Arab Saudi Batasi Penggunaan Speaker Masjid, Bagaimana di Indonesia?

25 Mei 2021 10:25 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
19
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah umat Islam bersiap melaksanakan shalat Maghrib di Masjid Jami Al Maruf, Desa Lamahala Jaya, Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah umat Islam bersiap melaksanakan shalat Maghrib di Masjid Jami Al Maruf, Desa Lamahala Jaya, Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Arab Saudi membatasi penggunaan pengeras suara atau speaker masjid. Speaker eksternal/luar hanya untuk azan dan iqamat saja. Keperluan lainnya, seperti pelaksanaan salat berjemaah, cukup dengan speaker internal/dalam.
ADVERTISEMENT
Pembatasan penggunaan speaker masjid di Arab Saudi bisa dibaca di sini:
Lalu bagaimana di Indonesia?
Di Indonesia, masjid tidak hanya berfungsi untuk salat lima waktu saja. Tapi tak jarang ada wirid, pengajian, zikir, dan sebagainya yang sebagian seringkali menggunakan pengeras suara.
Kemenag RI mengatur penggunaan speaker masjid lewat Instruksi Dirjen Bimas Islam No 101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Musala.
Sosialisasi terhadap Instruksi itu diperbarui dalam SE Dirjen Bimas Islam No B.3940/DJ.III/HK.00.07/2018 tanggal 24 Agustus 2018, di masa Menag Lukman Hakim Saifuddin.
Mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Kala itu Menag Lukman menjelaskan, Instruksi Dirjen Bimas Islam yang dibuat tahun 1978 tersebut sifatnya internal. Kementerian Agama tidak mengatur azan, namun lebih pada tuntunan penggunaan pengeras suara di masjid, langgar dan musala, meskipun masih ada bagian-bagian dari edaran itu yang harus dievaluasi.
ADVERTISEMENT
“Saya tegaskan lagi, kita tidak mengatur azan, namun mensosialisasikan tuntunan penggunaan pengeras suara di masjid, langgar dan musala,” kata Menag Lukman seperti dikutip dari website Kemenag bertanggal 5 September 2018.

Tenggang Rasa dengan Masyarakat

Lukman menjelaskan,  penggunaan pengeras suara di rumah ibadah sifatnya situasional karena mempunyai variasi yang beragam.
Pada saat mensosialisasikan instruksi itu di hadapan penyuluh agama di Palu pada 18 September 2018, Lukman menyatakan, di kalangan jemaah muncul perbedaan.
Masjid Istiqlal di Jakarta. Tuntunan penggunaan pengeras suara untuk masjid di perkotaan dan pedesaan berbeda. Foto: Indrianto Eko Suwarso/ANTARA FOTO
Perbedaan itu adalah sebagian jemaah yang menyatakan bahwa penggunaan pengeras suara dalam pelaksanaan aktivitas di luar salat lima waktu adalah bentuk syiar untuk mengajak ke arah kebaikan. Sementara ada sebagian jemaah dan masyarakat perkotaan khususnya, berharap pengunaan pengeras suara tidak mengganggu kesempatan mereka untuk beristirahat, yang cenderung memiliki waktu terbatas.
ADVERTISEMENT
“Setelah dipelajari dan dikaji ulang, tuntunan (penggunaan pengeras suara) tersebut masih sangat relevan untuk menjawab masalah tersebut. Maka, ini yang disosialisasikan ulang. Dan memang tuntunan itu tidak pernah dicabut,” ujar Lukman.
Dalam instruksi itu tidak mengatur volume azan. Dan karena bersifat tuntunan, maka tidak ada sanksi yang mengikat.

Perbedaan Perkotaan dan Pedesaan

Lukman mengatakan bahwa ketentuan yang lebih ketat berlaku pada masjid, langgar, dan musala di perkotaan yang masyarakatnya cenderung majemuk dan heterogen.
“Pada masyarakat pedesaan yang masyarakatnya cenderung homogen, silakan berjalan seperti biasa saja. Sesuai dengan kesepakatan  di daerahnya,” tandas Lukman.
Pengeras Suara Foto: shutterstock

Masih Berlaku Hingga Kini

Hingga tahun 2021, Instruksi Dirjen Bimas Islam itu masih berlaku. Di dalam instruksi itu termuat banyak aspek, termasuk syarat-syarat penggunaan pengeras suara, antara lain berbunyi:
ADVERTISEMENT
1. Perawatan pengeras suara oleh seorang yang terampil dan bukan yang mencoba-coba atau masih belajar.
Dengan demikian, tidak ada suarat-suara bising, berdengung, yang dapat menimbulkan antipati dan anggapan tidak teraturnya suatu masjid, langgar atau musala.
2. Mereka yang menggunakan pengeras suara (muazin, pembaca Quran, imam salat, dll) hendaknya memiliki suara yang fasih, merdu, enak, tidak cemplang, sumbang atau terlalu kecil.
Hal ini untuk menghindarkan anggapan orang luar tentang tidak tertibnya suatu masjid dan bahkan jauh dari pada menimbulkan rasa cinta dan simpati yang mendengar selain menjengkelkan.
Berikut infografik Kemenag tentang garis besar penggunaan speaker masjid:
Tuntunan penggunaan pengeras suara yang dirilis Kemenag. Foto: Kemenag RI
****
Saksikan video menarik di bawah ini: