Lipsus Babat Alas demi Ibu Kota, Cover Collection

Babat Alas demi Ibu Kota Baru

2 September 2019 12:08 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Lipsus Babat Alas demi Ibu Kota Baru. Foto: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Lipsus Babat Alas demi Ibu Kota Baru. Foto: Indra Fauzi/kumparan
Siti Aisyah tersenyum-senyum di depan kios buahnya. Raut wajahnya semringah meski cuaca terik menyengat. Suhu siang itu berada di angka 34 derajat Celcius khas musim pancaroba. Tapi itu sama sekali bukan masalah. Bagi Siti dan sebagian warga Samboja di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, yang penting daerah mereka terpilih jadi ibu kota baru!
Buat warga Samboja, itu kabar istimewa. Mereka gembira dan dilanda euforia. Berita ibu kota negara bakal pindah ke wilayah mereka dibahas nyaris nonstop di rumah-rumah penduduk sampai ke warung-warung. Sungguh mengejutkan. Semua jadi harap-harap cemas. Memimpikan masa depan penuh anugerah dari perubahan status daerah mereka.
“Kalau ibu kota mau pindah ke sini, ya senang banget,” kata Siti kepada Tim Lipsus kumparan yang singgah di kiosnya, Kamis (29/8).
Sambil terus melempar senyum kepada tiap pembeli yang datang, Siti menggerakkan tangannya dengan lincah untuk mengelap debu yang menempel di kulit buah-buahan dagangannya. Maklum saja, kios Siti berada di tepi jalan raya—satu-satunya jalan provinsi di Samboja—yang sedang diperbaiki lantaran rusak parah. Tak pelak, debu beterbangan menyerbu masuk.
Tapi lagi-lagi, itu bukan masalah. Yang penting, Siti dan penduduk Samboja akan segera naik derajat dari warga kampung jadi warga ibu kota! Siti tergelak. Setidaknya, itulah candaan dia dan tetangga-tetangganya. Ia yakin betul, status ibu kota akan membuat desanya yang sepi jadi berdenyut. Perekonomian warga, pikirnya, jelas akan membaik.
“Dulu kecil, sekarang mau jadi gede, kan gembira,” ujar Siti, polos.
Siti Aisyah, warga Samboja, Kutai Kartanegara. Foto: Prabarini Kartika/kumparan
Sukacita itu bukan hanya milik Siti, tapi juga banyak warga di Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara. Di dua kabupaten bertetangga yang sama-sama berlokasi di Kalimantan Timur itu, Presiden Jokowi hendak membangun ibu kota baru untuk Republik ini. Ibu kota Indonesia nantinya, kata Jokowi, akan berlokasi di sebagian Kutai Kartanegara dan sebagian Penajam Paser Utara.
Kenapa Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara?
Karena kedua kabupaten itu diimpit oleh dua kota besar di Kalimantan, yakni Samarinda dan Balikpapan. Samarinda merupakan ibu kota Provinsi Kalimantan Timur, sedangkan Balikpapan adalah kota terkaya di Kalimantan. Sebagai pusat bisnis dan industri, ia mencatatkan angka perekonomian terbesar di Kalimantan.
Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara juga disebut memiliki fasilitas dan infrastruktur cukup lengkap. Yang tak kalah penting, menurut pemerintah, lahan seluas 180 hektare di kedua kabupaten itu telah dikuasai oleh negara.
Semua pertimbangan itu menguatkan tekad Jokowi untuk memindahkan ibu kota ke Kalimantan yang berada tepat di tengah Indonesia dan minim risiko bencana (ia satu-satunya pulau besar di Indonesia yang tak masuk Lingkar Api Pasifik atau Ring of Fire—tempat sebagian besar gempa dunia terjadi).
Kampung nelayan di Samboja, Kutai Kartanegara. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Kutai Kartanegara terdiri dari 18 kecamatan, dan Penajam Paser Utara memiliki 4 kecamatan. Kedua kabupaten itu merupakan hasil pemekaran. Wilayah administratif Kutai Kertanegara ialah satu dari empat daerah yang dimekarkan dari Kabupaten Kutai pada 1999, sedangkan Penajam Paser Utara dimekarkan dari Kabupaten Paser pada 2002.
Namun, di manakah gerangan tepatnya letak ibu kota baru nanti yang menurut Jokowi “di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian Kabupaten Kutai Kartanegara” itu?
Gubernur Kalimantan Timur Isran Noor mengerucutkan lokasi ibu kota baru di Kecamatan Samboja yang kini masuk wilayah Kutai Kartanegara, dan Kecamatan Sepaku di Penajam Paser Utara. Kedua kawasan itu dipilih melalui kajian yang telah dilakukan Bappenas.
Hariyo Santosa, Pelaksana Tugas Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kalimantan Timur, memprediksi inti ibu kota baru akan berada di Kecamatan Samboja. Musababnya, akses jalan di Samboja terbilang lebih baik ketimbang Sepaku. Ia dilalui oleh Tol Balikpapan-Samarinda sepanjang 99,35 kilometer yang akan segera rampung akhir tahun ini. Secara geografis, Samboja juga terletak persis di tengah Kalimantan Timur.
Tol Balikpapan-Samarinda melintasi wilayah Samboja di Kutai Kartanegara. Foto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Gubernur Isran Noor optimistis provinsinya akan siap menopang ibu kota baru. Kalimantan Timur punya dua bandara internasional, yakni Bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman (Sepinggan) di Kota Balikpapan dan Bandara Aji Pangeran Tumenggung Pranoto (APT Pranoto) di Kota Samarinda.
Kaltim juga memiliki jalan arteri utama, jalan bebas hambatan atau Tol Bapikpapan-Samarinda, jaringan telekomunikasi, pembangkit listrik, dan berbagai pelabuhan.
“Saya bicara data,” ujar Isran, menyampaikan titik tekan penjelasannya kepada tim kumparan yang bertamu ke Kantor Gubernur Kalimantan Timur di Samarinda, Rabu (28/8).
“Misalnya (tentang) daya dukung lahan, status lahan, ketinggian daerah dari permukaan laut, topografinya, kondisi sosialnya, dan infrastruktur yang sudah ada,” kata Isran.
Ia tak khawatir dengan gegar kultur dari pembangunan ibu kota baru di Kaltim. Ini, salah satunya, karena sikap masyarakat setempat yang sangat terbuka terhadap pendatang. Mereka diyakini Isran tak bakal mengalami benturan dengan para pendatang—yang diperkirakan akan mencapai 1,5 juta orang.
Jumlah pendatang sebanyak itu terdiri dari aparatur sipil negara di lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, Polri, dan TNI beserta keluarga mereka, plus para pelaku ekonomi.
“Suku Kutai tidak pernah resisten atau menolak masuknya kebudayaan lain ke daerahnya. Memang (keterbukaan) itu sudah budaya mereka,” kata Isran.
Tahang, nelayan di Samboja, gembira mendengar wilayahnya bakal jadi ibu kota negara. Ia yakin pendidikan untuk generasi muda di daerahnya kelak lebih baik. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Gabungan Kecamatan Samboja dan Sepaku yang seluas 2.218 kilometer persegi terhitung lebih dari cukup untuk membangun ibu kota baru—yang menurut Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro hanya memerlukan wilayah seluas 400 km persegi di awal, kemudian berkembang menjadi 1.800 km persegi seiring pembangunan hunian untuk aparatur sipil negara dan pengembangan lahan hijau.
Sebagai perbandingan, sementara Samboja-Sepaku memiliki luas 2.218 km persegi, Jakarta yang saat ini masih menyandang status ibu kota memiliki luas 661 km persegi “saja”. Namun perlu diingat, meski Jakarta dan Samboja sama-sama berlokasi dekat laut, topografi Samboja—juga Sepaku—bergelombang dan berbukit, sedangkan Jakarta cenderung landai. Singkatnya, medan Samboja-Sepaku jauh lebih sulit ketimbang Jakarta.
Saat ini Bappeda Kaltim tengah meninjau lokasi inti ibu kota baru yang akan menjadi titik koordinat pembangunan Istana Negara sebagai kantor presiden. Titik koordinat itu, menurut Plt. Bappeda Kaltim Hariyo Santosa, akan ditentukan dalam dua-tiga bulan ke depan.
Sekarang, mari menyambangi Samboja dan Sepaku. Menuju Samboja di Kutai Kartanegara membutuhkan waktu dua jam perjalanan darat. Dari Bandara APT Pranoto di Samarinda, kita berkendara lewat Jalan Trans-Kalimantan menyusuri Sungai Mahakam di pusat kota.
Satu setengah jam kemudian, medan mulai naik-turun dan terlihatlah kawasan Taman Hutan Raya Bukit Soeharto. Rimbun pohon hutan produksi menghiasi kanan-kiri jalan. Kondisi jalan cukup baik sehingga mobil bisa melaju 60-80 km per jam. Nantinya, sebagian hutan produksi itu akan kena imbas pembangunan ibu kota baru.
Memasuki Samboja 30 menit kemudian, beberapa ekor bekantan—sejenis monyet berhidung panjang—tampak bergelantungan di dahan-dahan pepohonan. Sementara di pinggir jalan, terlihat para pekerja sedang memperbaiki jalan yang berlubang-lubang.
Berdasarkan data kependudukan Samboja, kecamatan itu dihuni 26.000 penduduk. Ia memiliki fasilitas pendidikan tiga SD, SMP, dan tiga SMA; fasilitas kesehatan RSUD Aji Batara Agung Dewa Sakti Samboja, dan jaringan telekomunikasi berupa tower Base Transceiver Station dari berbagai provider.
Untuk kebutuhan air, warga Samboja mengandalkan Sungai Merdeka sebagai sumber utama penyulingan air bersih.
Kecamatan Sepaku di Penajam Paser Utara. Foto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Sementara Sepaku di Penajam Paser Utara bisa dicapai melalui perjalanan darat dari Bandara Sepinggan, Balikpapan, tak kurang dari dua jam, juga melintasi Jalan Trans-Kalimantan yang dihiasi rindang pepohonan di tepiannya.
Perjalanan menuju Sepaku terbilang sulit. Tanjakan, turunan, dan tikungan ditemui sepanjang jalan. Tak cuma itu, jalanan pun hancur dan berlubang nyaris dari awal hingga akhir perjalanan. Alhasil, perjalanan tersendat karena kendaraan harus melaju bergantian.
Jalanan rusak itu, menurut Anshori warga Sepaku, sudah terjadi sejak 15 tahun lalu. Jalan kelebihan beban akibat dilalui truk-truk tambang dan kendaraan besar lain. Padahal, itu satu-satunya akses jalan di Sepaku.
Memasuki kawasan hutan menyambut beberapa puluh meter kemudian, terlihat owa kalimantan—sejenis kera—asyik bertengger di pohon-pohon. Owa, macan dahan—sejenis kucing liar besar, dan beruang madu—yang juga jadi maskot Balikpapan—memang ragam satwa yang menghuni Kalimantan.
Dibanding Samboja, suasana di Sepaku lebih sepi. Sepanjang perjalanan yang tak berlampu penerangan, rumah penduduk bisa dihitung dengan jari. Selebihnya adalah hutan, perkebunan kelapa sawit yang ditata rapi di atas tanah warga dan lahan konsesi, serta lokasi tambang batu bara yang menyembul di balik perbukitan. Di situ, beberapa lubang bekas tambang tampak digenangi air.
Bekas tambang batu bara di Kalimantan Timur. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Warga Sepaku, termasuk Anshori, menyambut hangat rencana pemindahan ibu kota negara ke wilayah mereka. Menurut mereka, pemindahan ibu kota sudah pasti akan membuat jalan utama Sepaku ikut diperbaiki. Imbasnya, roda perekonomian masyarakat yang selama ini melambat akibat rusaknya jalanan, bakal segera teratasi bahkan meningkat pesat.
Sepaku sesungguhnya terhitung jauh dari pusat kota. Maka, jalan yang rusak menambah beban warga. Sebagian dari mereka akhirnya memilih menyeberang teluk dengan feri untuk menuju Balikpapan, ketimbang harus melewati jalan darat yang bikin linu. Apalagi jembatan penghubung Balikpapan dan Penajam Paser Utara yang rencananya bakal dibangun, kini masih tahap pemilihan tender.
Kecamatan Sepaku dihuni 36.311 jiwa yang mayoritasnya transmigran dari tanah Jawa. Mereka datang bergelombang mulai 1975. Kini mereka hidup membaur bersama warga pendatang lain, yakni suku Bugis dari Sulawesi Selatan dan suku Banjar dari Kalimantan Selatan.
Sepaku memiliki fasilitas pendidikan antara lain sejumlah SD dan SMP serta lima SMA; fasilitas pendidikan berupa empat puskesmas induk, satu puskesmas pembantu, dan RSUD Pratama yang dijadwalkan mulai beroperasi akhir 2019; jaringan listrik yang dipasok dari Kalimantan Selatan; dan layanan air bersih dari PDAM karena minimnya sumber air dari alam.
Ibu Kota Baru. Desainer: Basith Subastian/kumparan
Dengan kondisi Sepaku dan Samboja yang kini tertutup hutan, mau tak mau pembangunan ibu kota akan mengorbankan sebagian rimba tersebut. Sebab, pembukaan lahan jelas tak terhindari. Itu pula sebabnya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia mengkritik keputusan Jokowi untuk memindahkan ibu kota ke Kalimantan.
Menurut Hafidz Prasetyo, Kepala Departemen Advokasi dan Kampanye Eksekutif Daerah Walhi Kaltim, deforestasi di provinsi itu tinggal menunggu waktu seiring akan dimulainya pembangunan ibu kota. Selama ini pun, ujarnya, hutan di Kaltim sudah banyak rusak karena maraknya konsesi tambang.
Walhi cemas pembukaan lahan untuk ibu kota akan merusak lebih banyak area hutan lindung dan hutan konservasi yang beririsan dengan lokasi ibu kota. Imbasnya adalah ancaman atas ketersediaan air, bencana banjir, habitat flora-fauna, ketersediaan energi, dan kelayakan udara.
Senada, Jaringan Advokasi Tambang khawatir Kaltim akan ketiban beban berlebih dari pemindahan ibu kota. Padahal, masalah tambang yang selama ini menghantui provinsi itu pun belum lagi dirampungkan pemerintah.
“Beban yang harus Kaltim tanggung puluhan tahun dari eksploitasi sumber daya alam mengakibatkan sejumlah krisis ekologis dan sosial yang berdampak luas di seluruh kota dan kabupatennya,” kata Pradarma Rupang, Koordinator Jatam Kaltim.
Bekas tambang batu bara di Samboja, Kutai Kartanegara. Foto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Lahan bakal ibu kota baru, menurut catatan Jatam dan Walhi, dikelilingi konsesi tambang dan perkebunan sawit, termasuk di antaranya milik Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan dan pengusaha Hashim Djojohadikusumo yang tak lain adik Prabowo Subianto. Di Samboja, misalnya, terdapat 90 izin tambang batu bara.
Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menyatakan, pihaknya telah mengkaji dan menghitung dampak kerusakan lingkungan yang mungkin terjadi di lahan ibu kota baru. Hasilnya, kata dia, Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara merupakan lokasi dengan dampak lingkungan paling minimal.
Nantinya, menurut Bambang, pemerintah akan merehabilitasi hutan gundul dan galian bekas tambang di wilayah sekitar ibu kota baru. “Dari kajian lingkungan kami, ini justru bisa memperbaiki kualitas lingkungan,” katanya kepada kumparan di Gedung DPR RI, Jakarta, Jumat (29/8).
Gubernur Kaltim Isran Noor mendukung ucapan itu. Menurutnya, pembangunan ibu kota tak akan merusak hutan. Ia menyebut, bangunan di ibu kota baru hanya menghabiskan 30 persen lahan, sedangkan 70 persen area lainnya digunakan untuk ruang terbuka hijau.
“Makanya disiapkan 180 ribu hektare lahan, sehingga (sesuai) kaidah lingkungan. Nuansanya green city. Kalau misalnya ada hutan produksi, dijadikan kawasan hijau. Kalau ada hutan lindung, dilakukan revitalisasi. Jadi ada konservasi untuk meningkatkan kualitasnya,” kata Isran.
Kini pemerintah terus mempersiapkan berbagai kebutuhan terkait proses pemindahan ibu kota. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono pun mulai menyiapkan anggaran groundbreaking pembangunan ibu kota untuk pertengahan 2020. Rencananya, pembangunan awal akan menghabiskan Rp 865 miliar dari total biaya yang menurut Jokowi mencapai Rp 466 triliun.
Duit sebanyak itu jelas luar biasa besar. Dan pindah ibu kota tentulah bukan perkara untuk dibuat kelakar.
_________________
Simak Lipsus kumparan: Babat Alas demi Ibu Kota Baru
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten