai disambar truk trailer di Jalan RN Martadinata, Jakarta Utara, Rabu (25/9). Saat itu Bagus dan teman-temannya hendak menuju ke Senayan untuk ikut unjuk rasa. Tapi, pada akhirnya Bagus tak pernah sampai Senayan.
Sementara di Kendari, Sulawesi Tenggara, dua mahasiswa Universitas Halu Uleo (UHO) tewas akibat peluru tajam di tengah upaya represif polisi membubarkan unjuk rasa di depan gedung DRPD Sulawesi Tenggara pada 26 September. Dada kanan Immawan Randi, mahasiswa Fakultas Perikanan dan Kelautan bolong diterjang peluru. Teman seperjuangannya, Muhammad Yusuf Kardawi (19), juga ditembak dan tewas keesokan harinya setelah sempat mendapat perawatan intensif di RS Bahteramas Kendari.
Atas peristiwa tersebut, Divisi Profesi dan Pengamanan Polri menggelar investigasi dugaan pelanggaran prosedur pengamanan demonstrasi dan menetapkan enam polisi anggota Polda Sulawesi Tenggara sebagai terperiksa. "Keenam orang yang dinyatakan melanggar Standar Operasional Prosedur (SOP) karena membawa senjata api saat pengamanan aksi unjuk rasa 26 September 2019 di gedung DPRD Sultra dibebastugaskan," kata Kabid Humas Polda Sultra AKBP Harry Goldenhart di Kendari, Senin (07/10).
Keenam personel yang berstatus terperiksa itu adalah DK, DM, MI, MA, H, dan E. Selain DK yang menjabat perwira pertama dari satuan reserse di Polres Kendari, lima orang lainnya adalah bintara dari satuan reserse dan intelijen. Hingga kini penyelidikan masih berlangsung.
Temuan terakhir usai sidang disiplin pada 17 Oktober, Kepala Biro Provost Mabes Polri Brigjen Hendro Pandowo mengakui ada yang melepaskan dua kali tembakan ke atas. Tapi keenam terperiksa itu bersikukuh tak terlibat penembakan yang menewaskan dua mahasiswa dan melukai satu orang warga. Jalan penyelidikan pun masih panjang sebab perlu pemeriksaan senjata api, selongsong, dan proyektil untuk uji balistik hingga menemukan siapa pelakunya.
Sementara alasan aparat tersebut membawa senjata api, kata Hendro, akibat mereka tak ikut apel. “Habis melakukan tugas langsung bergabung dengan teman-temannya di DPRD Sultra. Saat ini tentunya ada beberapa sanksi yang bisa dijatuhkan pada mereka, bisa teguran tertulis, tunda kenaikan pangkat, tunda gaji berkala, sampai dengan penahanan 20 hari,” ucap Hendro seperti dilansir BBC Indonesia .
Menanggapi hal tersebut, komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti meminta para pihak menunggu penyelidikan yang dilakukan Propam Polri selesai. “Kompolnas mendesak Propam Polri untuk melakukan penyelidikan juga terhadap dugaan kekerasan yg berlebihan yg mengakibatkan beberapa peserta demo luka2 atau beberapa jurnalis merasa diperlakukan tindakan sewenang-wenang,” tulisnya dalam jawaban tertulis kepada kumparan, 16 Oktober.
Meski begitu, Poengky mengatakan bahwa Kompolnas tak berwenang menginvestigasi kasus dugaan pelanggaran-pelanggaran aparat dalam menangani aksi demonstrasi secara mandiri.
Menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Arif Maulana, apa yang dilakukan kepolisian selama rentetan unjuk rasa yang terjadi bukanlah upaya penegakan hukum. Arif melihat polisi telah bertindak sewenang-wenang dan menjadi alat bagi kekuasaan untuk membungkam suara massa.
"Supaya aksi-aksi mahasiswa, aksi-aksi masyarakat sipil menentang kebijakan pemerintah yang kontroversial itu berhenti,” ujar Arif kepada kumparan di Kantor LBH Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (16/10).
Arif menegaskan, dalam menangani aksi demonstrasi di pekan terakhir September itu polisi kerap melanggar berbagai peraturan. Salah satu aturan yang diterobos adalah Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 7 tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum.
“Tindakan aparat yang melakukan kekerasan, penganiayaan, pelecehan, melanggar HAM, nggak boleh itu,” ujar Arif. Ia juga mempertanyakan dasar hukum penangkapan yang dilakukan oleh polisi. Menurutnya, undang-undang melindungi siapa saja yang menyampaikan pendapatnya di muka umum.
“Polisi melanggar KUHAP, bagaimana orang ditangkap sewenang-wenang. Ini yang ditangkap salahnya apa, karena dia aksi. Aksi tuh pelanggaran hukum nggak? Tidak,” tegas Arif.
Senada dengan Arif, Rivanlee Anandar—peneliti KontraS, meragukan pemahaman polisi soal Perkap-perkap yang seharusnya dijunjung tinggi. Ia mengambil contoh tindakan polisi saat pengendalian massa aksi di depan DPR pada Senin 30 September. Kala itu, polisi mulai menembaki massa dengan gas air mata bahkan sebelum pukul 18.00 WIB.
Padahal menurut pasal 7 ayat 1 (a) dalam Perkap Nomor 7 tahun 2012, seharusnya massa aksi masih bebas menyampaikan pendapat hingga pukul 18.00 WIB. “Atma Jaya kan disemprot gas air mata sebelum pukul 18.00 WIB. Bubar begitu cepatnya. Itu menunjukkan kalau polisi tidak belajar dari Perkap,” ujar Rivanlee.
Bagi Arif, jika ingin menegakkan hukum maka aparat pun harus patuh pada aturan hukum yang berlaku. “Ini bukan hanya melanggar hukum tapi juga HAM. Dasar hukum apa yang dipakai? Standar hukum apa? Standar hukum dan hak asasi manusia apa yang dipakai oleh polisi? Nggak ada. Jadi memang betul-betul arogansi dan brutalitas kepolisian. Dan tujuannya tadi, ini polisi jadi alat kekuasaan,” pungkas Arif.