Arif Nuryanta Janjikan 3 Korporasi Kasus CPO Divonis Lepas saat Nego Uang Suap

16 April 2025 0:53 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua PN Jaksel, Muhammad Arif Nuryanta ditangkap Kejagung RI, Sabtu (13/4). Foto: Abid Raihan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua PN Jaksel, Muhammad Arif Nuryanta ditangkap Kejagung RI, Sabtu (13/4). Foto: Abid Raihan/kumparan
ADVERTISEMENT
Kejaksaan Agung (Kejagung) RI mengungkapkan bahwa Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta ternyata menjanjikan tiga terdakwa korporasi dalam kasus persetujuan ekspor (PE) crude palm oil (CPO) minyak mentah kelapa sawit periode Januari 2021–Maret 2022 divonis lepas.
ADVERTISEMENT
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, menyebut bahwa janji pemberian vonis lepas itu disampaikan Arif saat nego uang suap bersama dengan pengacara terdakwa korporasi kasus persetujuan ekspor CPO, Ariyanto.
Saat itu, pertemuan juga dihadiri oleh seorang panitera bernama Wahyu Gunawan. Pertemuan ketiganya berlangsung di sebuah rumah makan berlokasi di Kelapa Gading, Jakarta Timur. Ketiganya juga sudah dijerat sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap itu.
"Dalam pertemuan tersebut, Muhamad Arif Nuryanta (MAN) mengatakan bahwa perkara minyak goreng tidak bisa diputus bebas, tetapi bisa diputus onslag [lepas]," kata Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejagung RI, Jakarta, Selasa (15/4).
"Dan yang bersangkutan, MAN meminta agar uang Rp 20 miliar itu dikalikan tiga sehingga totalnya menjadi Rp 60 miliar," ungkap dia.
ADVERTISEMENT
Sebelum pertemuan itu, permintaan ihwal uang untuk pengurusan perkara tersebut memang sempat dibahas antara Ariyanto dengan Wahyu Gunawan.
Kolase 4 hakim tersangka suap: Ali Muhtarom, Agam Syarif Baharudin, Djuyamto, Muhammad Arif Nuryanta. Foto: Fadhil Pramudya/kumparan
Permintaan dari Wahyu juga disampaikan Ariyanto kepada Marcella Santoso—pengacara yang ikut ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap ini—untuk diteruskan kepada pihak Wilmar Group selaku terdakwa korporasi kasus persetujuan ekspor CPO.
Saat itu, Marcella menyampaikan permintaan uang itu kepada tim Legal Wilmar Group, Muhammad Syafei. Syafei merupakan tersangka yang baru saja dijerat oleh Kejagung RI.
Permintaan itu memang disanggupi oleh Syafei. Namun, saat itu, Syafei menyampaikan bahwa biaya yang disediakan oleh pihak korporasi hanya sebesar Rp 20 miliar. Jumlah itu yang kemudian dinego tiga kali lipat oleh Arif.
Setelah pertemuan antara Arif, Wahyu, dan Ariyanto, Wahyu menyampaikan kepada Ariyanto agar segera menyiapkan uang sebesar Rp 60 miliar tersebut. Permintaan itu diteruskan Ariyanto kepada Marcella dan ditindaklanjuti dengan menghubungi Syafei.
ADVERTISEMENT
Qohar mengungkapkan, bahwa Syafei menyanggupi permintaan tersebut dan langsung menyiapkan uang sekitar Rp 60 miliar dalam bentuk pecahan mata uang dolar Amerika Serikat.
Syafei kemudian menghubungi Marcella dan menyampaikan bahwa uang senilai Rp 60 miliar telah disiapkan. Saat itu, lanjut Qohar, Syafei juga bertanya ihwal lokasi pengantaran uang tersebut.
Untuk menindaklanjuti itu, Marcella kemudian menghubungkan Syafei kepada Ariyanto. Keduanya pun bertemu sekaligus penyerahan uang dilakukan.
Qohar menyebut, uang senilai Rp 60 miliar itu kemudian diantarkan Ariyanto ke rumah Wahyu Gunawan. Uang tersebut lalu langsung diteruskan kepada Arif.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Harli Siregar (tengah) bersama Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar (kanan) memberikan keterangan saat konperensi pers kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah. Foto: ANTARA FOTO/Bayu Pratama S
"Dan saat penyerahan uang tersebut, Arif memberikan uang kepada Wahyu Gunawan sebanyak USD 50 ribu [setara Rp 841,4 juta]," pungkasnya.
Adapun atas perbuatannya itu, Syafei dijerat sebagai tersangka baru dalam kasus dugaan suap pengaturan vonis lepas perkara persetujuan ekspor CPO.
ADVERTISEMENT
Dengan begitu, total sudah ada delapan tersangka yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini.
Qohar menyebut, setelah ditetapkan sebagai tersangka, Syafei langsung ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung selama 20 hari ke depan.
Akibat perbuatannya, Syafei disangkakan melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a jo Pasal 5 ayat (1) jo Pasal 13 jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Kasus Suap Hakim di PN Jakpus

Kejaksaan Agung mengungkap adanya praktik suap vonis lepas terkait perkara korupsi persetujuan ekspor (PE) crude palm oil (CPO) atau minyak mentah kelapa sawit periode Januari 2021–Maret 2022. Kasus ini terkait dengan perkara yang menjerat korporasi sebagai terdakwa.
Tiga korporasi tersebut yaitu Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group. Marcella Santoso dan Ariyanto merupakan pengacara terdakwa korporasi tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus ini, Muhammad Arif Nuryanta diduga menerima Rp 60 miliar dari Ariyanto dan Marcella ketika masih menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat. Uang tersebut diberikan melalui panitera, Wahyu Gunawan.
Arif lalu menunjuk susunan majelis hakim yang akan menangani perkara korupsi CPO tersebut.
Susunannya terdiri dari Djuyamto selaku Ketua Majelis Hakim, dan Agam Syarif Baharudin dan Ali Muhtarom selaku hakim anggota.
Arif diduga kemudian membagi uang suap tersebut kepada majelis hakim dalam dua tahap. Pertama, Arif memberikan total Rp 4,5 miliar kepada ketiganya untuk membaca berkas perkara.
Kemudian, Arif kembali menyerahkan Rp 18 miliar kepada Djuyamto dkk agar memberikan vonis lepas kepada para terdakwa.
Dalam kasus ini, sebelumnya Kejagung RI telah menjerat sebanyak 7 orang sebagai tersangka. Mereka adalah Ketua PN Jakarta Selatan Arif Nuryanta, Marcella Santoso dan Ariyanto selaku pengacara, serta Wahyu Gunawan selaku panitera muda perdata pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
ADVERTISEMENT
Kemudian, tiga orang anggota Majelis Hakim yang mengadili perkara persetujuan ekspor CPO tersebut juga ditetapkan sebagai tersangka.
Dalam putusannya terkait kasus persetujuan ekspor CPO itu, Majelis Hakim menyatakan para terdakwa korporasi itu terbukti melakukan perbuatan sebagaimana dalam dakwaan. Namun, Hakim menilai bahwa perbuatan tersebut bukan korupsi.
Majelis Hakim kemudian menjatuhkan vonis lepas atau onslag dan terbebas dari tuntutan pembayaran uang pengganti sebesar Rp 17 triliun.
Belum ada keterangan dari para terdakwa korporasi CPO maupun para tersangka pengaturan vonis perkara persetujuan ekspor CPO mengenai kasus dugaan suap tersebut.