Babak Baru Kasus Zaim Saidi Pendiri Pasar Muamalah di Depok

11 Februari 2021 8:59 WIB
Zaim Saidi, pendiri Pasar Muamalah di Depok. Foto: Instagram/@zaim.saidi
zoom-in-whitePerbesar
Zaim Saidi, pendiri Pasar Muamalah di Depok. Foto: Instagram/@zaim.saidi
ADVERTISEMENT
Pasar mirip bazar yang digelar secara berkala sejak 2001 di Depok, Jawa Barat, kini disegel polisi. Selain memakai rupiah, transaksi jual beli di pasar muamalah itu menggunakan koin emas dan perak (publik lazim menyebutnya dinar dan dirham) dan model barter.
ADVERTISEMENT
Pasar ini diprakarsai seorang pria bernama Zaim Saidi. Alumnus S2 Public Affairs University of Sydney itu ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka.
Saidi dijerat Pasal 9 Undang-undang nomor 1 tahun 1946 tentang Hukum Pidana dan atau Pasal 33 Undang-undang nomor 7 tahun 2011 tentang mata uang.
Sejumlah kalangan, termasuk NU dan Muhammadiyah, menilai penahanan Zaim berlebihan. Apalagi, koin emas yang digunakan lewat hasil membeli dari PT Antam Tbk, BUMN di sektor pertambangan emas.
Zaim Saidi, pendiri Pasar Muamalah di Depok. Foto: Instagram/@zaim.saidi
Saidi Minta Maaf
Dari dalam rutan Bareskrim, Zaim Saidi menuliskan surat permintaan maaf kepada para penyidik. Dia mengaku tak bermaksud meresahkan pemerintah.
Kuasa hukumnya, Ali Wardi, menyebut, gerakan Pasar Muamalah justru bertujuan untuk membantu pemerintah dan masyarakat di tengah pandemi COVID-29. Terlebih, pemerintah tengah giat mengkampanyekan ekonomi syariah.
ADVERTISEMENT
“Justru ia ingin membantu masyarakat yang hari ini pemerintah sedang giat-giatnya menggalakkan ekonomi syariah. Kemudian tak ada niat mengganggu gugat objek dan apalagi tak mengakui kedaulatan Indonesia,” ujar Ali.
Dinar dan Dirham Bukan Mata Uang
Ali mengatakan, dinar dan dirham bukan mata uang seperti Dolar. Kedua alat tukar tersebut bersifat global.
“Kalau mata uang asing, ya, Dinar Irak berupa uang kertas. Sementara dinar ini berlaku global. Siapa saja yang mau bertransaksi. Bahkan orang Amerika dikasih koin uang emas itu mau menerima karena punya nilai intrinsik sesuai kadarnya,” kata Ali.
Ali menyebut, terdapat kejanggalan dalam surat penangkapan Zaim Saidi. Dalam surat tersebut, disebut dinar dan dirham sebagai mata uang.
ADVERTISEMENT
“Sementara dinar itu bukan mata uang. Anehnya lagi surat perintah bunyinya menggunakan mata uang asing dinar, ya salah,” ujar Ali.
Dinar dan dirham berukir tulisan Amir Zaim Saidi. Foto: Dok. Istimewa
Tepis Isu Khilafah
Ali membenarkan ada pihak-pihak yang sengaja mengaitkan penggunaan dinar dan dirham di Pasar Muamalah dengan khilafah. Namun, hal itu dibantah oleh kliennya.
“Iya, itu. Mereka sepertinya salah mencium aroma seperti itu, dan mencoba mencari hubungan antara istilah khilafah dengan gerakan Zain. Memang tentu ada dalam kajian islam perihal khilafah, namun bukan khilafah seperti versi HTI atau kelompok-kelompok radikal lainnya, beda sekali. Khilafah kan memang ada dalam khazanah sejarah Islam. Ini yang saya duga sedang didalami hubungannya Zaim dan kawan-kawan” kata Ali.
Ali juga membantah kliennya terlibat dengan gerakan khilafah. Ia menegaskan, Saidi mendirikan Pasar Muamalah atas dasar membangkitkan ekonomi masyarakat di tengah pandemi, dan tidak ada maksud lainnya.
