Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Putusan Mahkamah Konstitusi terkait gugatan syarat capres-cawapres memungkinkan Gibran Rakabuming Raka melenggang ke Pilpres 2024. Terlepas dari jadi atau tidaknya ia maju cawapres, belakangan ini telah muncul tanda kebangkitan dinasti politik teranyar di republik ini: dinasti Jokowi . Trah ini menancapkan kuku dengan kecepatan luar biasa: hanya dalam 10 tahun kepemimpinan Joko Widodo.
***
Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto mengajak Ketua Umum PSI Kaesang Pangarep bersantap malam di rumahnya, Jalan Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, usai silaturahmi sekaligus kunjungan balasan PSI ke Gerindra, Kamis, 12 Oktober 2023.
Kaesang yang sedang berpuasa mengiyakan ajakan Prabowo. Jadilah menu buka puasanya hari itu nasi daun jeruk dan rendang. Perjamuan berlangsung hangat. Kaesang dan Prabowo terlihat akrab.
Agar pertemuan kedua elite parpol makin asyik, Prabowo mengundang salah satu calegnya yang juga penyanyi senior, Melly Goeslaw, untuk ikut menyemarakkan suasana. Melly meyanyikan lagu dalam bahasa Sunda dengan lirik yang di-custom untuk Koalisi Indonesia Maju, sementara Prabowo dan Kaesang—meski malu-malu kucing—turun berjoget.
Persamuhan politik Kaesang dan Prabowo di Kertanegara itu amat mungkin disusul dengan kerja sama konkret antara PSI dan Gerindra. Terlebih, Prabowo kemudian mengundang Kaesang untuk berkunjung ke kediaman pribadinya yang lebih luas dan privat di Hambalang, Kabupaten Bogor, guna menggelar pertemuan lanjutan.
Bila Kaesang jadi bertamu ke Bukit Hambalang, maka ia mengikuti jejak kakaknya, Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka, yang telah lebih dulu menyambangi kediaman spektakuler Prabowo seluas hampir 5 hektare yang dilengkapi arena pacuan kuda, lapangan sepak bola, hingga helipad itu.
Gibran berkunjung ke Hambalang pada akhir pekan, 18 Juni 2022. Di sana, Prabowo menyuguhi Gibran pelbagai hidangan dan mengajarinya berkuda. Prabowo juga menyarankan Gibran untuk memantapkan karier politiknya dengan maju ke Pilgub DKI Jakarta atau Pilgub Jawa Tengah 2024.
“Ada banyak [wejangan politik] yang bersifat rahasia dan tertutup,” kata Gibran sehari usai silaturahmi politik itu.
Gerindra sejak awal menyanjung kinerja Gibran. Sekjen Gerindra Ahmad Muzani pada April 2022, menyatakan bahwa “Gibran prototipe pemimpin di pemerintahan yang punya inovasi, kreasi, dan selalu membuat kemajuan.”
Setahun belakangan, Prabowo makin dekat dengan Gibran. Kini pun dengan Kaesang. Ia tampak nyaman bersama dua putra Jokowi itu. Sekilas, Prabowo bak punya peran dalam kebangkitan dinasti politik Jokowi.
Namun, organisasi sayap Gerindra, Satuan Relawan Indonesia Raya (Satria), menepis anggapan bahwa Gerindra memfasilitasi bangkitnya dinasti politik Jokowi.
“Memangnya nggak boleh beri kesempatan bagi seseorang [untuk jadi calon pemimpin]? Di Amerika saja, anak Bush senior juga jadi presiden. Di sini masak dilarang?” kata Ketua Satria, Bambang Hariyadi, membandingkan George Herbert Walker Bush dan anaknya, George Walker Bush, yang sama-sama menjadi Presiden AS.
“Kalau memang disebut dinasti, ya sekalian dibuat sistem [jabatan] turun-temurun, nggak perlu nyalon wapres. Buktinya, di daerah-daerah ada anak kepala daerah yang enggak terpilih karena kinerjanya kurang. Jadi, bagi yang menentang, ya nggak usah pilih [Gibran] karena itu hak politik masing-masing,” imbuh anggota Fraksi Gerindra DPR RI itu.
Jabatan Politik untuk Anak dan Mantu Jokowi
Pada periode kedua Jokowi, 2019–2024, anak dan menantunya ikut terjun ke jagat politik dan berhasil memangku jabatan baik sebagai kepala daerah maupun pemimpin parpol.
