Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Balada Jalan Majapahit dan Hayam Wuruk di Bandung
29 Agustus 2018 15:01 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
ADVERTISEMENT
Di era Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan akhirnya jalan Majapahit dan Hayam Wuruk bisa ada di Bandung, Jawa Barat. Sebelumnya, karena stigma sejarah yang melekat, tidak pernah ada kedua nama jalan ini di Bumi Pasundan.
ADVERTISEMENT
Seperti apa kisahnya sebenarnya yang menyebabkan stigma tersebut terjadi? Semua berawal dari Perang Bubat yang terjadi pada abad ke-14 M. Yuk simak rangkaian ceritanya.
Perang Bubat: Tentang Stigma Sunda-Jawa
Cerita tentang Perang Bubat di masa lampau-meski secara bukti sejarah masih diperdebatkan- membuat hubungan suku Sunda dan Jawa tak harmonis.
Perang Bubat adalah perebutan pengaruh dan kekuasaan antara Kerajaan Majapahit di Jawa Timur dan Kerajaan Galuh (Pajajaran) di Jawa Barat.
Sebagai penguasa Nusantara di masanya, Majapahit sangat sulit menduduki Kerajaan Galuh. Padahal kerajaan tersebut sangat berguna bagi Majapahit.
Kerajaan di Sunda perlu mereka kuasai agar hasil bumi yang melimpah ruah yang mereka miliki dapat dipasarkan. Namun, ternyata menguasai Kerajaan Galuh bukan perkara mudah.
ADVERTISEMENT
“Kerajaan Sunda merupakan mitra satata atau berkedudukan sama dengan Majapahit. Kedua kerajaan dipersatukan dalam kerjasama regional dalam bidang ekonomi,” ujar Hassan Djafar, ahli epigraf seperti dikutip kumparan dari Historia.id, Rabu (29/8).
Sebenarnya Hayam Wuruk sebagai penguasa Majapahit berniat mengawini putri Kerajaan Galuh, Dyah Pitaloka. Banyak penafsiran dari beberapa ahli terkait dengan maksud dan tujuan Hayamwuruk menikahi Pitaloka.
Salah satunya untuk memuluskan rencana Majapahit menguasai Sunda.
Namun di tengah banyaknya penafsiran terakit hal ini, arkeolog dari Universitas Indonesia (UI) Agus Aris Munandar memiliki penjelasan agak berbeda. Berkaca dari kisah Panji Angreni, yang ditulis pada 1801 atas perintah Pangeran Adimanggala di Palembang.
“Gajah Mada semula setuju dengan perkawinan itu, sebuah upaya mempersatukan Majapahit dan Sunda tanpa peperangan,” demikian keterangan Agus kepada Historia.id.
ADVERTISEMENT
Pihak Kerajaan Sunda tak mau dan menolak pernikahan keduanya. Sebab, ketika Raja Sunda Prabu Maharaja ke Majapahit, alih-alih diterima dengan pesta penyambutan, mereka menghadapi sikap keras Mahapatih Gajah Mada yang menghendaki putri Sunda sebagai persembahan. Pihak Sunda tak setuju dan bertekad perang.
Perang pun tak terelakkan. Pernikahan Hayam Wuruk dan Pitaloka pun batal.
Histori soal Perang Bubat ini kemudian secara turun-temurun diwariskan ke anak-anak suku Sunda dan Jawa.
Rekonsiliasi Hubungan Jawa-Sunda Lewat Perubahan Nama Jalan
Sebelum ada nama Jalan Majapahit dan Hayam Wuruk di Bandung, terlebih dahulu ada Jalan Pajajaran dan Siliwangi di Yogyakarta.
Lewat Pansus Perubahan Nama Jalan DPRD Kota Surabaya, akhirnya ada nama Jalan Siliwangi dan Pajajaran di Kota Pelajar. Kedua jalan ini terdapat di Jalan Arteri (Ring Road) Yogyakarta, yang merupakan Jalan Nasional.
ADVERTISEMENT
Kedua Jalan ini diresmikan oleh Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan dan Wali Kota Bandung M. Ridwan Kamil pada 3 Oktober 2017.
Saat itu, Sri Sultan mengatakan, adanya nama Jalan Pajajaran dan Siliwangi di Yogyakarta akan menjadi harmoni baru hubungan adat suku Sunda dan Jawa.
Nah, tujuh bulan kemudian, sejarah kembali tercipta. Saat itu, tepatnya tanggal 11 Mei 2018, Ahmad Heryawan meresmikan Jalan Hayam Wuruk dan Majapahit di Bandung. Selain kedua jalan itu, ada juga Jalan Citaresmi yang diresmikan Aher.
Tiga jalan itu menggantikan nama jalan sebelumnya. Jalan Majapahit sebelumnya bernama Jalan Gasibu, kemudian Jalan Hayam Wuruk menggantikan Jalan Cimandiri, dan Jalan Citraresmi menggantikan Jalan Pusdai.
ADVERTISEMENT
Aher mengatakan, peresmian tiga jalan itu sebagai bagian dari harmoni budaya yang diinisiasi sebelumnya oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X.
"Hari ini kita hadirkan sebuah cara pandang dengan rekonsiliasi kolektif. Mari kita hadirkan kesatuan, mari kita bangun masa depan yang baik secara bersama-sama lewat rekonsiliasi Jawa-Sunda dan Sunda-Jawa hari ini," tutur Aher di halaman Gedung Sate, Bandung, Jumat (11/5).
Aher mengatakan, pergantian nama jalan menjadi langkah awal rekonsiliasi antara Sunda dan Jawa. Ia menambahkan, ini merupakan langkah konkret anak bangsa untuk semakin memperkuat harmonisnya kebinekaan di NKRI.
"Kebinekaan dari suku bangsa terbesar kesatu dan kedua yang ada di NKRI, yaitu Jawa dan Sunda," ujar Aher.
"Ini adalah sejarah baru dan titik baru untuk menatap masa depan yang lebih baik. Mari kita bangun masa depan kita yang baik secara bersama-sama lewat rekonsiliasi budaya Sunda-Jawa dan Jawa-Sunda pada hari ini," tutup dia.
ADVERTISEMENT