ADVERTISEMENT
“Enggak ada sama sekali,” ujar Ali.
Suasana Kios Muamalah di Depok, usai Zaim Saidi ditangkap Bareskrim, Rabu (3/2). Foto: Dok. Istimewa
Minta penangguhan penahanan
Keluarga Saidi sudah mengajukan penangguhan penahanan ke Bareskrim Polri. Kuasa hukumnya, Ali Wardi, mengatakan, kliennya mengalami sakit menahun dan butuh dirawat.
“Cidera tulang belakang sudah lama. Dan harus diterapi sekali seminggu minimal,” kata Ali.
Merespons hal itu, Karopenmas Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Rusdi Hartono, mengatakan, penyidik masih mempertimbangkan dan belum ada keputusan.
“Itu menjadi domain penyidik,” kata Rusdi.
“Kita lihat sama-sama nanti bagaimana kebijakan penyidiknya,” ujar Rusdi.
Berharap keadilan
Ali menilai penerapan pasal yang dipakai Polri tidak tepat. Terlebih, kliennya sudah diancam dengan hukuman hingga 15 tahun.
"Pasal yang dikenakan pada klien kami itu tak tepat sesuai dengan menurut analisa pendapat hukum kami sebenarnya tidak tepat dikenakan. Apalagi yang hukumannya sampai 15 tahun," kata Ali.
ADVERTISEMENT
“Sebenarnya itu pasal yang sudah lama terkubur tiba-tiba undang-undang itu dibangkitkan lagi. Inikan tak pernah digunakan sejak beberapa dekade. Undang-undang itu awal fungsinya kalau pendapat kami adalah ketika banyaknya kekuatan kekuatan politik pasca kemerdekaan yang menerbitkan uang kertas sendiri-sendiri, sementara negara berdaulat membutuhkan mata uang tunggal,” jelas dia.
Bunyi pasal tersebut, yakni: Pasal 9 Undang-undang nomor 1 tahun 1946 tentang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman 15 tahun dan atau Pasal 33 Undang-undang nomor 7 tahun 2011 tentang mata uang dengan ancaman hukuman penjara 1 tahun.
Ali menyebut, penggunaan pasal digunakan saat Indonesia usai deklarasi kemerdekaan mendapat tekanan politik. Dalam kasus kliennya, penggunaan dinar dan dirham bukan sebagai mata uang, melainkan alat tukar yang disepakati.
ADVERTISEMENT
“Ada Indonesia Timur mata uang kertas. Ada sekelompok militer yang berkuasa. Itu untuk itu. Sementara dinar itu bukan mata uang,” ujar Ali.
Zaim Saidi, pendiri Pasar Muamalah di Depok. Foto: Instagram/@zaim.saidi
Minta Polisi Dengar Suara PBNU dan Muhammadiyah
Sikap polisi menangkap Saidi sebenarnya sudah mendapat kritikan dan masukan dari sejumlah elemen. Tapi menurut Ali, polisi sudah telanjur menindak karena viral di media sosial.
“Sebenarnya polisi sudah terlanjur mengikuti suara publik. Terlalu viral. Sebenarnya bukan itu yang dilakukan. Bisa melakukan klarifikasi. Ini seperti latah begitu viral mereka ini,” kata Ali.
Ali mengatakan, transaksi dinar dan dirham yang selama ini dilakukan di Depok tak seperti yang banyak diviralkan di media sosial. Dinar dan dirham yang dipakai bukan mata uang, tapi satuan emas dan perak yang bisa dipakai siapa saja dan di mana saja.
ADVERTISEMENT
Dia meminta Polri juga mendengar masukan dan pendapat dari sejumlah pihak lainnya. Seperti diketahui, PBNU, Muhammadiyah, dan PKS ikut mengkritik penangkapan Saidi.
“Banyaknya tuntutan atau harapan berbagai institusi, ormas segala macam PKS, NU, Muhammadiyah, seharusnya polisi mendengar. Ini kan, ya, enggak usah malulah, kalau memang gegabah dan respons terhadap viralnya,” ujar Ali.