Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Emosi atas peristiwa diskriminatif dan makian rasial terhadap mahasiswa Papua di Surabaya menjalar jadi aksi demonstrasi di mana-mana. Silaturahmi aparat kepolisian ke asrama mahasiswa Papua di berbagai kota lainnya pun dinilai sebagai bentuk intimidasi.
Ruang tengah Asrama Yahukimo Papua di Jakarta tampak ramai siang itu. Puluhan pasang mata mahasiswa sibuk memandang layar kaca, menyaksikan nyala amarah saudara di kampung halaman.
Hari itu, Senin (19/8), kota Manokwari, Jayapura, dan Sorong bergejolak gara-gara tindakan rasialis terhadap mahasiswa Papua beberapa hari sebelumnya di Surabaya. Teriakan ‘monyet’ dan ‘usir Papua’ yang dilontarkan sejumlah aparat dan ormas di sana memantik sakit hati yang selama ini terpendam di hati warga Papua.
Ketika tengah menonton siaran televisi itu mereka dikejutkan dengan kedatangan belasan aparat kepolisian dari Polsek Kramat Jati. “Sa langsung dibangunin sama adik-adik. ‘Kakak bangun, di luar ada polisi’,” tutur Gideon M. Adii, ketua asrama mahasiswa Yahukimo Papua, saat berbincang bersama kumparan, Rabu (21/8).
“Sa bangun dan kami semua kaget,” ucap Gideon. Sebab di teras asrama tujuh orang polisi berseragam dan empat aparat berpakaian bebas telah menunggu, termasuk di antaranya Kapolsek Kramat Jati Kompol Nurdin A. Rahman. “Mirip sekali dengan penggerebekan,” kesan Gideon.
Suasana panas tak dapat dihindari. Para mahasiswa dari Papua itu heran, mengapa aparat keamanan mendatangi mereka. Tindakan rasialis aparat terhadap kawan mereka di Surabaya beberapa hari lalu tak ayal membuat Gideon dan puluhan mahasiswa di sana menaruh curiga.
Kedatangan aparat di tengah gejolak emosi itu dinilai sebagai bentuk diskriminasi dan intimidasi terhadap mahasiswa Papua. Maka, tak ada jabat tangan hari itu. Kesebelas aparat itu hanya diterima di teras asrama.
“Posisi sedang panas mereka justru ke sini, itu akan menjadi masalah,” ucap Gideon.
Menurut Nurdin, kehadirannya bersama tim di asrama mahasiswa Papua itu untuk silaturahmi. “Sekalian menyampaikan, mengimbau untuk tidak ikut terprovokasi dan tidak ikut-ikutan (aksi kerusuhan di daerah lain). Kita, selaku Kapolsek Kramat Jati, punya tanggung jawab juga untuk mengamankan mereka. Ini kan masalah Papua, warga negara Indonesia,” jawab Nurdin ketika ditemui kumparan di Gedung Cawang Kencana, Jakarta Timur, 22 Agustus 2019.
Nurdin melihat rasa takut terpancar dari sebagian mahasiswa Papua tersebut. “Kata mereka, ‘Ada apa ini?’ Tapi saya jelaskan, ‘Adek-adek pernah aku datang ke sini ya?’ (mereka jawab), ‘Iya Kakak’. Tapi memang ada yang takut, beberapa anak baru kan,” ucap Nurdin.
Ia berkata bahwa sebelumnya dia pernah dua kali datang berkunjung ke Asrama Yahukimo Papua tersebut. “Bahkan ada yang punya nomor saya coba,” ucapnya.
Kedatangan Nurdin dan sepuluh polisi lainnya bukan tanpa alasan. Setelah pecah kerusuhan di beberapa kota di Papua hari itu, jajaran kepolisian diminta untuk mengantisipasi keamanan. “Perintah pimpinan adalah tolong antisipasi tempat-tempat di mana anak-anak Papua bermukim di Jakarta agar jangan sampai terprovokasi oleh kejadian yang ada.”
Maka, tak cuma asrama mahasiswa Papua di Jakarta saja yang disatroni polisi. Asrama mahasiswa Papua di daerah lain seperti di Kupang, Pontianak, Lombok, Medan, Bogor, dan Semarang, pun didatangi aparat keamanan dengan berbagai alasan.
“Sejak kejadian (di Surabaya) sampai hari ini kami dipantau, diintimidasi. Di asrama, di kosan, semua didatangi. Kami tidak nyaman,” ujar Sekretaris Umum Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Albert Mungguar di tengah aksi demonstrasi mahasiswa Papua di depan Istana Negara, Jakarta Pusat.
Albert merasa perlakuan polisi terhadap mahasiswa Papua itu tidak wajar sebab kedatangan polisi itu tak sekadar ‘silaturahmi’, tapi juga mendata identitas para mahasiswa asal Papua. Ia bercerita bahwa ada beberapa mahasiswa Papua yang sedang praktik kerja lapangan sampai harus pulang untuk didata. Akibatnya mereka merasa ketakutan.
“Tugas kami ke sini kan belajar, masa kami diintimidasi begitu. Apakah kami teroris ataukah rakit bom? lalu mereka (polisi) datang? Nggak. Nah itu, pemahaman yang sangat dangkal begitu kami lihat.”
Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Kombes Pol Asep Adi Saputra menyatakan bahwa tujuan kedatangan polisi ke tempat tinggal para mahasiswa Papua di berbagai wilayah itu untuk menciptakan suasana kondusif. “Ketika di satu tempat ada sebuah peristiwa (kerusuhan), kan kita tidak ingin nanti di tempat-tempat yang lain juga terjadi hal yang serupa,” jawab Asep.
‘Silaturahmi’ tersebut, menurut Asep, adalah kegiatan rutin pihak kepolisian yang akan ditingkatkan pelaksanaannya di masa mendatang. “Penyelarasan informasi-informasi ya. Jangan sampai nanti mereka salah dalam menafsirkan peristiwa atau keliru dalam menyikapi pemberitaan-pemberitaan,” ucapnya.
Sementara bagi Albert, kegiatan polisi mendatangi tempat tinggal para mahasiswa Papua di berbagai wilayah itu harus dihentikan. “Karena kalau itu terus terjadi, aparat terus datangi kos, asrama, dan kampus kami, kebencian orang Papua terhadap negara ini akan makin bertambah.”
Ketidakpercayaan warga Papua terhadap aparat keamanan tak timbul dari ruang kosong. Pendekatan militeristik yang selama ini dilakukan pemerintah Indonesia kerap mengundang kritik. Apalagi peristiwa terakhir di Surabaya menunjukkan keterlibatan lima orang aparat TNI dalam memprovokasi massa dan ikut meneriakkan makian rasial terhadap mahasiswa Papua.
Terkait hal tersebut, Kepala Penerangan Kodam V/Brawijaya Letkol Arm Imam Haryadi menegaskan pihaknya telah melimpahkan hasil penyelidikan keterlibatan anggotanya ke Pengadilan Militer. “Sudah masuk ke tingkat penyidikan hukum,” ucapnya saat ditemui kumparan.
“Kita pun juga menyesalkan tindakan seperti itu, seharusnya tidak boleh dilaksanakan oleh aparat teritorial. … Komunikasi sosial harus mengedepankan sifat persuasif. Logikanya yang jalan, bukan emosionalnya. Kemarin kelihatannya emosi yang lebih dikedepankan,” ujar Imam.
Demi mempermudah penyidikan, kelima orang prajurit yang berasal dari Koramil 0831/02 Tambaksari, Surabaya, itu untuk sementara waktu diskors. “Saya pikir itu nanti akan kena pasal 103 KUHPM (Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer), jadi melanggar perintah atasan.”
Sementara di Bandung, Kapolsek Sukajadi Kompol Sarce Christiaty Leo Dima malah mengirimkan dua dus minuman keras ke mahasiswa Papua. Pengiriman tersebut dilakukan beberapa saat sebelum pada mahasiswa melancarkan aksi demonstrasi di depan Gedung Sate, Bandung, pada Kamis (22/8).
Juru Bicara Aliansi Mahasiswa Papua Bandung Abraham Kossay menjelaskan pengiriman dua dus minuman keras itu dilakukan pada pukul 13.00 oleh polwan bernama Cristiati. “Ketika mengantar, (dia bilang) 'Ini buat adik-adik setelah pulang aksi kalian minum buat malam istirahat. Tidak boleh kasih tahu siapa-siapa kalau ini dari Ibu'.”
Bagi Abraham, hal tersebut seakan memberi stigma bahwa orang Papua itu pemabuk. “Polisi harusnya mengayomi, namun mereka menganggap kami orang Papua itu peminum. Dengan begitu kami sangat tidak terima," ucap Abraham tegas.
Dua dus miras tersebut dibawa dan dikembalikan ke polisi ketika aksi berlangsung. Di sana, Cristiati segera meminta maaf. Kapolrestabes Bandung Kombes Irman Sugema berjanji akan memberi sanksi tegas polisi terkait.
“Sekarang yang bersangkutan sebagai terperiksa terkait dugaan pemberian minuman keras ke asrama Papua," ujar Irman, Jumat (23/8).
Pernyataan rasial dan tindakan diskriminatif aparat terhadap warga Papua ibarat api yang menyulut rumput kering di tengah kemarau. Perasaan terpinggirkan hingga dijajah oleh Indonesia selama ini kemudian meluap melahirkan amarah di mana-mana. Demonstrasi menolak rasialisme negara menjalar menjadi unjuk rasa di berbagai kota baik di Papua ataupun di luar Papua, beberapa di antaranya bahkan berakhir ricuh.
Pasalnya stigma yang menyebut orang Papua kasar, pemabuk, bodoh, tak beradab, dan tukang bikin onar seolah mendudukkan orang Papua sebagai warga negara kelas dua. Belum lagi warna kulit yang lebih gelap seakan menegaskan perbedaan derajat di antara warga negara.
Gideon, mahasiswa teknik dari Yahukimo, Papua , bercerita bahwa ia sempat merasa canggung dan tak percaya diri ketika tiba di Jakarta. “Kalau saya berpendapat (di kelas), masih diketawain,” kenangnya.
Saat mencoba mengajukan diri menjadi ketua kelas, ia harus menelan kenyataan pahit ketika tak ada satu pun yang mau memilihnya hanya karena ia dari Papua. Tak cuma itu, Gideon juga merasa terluka saat orang-orang menutup hidung jika ia lewat. “Soft discrimination itu sungguh menyakitkan,” ucapnya singkat.
Pengalaman serupa juga dialami oleh Didi Karel Yemusi, mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta dari Waropen. Meski menyakitkan, ia memilih untuk menjelaskan bahwa Papua bukan terbelakang ataupun bodoh. Penerima beasiswa dari Kementerian Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi ini dengan sabar menjelaskan bagaimana Papua menjaga adat istiadatnya yang kuat.
Didi tak mau perlakuan diskriminatif sebagian kecil warga menjadi masalah. Hal tersebut, menurutnya, tak perlu dilawan dengan laku yang sama. “Mereka mau diskriminasi, mau ngata-ngatain, ya udah biarin aja. Jadi biar tidak terjadi masalah. Kan kita juga sudah dewasa.”
Namun ketika tindakan diskriminatif dan rasialis itu dilakukan oleh aparat seperti yang terjadi di Surabaya, Didi turut merasa terluka. “Saya juga sakit hati karena bawanya bukan bawa nama, bawanya langsung suku, Papua.”
Ia menegaskan bahwa, “Aparat seharusnya tahu tanggung jawabnya, dia tuh harus mengayomi masyarakat, siapapun itu di Indonesia. Nggak bisa diskriminatif, itu sudah salah.”
Persoalan rasialisme dan diskriminasi yang dialami warga Papua hanya satu dari sekian persoalan kompleks yang ada di bagian timur Indonesia tersebut. Menurut peneliti LIPI Cahyo Pamungkas, persoalan Papua begitu rumit mulai dari kurangnya infrstruktur, persoalan identitas, pelurusan sejarah Papua, kekerasan politik dan pelanggaran HAM, serta marjinalisasi orang Papua.
Dari beragam persoalan itu, kata Cahyo, Presiden Joko Widodo baru menyentuh persoalan infrastruktur. “Mereka senang Jokowi membangun jalan tetapi tidak akan melupakan hak mereka yakni sebagai bangsa merdeka,” ucapnya dalam jawaban tertulis kepada kumparan, Jumat (23/8).
Ia menjelaskan, sebagian besar aktivis Papua terutama generasi mudanya menganggap Indonesia sebagai negara kolonial. “Mereka menganggap Indonesia hanya ingin mengambil sumber daya alam Papua tanpa membangun orangnya. Kalangan orang asli Papua juga masih mencurigai adanya depopulasi, di mana jumlah orang asli Papua semakin menurun dan jumlah pendatang semakin meningkat.”
Persoalan tersebut yang kemudian memicu lahirnya tuntutan akan referendum bagi warga Papua untuk menentukan nasibnya sendiri. “Kami mau ke mana? Mengharapkan ke negara, tapi negara berlaku rasis. Mau gimana lagi?” ucap Albert.
Bagi komisioner Komnas HAM Choirul Anam, momen ini menjadi waktu bagi Jokowi untuk menjawab persoalan ketidakadilan yang selama ini dihadapi orang Papua . “Peristiwa kemarin harus diusut siapa aktor (yang memprovokasi) di balik kejadian itu. Tidak boleh berhenti di level peristiwa kemarin saja atau di level siapa orang yang teriak-teriak di dalam video.”