Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Warga Kelurahan Panularan, Kecamatan Laweyan, Solo, pagi itu berbondong-bondong menuju Taman Cerdas Panularan yang akan diresmikan. Mereka datang sejak pukul 08.00, satu jam lebih dini sebelum ketibaan sang wali kota yang juga cawapres nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka.
Sesampai di taman itu, Gibran tak memberikan pidato sambutan peresmian taman. Ia dan istrinya, Selvi Ananda, langsung membagi-bagikan buku tulis dan susu kotak UHT kepada anak-anak. Hanya sekitar 15 menit, putra sulung Presiden Jokowi itu pun bertolak lagi.
Pada hari yang sama, Jumat (29/12), Tim Kampanye Nasional Pemilih Muda (TKN Fanta) Prabowo-Gibran, juga sibuk membagi-bagikan susu kemasan UHT kepada para pengemudi ojek online di depan Sarinah, Thamrin, Jakarta Pusat.
Serupa, Tim Kampanye Daerah (TKD) Prabowo-Gibran di Surabaya pun secara serempak membagi-bagikan makan siang dan susu gratis di 50 titik di kota itu.
Makan siang dan susu gratis untuk anak sekolah memang jadi program utama yang digaungkan Prabowo-Gibran. Dalam dokumen Visi, Misi, dan Program Prabowo-Gibran, tertera bahwa program tersebut menyasar murid prasekolah, SD, SMP, SMA, dan pesantren yang berjumlah sekitar 80 juta orang.
Guna merealisasikan program populis yang bertujuan untuk mengurangi angka stunting di Indonesia itu, dibutuhkan anggaran hampir setara dengan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, yakni Rp 450 triliun.
Bagi-bagi susu gratis untuk anak sekolah memang bukan hal baru. Program ini telah dipraktikkan oleh sejumlah negara di dunia. Meksiko menerapkan kebijakan ini sejak 1929, dan China memulainya pada tahun 2000.
Target penerima program makan siang dan susu gratis di Tiongkok awalnya adalah anak-anak di perdesaan dan anak-anak dari ibu pekerja yang berada pada rentang usia 6–15 tahun. Jumlahnya sekitar 27 juta anak.
Tahun 2012, China memperluas program itu ke sekolah-sekolah di seluruh wilayah perdesaan dan menamainya School Feeding Program (SFP). Cakupan program itu sekitar 36 juta anak. Anggaran yang dibutuhkan 4,5 miliar USD (setara Rp 69 triliun lebih) untuk 10 tahun.
Tiga tahun setelah program berjalan, pada 2015, Huan Wang, Matthew Boswell, dan Scott Rozelle dari Universitas Stanford, serta Qiran Zhao dari Universitas Agrikultur China meneliti efektivitas dampak program tersebut: apakah SFP berhasil mengurangi malnutrisi di antara murid-murid perdesaan?
Setelah meneliti murid-murid di 100 sekolah yang tersebar di 10 prefektur bagian barat laut China, jawabannya ternyata: tidak.
School Feeding Program di China—yang terdiri dari pemberian makanan dan susu—tidak secara signifikan mengurangi malnutrisi di kalangan murid perdesaan di China. Oleh sebab itu, kualitas gizi dari makanan yang diberikan pun dipertanyakan.
“Kami yakin masalah utama program ini adalah sumber daya manusia dan finansial yang kurang memadai. Lebih dari 80% kepala sekolah yang disurvei menyatakan bahwa anggaran yang disediakan oleh pemerintah pusat tidak cukup untuk menyediakan asupan bergizi,” demikian tulis penelitian Can School Feeding Programs Reduce Malnutrition in Rural China yang dipublikasikan Journal of School Health, American School Health Association, pada 2019.
Dalam program perbaikan gizi terhadap anak-anak di perdesaan China itu, takaran susu yang diberikan beragam, mulai dari 125 mililiter, 200 ml, atau 250 ml. Jenis susunya pun bervariasi. Ada susu ultra high temperature (UHT), susu pasteurisasi, sterilisasi, maupun fermentasi.
Program dijalankan dengan menggandeng asosiasi pengusaha susu China dengan target distribusi 32 juta unit susu per hari. Produsen yang memasok susu harus mengikuti tender, memenuhi standar keamanan produk China, dan memenuhi standar kapasitas produksi minimal 200 ton susu segar per hari.
Nyatanya, program tak berjalan optimal, salah satunya karena staf sekolah kurang memahami sensitivitas laktosa yang kadang tak cocok dengan sebagian murid, dan cara menyimpan susu yang benar.
Berikutnya program minum susu gratis bagi siswa-siswi di negara-negara Britania Raya. Mereka telah memulai program mengkonsumsi latte untuk siswa-siswi sejak 1920 hingga kini. Kementerian dan lembaga terkait bekerja sama dengan sekolah, orang tua, dan siswa.
Susu gratis diberikan kepada sekitar 1,5 juta anak dari usia prasekolah hingga SMP (3-11 tahun). Sementara untuk murid berkebutuhan khusus mendapat susu gratis lebih lama, hingga 18 tahun.
Pada tahun 2005 Lembaga Ekonomi London bersama seorang peneliti Dr Susan New melakukan evaluasi terhadap program subsidi susu gratis bagi anak-anak Inggris.
Metodologi yang dilakukan Susan dkk. yaitu dengan menggunakan survei kuesioner kepada 1.945 sekolah di Inggris, termasuk siswa dan orang tua siswa serta pihak-pihak yang berkepentingan.
Penelitian yang berjudul Evaluation of the National Top-Up to the EU School Milk Subsidy in England menyimpulkan program bagi-bagi susu di negara tersebut tidak memberikan dampak peningkatan kualitas kesehatan yang signifikan terhadap siswa-siswi di sana.
“Laporan ini merekomendasikan untuk mengakhiri Top-Up (subsidi) dan SMSS (School Milk Subsidy Scheme) UE, dan mempertimbangkan intervensi alternatif untuk meningkatkan konsumsi susu di antara kelompok anak-anak tertentu,” tulis laporan tersebut.
Selain itu, kebutuhan anggaran untuk subsidi dalam program pembagian susu gratis di Inggris memakan dana yang cukup besar. Pada tahun 2018-2019, pemerintah menggelontorkan dana sekitar 6,8 juta euro atau sekitar Rp 115,6 miliar per tahun untuk subsidi susu gratis pada anak-anak.
Pemerintah Thailand juga menjalankan program peningkatan konsumsi susu pada anak-anak. Program pemberian susu kepada anak-anak mulai disuarakan pada tahun 1984 akibat protes keras dilakukan oleh para peternak sapi perah karena produksi susu mereka tidak laku.
Pilot projek dijalankan di area ibu kota, Bangkok dan kota terbesar kedua, Chiang Mai pada 1985. Hanya saja waktu itu pemerintah tak memberikan susu secara gratis. Melainkan memberikan potongan sebesar 25% dari harga asli.
Program pemberian susu segara kepada anak-anak ini akhirnya berkembang hingga sekarang dan menyerap berhasil 30% dari total produksi susu dalam negeri sebanyak 1,2 juta ton (2018). Tujuan lain dari program ini yaitu untuk meningkatkan pemberian nutrisi dan gizi pada anak-anak.
Beberapa masalah yang menjadi tantangan industri sapi perah di Thailand tidak jauh beda dengan Indonesia. Pertama, produksi susu dalam negeri belum mencukupi kebutuhan konsumsi nasional. Kedua, biaya produksi susu sapi masih tinggi, di antaranya biaya logistik. Ketiga, kualitas susu tidak stabil.
Kendati demikian, FAO menilai program pemberian susu gratis bagi anak-anak di Thailand memberikan dampak positif untuk meningkatkan nutrisi dan gizi. Menurut International Dairy Federation (IDF), secara umum program pemberian susu kepada anak-anak di sekolah memberikan dampak positif.
“Mengonsumsi makanan padat nutrisi seperti susu yang tersedia dalam program makanan sekolah juga dikaitkan dengan peningkatan akademik dan perilaku,” tulis IDF.
Bila nantinya Indonesia akan mengadopsi program susu gratis untuk anak, peneliti Lembaga Studi Pembangunan Peternakan Indonesia, Rochadi Tawaf, menyarankan agar program tersebut harus melibatkan sekaligus menguntungkan peternak lokal.
Rochadi mengusulkan agar industri pengolah susu (IPS) menyerap peternak lokal lebih banyak. Saat ini, berdasarkan regulasi yang tertuang dalam Peraturan Kementerian Pertanian Nomor 33 Tahun 2018 tentang Penyediaan dan Peredaran Susu, pemerintah tidak lagi mewajibkan IPS menyerap susu dari peternak lokal.
Masalah selanjutnya yang perlu diantisipasi dalam program bagi-bagi susu gratis ialah impor susu besar-besaran, sebab saat ini produksi susu dalam negeri hanya sekitar 968 ribu ton, atau hanya mampu mencukupi 20% dari total kebutuhan konsumsi nasional.
Pengamat Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menyatakan, impor susu besar-besaran bakal menguras devisa negara, dan kelompok yang paling diuntungkan justri peternak asing dari negara importir, bukan peternak lokal di Indonesia.