Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Agama dan negara tak boleh dipisahkan, dan “semua urusan dunia di masjid adalah sah.”
ADVERTISEMENT
Itu prinsip Amien Rais , yang lalu ia gemakan kencang, membuat gaduh masyarakat--yang (lagi-lagi) terbelah antara kubu pro dan kontra.
“Kita jangan kehilangan momentum. Ini baru jelang Pilpres. Ustazah kalau peduli negara, pengajian disisipi politik itu harus. Harus itu,” kata Amien saat berpidato pada acara tasyakuran Ustazah Peduli Negeri di Balai Kota DKI Jakarta, Selasa (24/4).
Ia lantas mengutip ayat 11 Surah Ar-Ra’d (Guruh), dan menyimpulkan isinya dengan tegas. “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. We have to change ourselves.”
Pesan terbuka Amien bahwa “pengajian harus disisipi politik” tak pelak merambat cepat, dan memunculkan kecemasan berikutnya: politisasi masjid.
Masalahnya, ‘pesan politik’ apa yang akan disisipkan, dan ‘kesadaran politik’ apa yang hendak dibangun? Sebab keduanya berkorelasi erat dengan pihak mana yang diuntungkan oleh penyisipan politik pada acara-acara keagamaan.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, ‘politik’ macam apa yang dimaksud Amien? Sebab kata ‘politik’ memiliki dimensi makna luas, termasuk politik praktis-politik elektoral yang melingkupi persaingan partai politik dalam berebut kuasa.
Jika politik praktis yang dimaksud, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia KH Ma’ruf Amin tak sepakat. “Yang kami harapkan, jangan tempat ibadah, kantor pemerintahan, pengajian-pengajian, dijadikan sebagai forum untuk kampanye.”
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin sependapat. “Ketika rumah ibadah dijadikan tempat untuk memperbincangkan politik praktis pragmatis, maka akan menimbulkan sengketa atau konflik di antara jemaat itu sendiri, karena aspirasi mereka berbeda-beda.”
Menag sendiri pada April 2017 mengeluarkan maklumat siaran keagamaan di rumah ibadah yang salah satu butirnya justru menyerukan agar “materi yang disampaikan tidak bermuatan kampanye politik praktis dan/atau promosi bisnis.
ADVERTISEMENT
Ancaman Pecah Belah
Politisasi masjid untuk kepentingan politik praktis, ujar intelekual muda Nahdlatul Ulama Mohammad Guntur Romli, bisa jadi ancaman.
“Itu berbahaya, karena pengajian malah menjadi tempat kampanye--kampanye apa saja, mau ganti presiden kek, tetap presidennya kek. Kegiatan keagamaan dan masjid harusnya netral,” kata politikus Partai Solidaritas Indonesia itu, Sabtu (28/4).
“Saya setuju agama mengawasi politik. Oleh sebab itu ia harusnya netral sebagai kekuatan moral. Tidak terjebak (politik praktis) dan tidak berpihak pada salah satu kelompok--’ganti presiden’ atau ‘tetap presiden’,” ujarnya.
Tapi, imbuh Guntur, yang dilakukan Amien Rais tak begitu. “Dia menggunakan agama sebagai keberpihakan--ganti presiden. Kalau berpihak, nggak dipercaya, dong. Di luar Amien, katakanlah saya yang mendukung Jokowi, juga tidak boleh menggunakan pengajian dan masjid (sebagai sarana kampanye).”
ADVERTISEMENT
Masjid, kata mantan ketua umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif, boleh politis selama hanya menjadi ruang diskusi soal kepentingan bersama, bukan memfasilitasi persaingan dalam perebutan kekuasaan.
“Kalau untuk kepentingan partai, itu nggak (boleh). Jelas bisa rusak masjid itu,” ujar Buya, sapaan Syafii Maarif, kepada kumparan di Yogyakarta, Kamis (26/4).
Tokoh Nahdlatul Ulama yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, mengiyakan. Menurutnya, masjid mestinya menjadi medium untuk berdiskusi bersama tanpa memandang golongan.
ADVERTISEMENT
“Dalam tataran konsep, semua khotbah itu politis. Kalau ‘politik’ dalam arti baik sebagai inspirasi atau kebijakan, misalnya ‘Hendaklah kamu berbuat adil di kehidupan,’ pemerintah diminta berbuat adil, menegakkan hukum kepada siapa pun, itu oke. Tapi kalau politik dalam arti kelompok-kelompok politik, ya itu tidak boleh,” kata Mahfud, Jumat (27/4).
Jadi, “Nggak usah katakan, ‘Yang bisa menegakkan hukum itu hanya partai saya. Partai lain selalu berlaku tak adil.’ Itu tidak boleh. Jangan bicara politik praktis (di masjid).”
Sosiolog Universitas Gadjah Mada, M. Najib Azca, berpendapat “Ketika tempat ibadah dipolitisasi, kemudian menjadi tempat ibadah pendukung A dan melarang pendukung B, itu merusak sakralitas agama yang agung, mulia, dan merangkul semua makhluk.”
Ia menekankan, masjid seharusnya menjadi ruang berpikir jernih untuk membicarakan masalah umat tanpa dikeruhkan oleh kepentingan perseorangan.
ADVERTISEMENT
Dalam jangka panjang, politisasi masjid berbahaya dan berpotensi memecah belah bangsa.
“Menggunakan agama sebagai propaganda politik bisa memicu konflik sipil seperti di Suriah--masjid yang dianggap afiliasi dengan kelompok tertentu, dibom oleh lawan politik kelompok itu. Ini kan bahaya,” ujar Guntur.
Kapitalisasi agama sesungguhnya lagu lama dalam perpolitikan Indonesia. Sebut saja saat ruang kritis dibungkam pada masa Orde Baru, masjid menjadi tempat alternatif.
Namun dalam konteks pertarungan politik termutakhir, politisasi masjid bisa problematis. Seberbahaya masjid yang difungsikan oleh kelompok ekstrem sebagai medium untuk menyebarkan paham radikal.
Pola politisaasi macam itu dilihat Najib terjadi di fase awal konflik komunal Ambon dan Poso. Kala itu, upaya elite untuk menggunakan masjid untuk kepentingan pribadi atau kelompok, berbuah bencana.
ADVERTISEMENT
“Pada dasarnya konflik-konflik komunal agama yang terjadi di Indonesia adalah konflik ekonomi dan politik elite yang menggunakan isu agama untuk memobilisasi pendukungnya,” ujar Najib, Sabtu (28/4).
Semua gelombang kekhawatiran itu kemudian ditangkis Amien. Ia berkukuh: semua urusan dunia di masjid adalah sah.
“Hanya orang dungu dan superbodoh yang bilang Islam nggak boleh bicara politik di masjid,” ujar Amien kepada kumparan di Pejaten, Jakarta Selatan, Kamis (26/4).
Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional itu melanjutkan, “Islam itu agama dunia, bukan agama akhirat. Akhirat itu besok tinggal panen. Makanya (dalam Islam) disuruh mendekatkan keadilan, menyantuni anak yatim, membagi modal agar tidak dipegang sekelompok kecil, dan lain-lain. Karena Islam itu agama dunia.”
ADVERTISEMENT
Amien lantas menegaskan, “Kalau ada orang Islam mengatakan, ‘Masjid nggak boleh ada khotbah politiknya.’ Wah, itu namanya orang munafik. Orang munafik itu rijsun (najis), istilahnya kasar sekali. Itu Quran yang bilang.”
Selanjutnya ia mengutip beberapa ayat Al-Quran, sembari berkata bahwa kitab suci umat Islam itu dengan jelas mewajibkan manusia agar “menancapkan keadilan sosial, ekonomi, politik, hukum, pendidikan, untuk semua anak bangsa.”
Sayangnya, kata Amien, doktrin tersebut sering dilupakan oleh banyak orang Islam. Padahal, urusan-urusan dunia itu tak terpisah dari agama.
Itu sebabnya, menurut Amien, menyisipkan pesan politik dalam kegiatan peribadatan seperti pengajian dan khotbah di masjid adalah kewajiban muslim.
Melalui penyisipan pesan politik di pengajian, Amien hendak mengulang ‘keajaiban’ Pilkada DKI Jakarta 2017 yang mendulang suara signifikan bagi Anies Baswedan-Sandiaga Uno. ‘Keajaiban’ itu, menurut Amien, terwujud berkat peran kelompok Islam yang sesungguhnya tak saling terhubung dan terorganisasi dengan baik.
ADVERTISEMENT
Bila jejaring yang belum sempurna saja bisa menghasilkan ‘keajaiban’, bayangkan apa yang terjadi bila elemen-elemen itu dioptimalisasi lewat penyisipan ‘kesadaran politik’ dalam berbagai pengajian dan dakwah di masjid. Hasilnya, bisa jadi, akan luar biasa hebat.
Amien tak soal dianggap menyeret agama ke ranah politik praktis. Ia mengklaim tak sembarang berucap, sebab punya modal ilmu politik dan ilmu agama yang ia geluti bersamaan selama 50 tahun lebih.
“Saya kalau soal politik sudah pergi sangat jauh. Teori Barat (sampai) teori Marxisme- Leninisme. Saya pernah mengklaim kalau soal teori Marxisme-Leninisme itu saya lebih pandai dari Aidit, dari siapapunlah. Karena saya itu punya Certificate on East European Studies and Soviet Studies. Tetapi saya baca Quran,” kata Amien.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh, bila saran dia untuk “menyisipkan politik pada pengajian” kemudian dijadikan momentum bagi partai-partai politik untuk berkampanye di masjid, Amien pun merasa itu bukan masalah. “Asal demokratis,” katanya.
Bila begitu, bisa jadi--seperti dicemaskan sebagian orang--di sana sini nanti kita akan menjumpai Masjid ‘Ganti Presiden’ dan Masjid ‘Dua Periode’ yang isi khotbah Jumat-nya saling berseberangan, atau bahkan saling serang. Khatib menjadi orator seperti di panggung kampanye, dan jemaah menjadi penonton serta simpatisan.
‘Sedemokratis’ apa suasana semacam itu bisa dibangun, belum diketahui pasti. ‘Seberbahaya’ apa situasi negeri bila umat tersedot gelombang politik praktis sampai ke urusan ibadah, tak sebaiknya diremehkan.
“Sejak dulu Amien Rais memang begitu (kontroversial), sudah biasa,” kata Mahfud.
ADVERTISEMENT
------------------------
Ikuti terus Kontroversi Amien Rais di Liputan Khusus kumparan.