Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Bahagia di Ujung Ajal lewat Perawatan Paliatif
16 November 2017 9:40 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
ADVERTISEMENT
Siang itu, hari terakhir di bulan Oktober 2017, saya berpapasan dengan seorang anak laki-laki di bangsal anak Rumah Sakit Kanker Dharmais. Saya tebak usianya baru menginjak tahun ketiga.
ADVERTISEMENT
Sambil menyeret-nyeret tiang penyangga infus yang tingginya dua kali tubuhnya, bocah berkepala plontos itu berjalan pelan. Jalannya sedikit ngangkang, seperti sulit sekali menggeser kaki kecilnya untuk bergerak maju.
Suara gesekan roda tiang infus dan senandung si bocah plontos terdengar jelas. Saya mengamati tubuh kecilnya menjauh dari pandangan dalam diam.
“Anak itu terkena kanker testis,” celetuk seorang perempuan, guru yang dipanggil untuk mengajar di bangsal anak rumah sakit tersebut. Ia menghela napas sejenak, lalu berkata lagi “Sepertinya kondisi anak itu sudah parah.”
Saya menengok lagi ke arah si bocah--yang berbelok masuk ke ruangan paling ujung sebelah kiri. Anak lelaki kecil itu membuat saya penasaran--separah apa penyakitnya, dan apakah masih bisa diobati ataukah sudah pada masa terminal?
ADVERTISEMENT
Pasien kanker yang berada pada stadium terminal berarti sudah divonis tidak bisa lagi diobati. Mereka, kemungkinan besar, tinggal menghitung mundur hari berpulang.
Jika sudah begitu, bagaimana anak-anak penderita kanker menjalani sisa hari mereka?
Dunia medis memperkenalkan perawatan holistik yang disebut paliatif. Ini perawatan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien yang memiliki penyakit ganas mengancam jiwa, macam HIV/AIDS dan kanker.
Perawatan paliatif tak hanya fokus pada pengobatan, tetapi juga penanganan kondisi psikososial, spiritual, dan nyeri fisik, baik yang disebabkan oleh penyakitnya atau yang berasal dari efek pengobatan.
Di Indonesia, konsep perawatan paliatif masih belum bisa diterima oleh beberapa kalangan. Ini karena metode paliatif belum sepenuhnya dipahami oleh masyarakat.
Banyak orang mengira, perawatan paliatif baru diberikan pada pasien yang berada pada fase terminal alias tinggal tunggu ajal. Namun ini ditepis oleh ahli onkologi anak di Rumah Sakit Kanker Dharmais, dr Edi Tehuteru.
ADVERTISEMENT
Dokter Edi menekankan, perawatan paliatif sudah mulai dilakukan sejak pasien didiagnosis. “Misalnya dia didiagnosis kanker stadium awal, kan ada penanganan pada nyeri, nah penanganan itu sudah disebut paliatif.”
Namun, porsi perawatan paliatif berbeda-beda, tergantung kebutuhan pasien, dan itu bisa dilihat dari kondisinya.
Pada anak penderita kanker, ia mendapat pengobatan kuratif (penyembuhan) sesusai tahapan-tahapannya, seperti operasi, radioterapi, dan kemoterapi. Sementara dari sisi paliatif (pereda sakit), ia memperoleh penanganan pada nyeri atas luka yang diderita.
Di fase awal, anak penderita kanker akan lebih banyak menerima penanganan kuratif ketimbang paliatif, sebab kemungkinan untuk survive masih amat besar. Pada tahap ini, porsi paliatif diberikan sedikit sebagai penyeimbang, untuk mencoba menjaga kualitas hidup si anak.
ADVERTISEMENT
Masalahnya, di Indonesia pengetahuan masyarakat untuk mendeteksi dini serangan kanker pada anak masih amat kurang. Ini membuat penanganan kanker tak maksimal karena anak tak segera ditangani pada stadium awal.
Sebagian besar datang ke rumah sakit ketika kankernya sudah stadium lanjut. Ini sesuai data Pusat Onkologi Anak RS Dharmais tahun 2006-2010 yang memperlihatkan 36,3 persen pasien kanker anak datang saat penyakitnya berada di stadium 4 bahkan fase terminal.
Pada stadium 4, kanker pada anak telah menyebar ke bagian yang jauh dari tempat dia tumbuh. Bisa ke paru-paru, lever, tulang belakang, otak, tulang pinggul, dan lain-lain. Harapan untuk sembuh sangat kecil.
Di fase terminal, penyebaran kanker bahkan sudah sedemikian jauh dan merusak berbagai fungsi organ vital, baik di daerah tumbuhnya kanker maupun di tempat-tempat terjauh.
ADVERTISEMENT
Dalam kondisi tersebut, penanganan kuratif atau penyembuhan sudah tidak memungkinkan lagi. Apakah itu operasi, radioterapi, ataupun kemoterapi--tidak bisa. Maka pasien akan lebih banyak, atau bahkan hanya, menerima perawatan paliatif.
“Polanya berubah dari to cure jadi to care. Care untuk melayani dan menambah kualitas hidup menjadi lebih baik,” kata Dokter Edi.
Ada 4 hal yang harus diperhatikan dalam penanganan paliatif pada anak penderita kanker yang sudah berada pada fase terminal. Keempatnya saling berhubungan.
Pertama, penanganan fisik seperti meredakan nyeri, memberi nutrisi yang cukup, menutup luka, dan memastikan luka tak bau.
Kedua, penanganan psikologis, baik pada anak ataupun orang tua dan keluarga terdekat. Misalnya menggali emosi orang tuanya dengan menjadi pendengar yang baik terhadap keluhan, amarah, ketakutan, kekecewaan, dan kesedihan mereka.
ADVERTISEMENT
Ketiga, penanganan sosial seperti mengajak pasien bermain, menemani mengobrol, atau mencarikannya sekolah jika si anak mau sekolah. Sebab pengobatan kanker kerap membuat anak harus berhenti sekolah sama sekali.
Bagian sosial ini terkait erat dengan faktor fisik dan psikologis. Contohnya, jika si anak ingin bersekolah, maka penanganan pada luka dan nyeri sangat penting agar aktivitasnya di sekolah tak terganggu. Atau bila si anak ingin sekolah tetapi malu karena ada benjolan di kepala atau karena kepalanya botak akibat kemoterapi, maka rasa percaya dirinya harus dibangun lewat penanganan psikologis.
Keempat, penanganan spiritual yang berhubungan dengan bagian sebelumnya pula, yakni psikologis. Sebab ketakutan terbesar pasien dan keluarganya yang berada pada fase terminal adalah menghadapi kematian. Maka perawat paliatif akan melibatkan guru agama untuk memberikan ketenangan rohani bagi mereka.
Suster yang mendampingi pasien juga harus mengedukasi orang tua pasien tentang kematian, dan ini mungkin paling sulit dilakukan. Memang, dokter dan suster bukan Tuhan yang bisa tahu kapan kematian seseorang akan datang. Tapi keahlian medis membuat mereka dapat memprediksi seberapa cepat penyakit mampu menghabisi tubuh pasien.
ADVERTISEMENT
Soal kematian memang pelik. Pun bila dokter telah menjelaskan dengan terang dan gamblang terkait kondisi pasien yang tak bisa lagi disembuhkan, yang tak mempan lagi menerima asupan berbagai obat, banyak orang tua tetap memaksa anak mereka terus diobati--apapun caranya, berapapun biayanya.
Padahal terus-menerus melakukan kemoterapi dengan memasukkan bahan kimia ke dalam tubuh, justru membuat fungsi sejumlah organ tubuh terganggu.
“Orang yang seperti ini (menuntut kesembuhan apapun caranya) saya sebut tipe maksimalis,” kata Dokter Edi.
Penganut maksimalis tidak mau menerima perawatan paliatif walau penyakit sudah memasuki masa terminal. Metode paliatif dianggap sebagai kekalahan--pilihan menyerah pada keadaan.
“Mereka pokoknya akan berjuang sampai akhir. Kasarnya, kalau perlu meninggal di ruang ICU,” tutur dokter Edi.
ADVERTISEMENT
Dengan berupa maksimal dalam melakukan pengobatan, para maksimalis merasa telah melakukan segalanya untuk menyembuhkan buah hati mereka. Dan keputusan itu, seperti juga keputusan orang tua menggunakan metode paliatif, dihargai oleh Edi selaku dokter ahli onkologi profesional.
Tata laksana pengobatan seorang anak hingga akhir hidupnya diserahkan sepenuhnya pada orang tua dan mungkin si anak.
Jika orang tua memilih perawatan paliatif, maka Dokter Edi akan merujuknya ke penyedia layanan perawatan paliatif pediatri Yayasan Rumah Rachel (Rachel House).
Selanjutnya, pasien akan diberikan perawatan paliatif secara holistik tanpa biaya. Suster akan mendampingi pasien dan orang tua, mulai dari penanganan nyeri dan luka, psikologis, sosial, spiritual, hingga jelang kematian.
Rina Wahyuni, suster kepala di Rachel House , bercerita betapa suster perlu mendekatkan diri dengan keluarga pasien untuk mengetahui waktu yang tepat guna memberi tahu bahwa hari kematian sang anak sudah semakin dekat.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut--pemberian pengertian dan dukungan--sangat penting, agar orang tua siap betul menghadapi kenyataan pahit itu jika waktunya tiba.
Bicara hati ke hati dilakukan intens, sehingga sedikit demi sedikit orang tua bisa berlapang dada, bersiap menerima kepergian anak mereka.
Pada hari-hari terakhir itu, orang tua mencurahkan kasih sayangnya dengan cara paling manis, mengabulkan keinginan-keinginan sederhana sang anak yang selama ini ingin ia lakukan tapi belum bisa terlaksana.
Bahkan, sekadar bercengkerama hangat di rumah yang hangat nyaman, bukan di kamar rumah sakit beraroma antiseptik, biasanya sudah menjadi kebahagiaan pasien.
Hingga akhirnya hari terakhir sang anak tiba, orang tua akan melepas dengan ikhlas, merelakan buah hatinya pergi dengan tenang.
ADVERTISEMENT