Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Asosiasi Apotek: Bahaya Jika Pemerintah Ikuti Mentah-mentah WHO soal Obat Corona
2 Februari 2022 18:42 WIB
·
waktu baca 2 menitADVERTISEMENT
Komisi VI DPR RI menggelar rapat dengan Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia (GPFI) dan perwakilan Asosiasi Apotek Indonesia (ASAPIN) mengenai obat khusus melawan varian Omicron. Apa saja yang dibahas?
ADVERTISEMENT
Ketua GPFI, Tirto Kusnadi menyampaikan jika industri farmasi Indonesia merupakan aset bangsa yang siap membantu Pemerintah dalam menangani penyebaran virus Omicron di Indonesia.
Ia mengungkapkan GPFI telah memasok obat-obatan hingga 90% termasuk dalam jenis obat-obatan yang dibutuhkan dalam penekanan COVID-19.
“Industri Farmasi Indonesia adalah merupakan aset bangsa karena supplier utama yang dukung JKN, 90% suplai obat dalam volume oleh GPFI,” kata Tirto dalam rapat yang digelar oleh Komisi VI DPR RI, Rabu (2/2).
Dia juga menyatakan jika obat yang dijual di Indonesia memiliki value atau harga yang cukup murah dibandingkan dengan negara lainnya.
“Kami dari pihak GPFI merasakan obat di Indonesia cukup murah,” ujarnya.
Tirto meyakinkan bahwa GPFI telah menciptakan kemandirian dan ketersediaan obat secara nasional dalam produksinya sangat cukup. Kemudian, terkait dengan isu masyarakat mengenai obat COVID-19, kata dia, tak usah ragu sebab GPFI dalam produksinya pasti melakukan proses yang cukup panjang sebelum mendistribusikan obat-obatan.
ADVERTISEMENT
Sebelum obat-obatan dijual atau di tangan masyarakat Indonesia, telah melalui proses seperti dilakukan penelitian bahan baku, pengembangan yang sesuai, hingga distribusi yang cukup baik.
“Kami yakin obat dari kita cukup tidak usah dikhawatirkan. Isu obat COVID saat ini kita tidak usah ragu,” jelas Tirto.
Sejumlah obat COVID yang sudah disetujui BPOM ada beberapa jenis. Beberapa di antaranya molnupiravir dan favipiravir.
Ia meminta pemerintah mempercayakan terkait hal ini ke badan-badan obat di Indonesia. Tidak hanya berpatokan ke WHO.
“Yang berbahaya adalah jika Indonesia hanya menelan apa yang dikatakan WHO yang tidak dikonsultasikan kepada kami sudah langsung diinstruksikan untuk dipakai,” tegasnya.