Sang putra sulung, Gibran Rakabuming, menjabat sebagai Wali Kota Solo sejak Februari 2021 usai memenangi Pilkada 2020. Ia dan wakilnya yang telah malang melintang di perpolitikan dan pemerintahan, Sekretaris DPC PDIP Solo dan mantan anggota DPRD Solo Teguh Prakosa, diusung oleh 9 partai yang dimotori PDIP.
Dukungan politik sebesar itu nyaris mutlak. Tak heran Gibran-Teguh menang telak dengan perolehan suara 86,5%. Gibran yang berlatar belakang pebisnis kuliner lulusan Management Development Institute of Singapore dan University of Technology Sydney itu pun meneruskan jejak ayahnya: memerintah Solo.
Pada saat bersamaan, Februari 2021, menantu Jokowi yang baru dua tahun lulus program pascasarjana Fakultas Manajemen dan Bisnis IPB, Muhammad Bobby Afif Nasution, juga dilantik menjadi kepala daerah di Sumatera.
Bobby Nasution yang berlatar belakang industri real estate berhasil menduduki kursi Wali Kota Medan setelah memenangi Pilkada 2020. Ia dan wakilnya, politisi Gerindra Aulia Rachman, mengantongi 53,45% suara.
Seperti Gibran-Teguh, Bobby-Aulia didukung rombongan besar kekuatan politik yang terdiri dari 8 parpol, termasuk PDIP dan Gerindra. Seperti Gibran pula, Bobby maju berpasangan dengan figur yang lebih berpengalaman di dunia politik. Aulia, pendampingnya, merupakan Sekretaris Gerindra DPD Sumatera Utara dan mantan anggota DPRD Medan.
Terakhir, baru-baru ini, putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, ikut menceburkan diri ke jagat politik dengan bergabung ke Partai Solidaritas Indonesia, dan langsung didapuk menjadi ketua umumnya.
Dua sumber kumparan di lingkaran koalisi Jokowi menyebut bahwa kiprah Gibran dan Kaesang di perpolitikan Indonesia didukung penuh oleh ibunda mereka, Iriana Widodo.
Satu lagi kerabat Jokowi yang punya peran tak kalah penting meski bukan di perpolitikan ialah iparnya, Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman. Anwar menikahi adik Jokowi, Idayati, pada Mei 2022. Suami Idayati yang terdahulu meninggal pada 2018 karena stroke. Sementara istri Anwar yang sebelumnya juga meninggal pada 2021.
Senin, 16 Oktober 2023, Anwar pula yang memimpin sidang putusan atas gugatan UU Pemilu terkait syarat pengajuan capres-cawapres. Sidang ini merupakan penentuan apakah Gibran dapat maju ke Pilpres 2024. Hasilnya: Gibran sekarang benar-benar bisa melenggang jadi cawapres—jika mau.
Orkestra Apik di Ujung Jabatan
Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan menyatakan, dinasti politik Jokowi resmi terbentuk dengan terjunnya Gibran, Bobby, dan Kaesang ke jagat politik.
“Dinasti itu artinya satu keluarga yang memegang kekuasaan pada saat bersamaan di sejumlah tempat, dan itu berhubungan satu sama lain. Jokowi kan presiden, sedangkan wali kota (jabatan Gibran dan Bobby) secara ketatanegaraan adalah bawahan presiden,” kata Djayadi pada kumparan, Jumat (13/10).
Meski dinasti politik di Indonesia bukan barang langka, termasuk di daerah-daerah seperti dinasti Syahrul Yasin Limpo di Sulawesi Selatan yang berlangsung tiga turunan, namun kebangkitan dinasti Jokowi saat ini memiliki nuansa berbeda.
Perbedaan pokok misalnya terlihat dari skala dan durasi terbangunnya dinasti. Bila sebagian tokoh politik umumnya cenderung mewariskan jabatan politik ke anak cucunya dalam rentang waktu panjang atau antargenerasi, Jokowi hanya butuh dua periode: 10 tahun.
Belum juga Jokowi “turun takhta”, putranya—Gibran—telah didorong menjadi wakil presiden. Hal ini belum pernah terjadi dalam sejarah Indonesia. Megawati saja membutuhkan jeda waktu lebih dari 30 tahun untuk menjadi Presiden RI setelah ayahnya, Soekarno, lengser.
Soekarno turun dari kursi presiden pada 1967, sedangkan Megawati naik ke tampuk kekuasaan pada 2001. Ada 34 tahun terentang di antara keduanya.
“Kalau terkait Pilpres, belum pernah ada anak presiden langsung jadi cawapres. Anak-anak Megawati dan SBY kan enggak,” kata Djayadi.
Singkatnya, Jokowi amat gesit dalam membangun dinasti politik. Berdasarkan amatan Adi Prayitno, pakar politik UIN Syarif Hidayatullah, Jokowi dapat merancang “orkestra” sedemikian apik dengan bersandar pada jabatan dan pengaruhnya sebagai Presiden RI.
Alih-alih mengakhiri jabatannya dengan tenang dan kembali jadi orang biasa, Jokowi dinilai menggunakan ujung masa kepemimpinannya untuk merancang rencana jangka panjang guna membuatnya bisa tetap berperan signifikan dalam lingkaran kekuasaan.
Tanpa skenario yang mumpuni, Jokowi bisa dibilang “bukanlah siapa-siapa” di percaturan politik Indonesia. Ia bukan tokoh elite parpol apalagi ketua umum parpol seperti Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono yang punya partai sendiri.
Selama ini, Jokowi lebih dikenal sebagai “petugas partai”—istilah yang berulang kali disematkan Megawati kepadanya sebagai kader PDIP. Ini dianggap tak menguntungkan baginya dan mengecilkan peluangnya untuk terlibat dalam masa depan perpolitikan Indonesia.
“Kalau sudah tidak jadi presiden, Jokowi tidak punya power untuk mengorkestrasi dan mendesain kekuatan politik keluarga besar,” kata Adi, Minggu (15/10).
Namun, tudingan tersebut dibantah Jokowi. Ia menyatakan tidak mendorong Gibran menjadi cawapres sekalipun putusan MK dapat mengubah syarat capres-cawapres.
Dari gerak-gerik politik Jokowi, Adi menduga sang Presiden sedang memperkuat PSI yang sekarang dipimpin oleh putra bungsunya. Jokowi juga berhubungan baik dengan koalisi Prabowo yang kini mendapat dukungan dari Projo, relawan terbesar Jokowi pada Pilpres 2014 dan 2019.
Soal PSI, Adi membaca bahwa “PSI kini diseriusi sebagai parpol yang membangun ideologi Jokowisme.” Bagi PSI, Jokowisme adalah “manifestasi gagasan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang mewakili semangat zaman.”
PSI menyanjung Jokowi sebagai tokoh yang “muncul dengan cara otentik dan mengalahkan para elit politik lewat proses demokratis dari bawah.” Jokowi, tutur PSI, “berhasil mendobrak tradisi kekuasaan yang selama ini didominasi elit. [...] seorang presiden yang bukan ketua umum partai berhasil mengelola kekuasaan dalam sistem multipartai yang rumit.”
PSI juga memuji Jokowi sebagai perwujudan The Indonesia Dreams—mencuplik metafora The American Dreams , gagasan yang berkembang di AS bahwa semua orang, terlepas dari strata sosialnya, bisa sukses dengan bekerja keras.
“Jokowi adalah presiden yang tumbuh dari bawah, berjuang sejak kecil untuk mendapat pendidikan, dan merintis karir sebagai pengusaha furnitur kecil sebelum akhirnya masuk politik dan dipilih rakyat sebagai presiden,” papar PSI soal konsep Jokowisme yang mereka gembar-gemborkan.
Senada dengan Adi, Djayadi juga melihat sikap dan langkah politik yang dipertontonkan Jokowi saat ini adalah upaya agar ia tetap punya kekuatan dan pengaruh meski tak lagi menjabat presiden.
“Dia (Jokowi) punya peluang lebih besar kalau ada keluarganya yang memegang posisi penting dalam pemerintahan. Nah, karena menjadikan Gibran sebagai presiden belum bisa, belum kuat, maka Gibran jadi cawapres. [Dengan begitu] peran [politik Jokowi di masa] akan datang lebih terjamin,” ujar Djayadi.
Itu bila Gibran benar-benar jadi cawapres. Namun, bila tidak pun, putra-putra dan mantu Jokowi sudah punya cukup modal politik untuk meneruskan karier politiknya.
Pengaruh dan Popularitas Jokowi Jadi Fondasi
Djayadi memandang ada dua faktor yang mendukung begitu cepatnya dinasti politik Jokowi terbangun, yakni 1) relawan loyal dan 2) tingkat kepuasan publik/approval rating yang tinggi di periode kedua kepemimpinannya. Dengan kata lain: pengaruh dan popularitas.
Sampai saat ini, Jokowi masih memiliki banyak kelompok relawan yang tersebar di berbagai daerah. Beberapa di antaranya yang populer antara lain Pro Jokowi (Projo), Jokowi Mania (Joman), Barisan Relawan Jokowi Presiden (Bara JP), dan Solidaritas Ulama Muda Jokowi (Samawi).
Yang menarik, sebagian dari kelompok relawan itu kini telah mengumumkan dukungannya untuk Prabowo. Tak cuma Projo, tapi juga Joman yang bertransformasi menjadi Prabowo Mania, dan Samawi yang menyambangi langsung kediaman Prabowo. Sementara Bara JP mendukung Gibran sebagai cawapres, siapa pun presidennya.
Selama ini, Jokowi memelihara relawannya dengan sangat baik. Tak sedikit relawan, termasuk tim pemenangannya, yang kemudian mendapat kursi penting di lingkaran pemerintahan, baik di kementerian maupun BUMN.
Sikap royal ini pada gilirannya membuat sebagian relawannya terus loyal. Strategi inilah yang menurut Djayadi tidak dimiliki presiden-presiden RI terdahulu.
“SBY misalnya tidak punya struktur relawan seperti Jokowi yang mendukungnya secara partisan dan kuat,” ujarnya.
Belum lagi, tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi terhitung tinggi. Survei LSI menunjukkan approval rating terhadap kinerja Jokowi pada periode keduanya mencapai 80%, naik dibanding pada periode pertamanya yang “hanya” 60–70%.
Artinya, Jokowi masih dipandang masyarakat umum sebagai pemimpin yang baik. Hal ini pula yang membuat banyak parpol masih “mendekat” padanya.
“[Sebagian parpol] menggunakan Jokowi sebagai pendorong mereka. Seperti yang sekarang terjadi: berebut endorsement Jokowi. Jadi bukannya berebut memisahkan diri dari Jokowi,” terang Djayadi.
Bahkan, lanjutnya, kandidat capres yang sudah jelas berada di sisi oposisi seperti Anies Baswedan juga terlihat agak ambigu ketika dihadapkan pada sikapnya terkait pembangunan era Jokowi.
Predikat “keluarga Presiden Jokowi” pun tak pelak menguntungkan bagi anak dan mantu Jokowi. Itu pula yang membuat mereka memenangi dua pilkada di wilayah berbeda. Dalam survei pra-Pilkada 2020 yang digelar Laboratorium Kebijakan Publik Universitas Slamet Riyadi Surakarta pada 2019 misalnya, Gibran menang telak dari sisi popularitas.
Bobby Nasution yang semula diragukan pun nyatanya berhasil memenangi Pilkada Medan. Kunci keberhasilan Bobby, menurut Ketua Jurusan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Warjio, salah satunya karena pengaruh sang mertua.
“Jejaring kekuasaan yang dimiliki Presiden Jokowi mengalahkan semua,” ujarnya.
Jokowi jelas memecahkan rekor soal dinasti politik dibanding para pendahulunya. Saat Megawati dan SBY masih menjadi presiden, tidak ada satu pun anak-anak mereka yang menduduki jabatan di pemerintahan.
Puan Maharani baru menjadi Ketua DPR 15 tahun setelah masa jabatan Megawati sebagai presiden berakhir; dan pertama kali menjadi anggota DPR 10 tahun sebelumnya.
Sementara meski putra bungsu SBY, Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas), menjadi anggota DPR pada masa pemerintahan ayahnya, ia sampai sekarang tidak memegang jabatan eksekutif apa pun. Begitu pula dengan kakaknya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), yang baru-baru ini batal menjadi cawapres Anies.
Tentu tidak semua tokoh politik ingin membangun dinasti. Jusuf Kalla, wakil presiden periode kedua SBY dan periode pertama Jokowi, berpendapat bahwa hubungan kekeluargaan bisa menganggu proses politik karena mengandung potensi benturan kepentingan.