Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Menunda pernikahan (waithood), menunda punya anak, hingga memiliki anak sedikit, bahkan tidak punya anak sama sekali (childfree), kian menjadi pilihan bagi generasi muda saat ini.
ADVERTISEMENT
Unggahan Instagram @goodstats yang mengutip sumber dari Survei Pemuda 2021 yang diterbitkan BPS menyebutkan bahwa di Indonesia terjadi penurunan jumlah signifikan anak muda usia 16-30 tahun yang tercatat sudah menikah.
Data itu menunjukkan anak muda pada 2011 yang tercatat sudah menikah sebanyak 46,5 persen. Sementara pada 2021 angkanya menurun menjadi hanya 37,7 persen yang sudah menikah dari total populasi anak muda 64,9 juta.
Psikolog Dian Wisnuwardhani menjelaskan fenomena ini. Menurutnya menunda pernikahan dipengaruhi oleh kesiapan seseorang sebelum menikah yang kini semakin dipikirkan lebih dalam.
"Kesiapan mental, terutama kepribadian mereka, bagaimana mereka menghadapi konflik, kesiapan ekonomi, kesiapan sosial, bagaimana mereka menjalin relasi sosial, dan juga pekerjaan tetap yang mereka miliki. Ada juga penyebab lain, misal tanggung jawab ke keluarga, merawat orang tua, sekolah dulu, misalnya," kata Dian saat kepada kumparan, Kamis (29/12).
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Psikolog Klinis Reynitta Poerwito menjelaskan hal yang tak jauh berbeda dengan pandangan Dian. Bagi Reynitta, alasan pribadi seperti mengutamakan karier atau melanjutkan sekolah menjadi pertimbangan dalam pernikahan anak mudah sekarang.
"Alasan-alasan menunda nikah berasal dari internal seseorang. Pemikiran tentang kekhawatiran, ketakutan, belum cocok, belum sreg, itu berhubungan dengan kondisi psikologis," ujar Reynitta saat dihubungi kumparan, Kamis (29/12).
Fenomena generasi sandwich yang dialami anak muda sekarang ternyata juga jadi alasan menunda pernikahan. Saat seseorang harus menanggung beban finansial dari orang sekitarnya, ternyata menyebabkan orang itu berpikir dua kali untuk menikah.
Reynitta juga menjelaskan bahwa kemajuan teknologi ternyata berpengaruh terhadap fenomena ini. Paparan informasi terkait menjalani hubungan rumah tangga yang tidak gampang, semakin mudah diketahui.
ADVERTISEMENT
"Sekarang terlalu banyak informasi, orang mulai terbuka dengan permasalahan [rumah tangganya], itu bisa jadi salah satu penyebab timbulnya datang dari dalam, mengenai kekhawatiran, ketakutan, dan lain sebagainya," katanya.
"Itu bisa mempengaruhi bagaimana kita berpikir tentang orang lain lingkungan, dan diri sendiri. Banyak orang-orang mengetahui betapa sulitnya untuk bertahan dalam pernikahan," sambung Reynitta.
Saat hendak merencanakan pernikahan, Reynitta memberikan tiga faktor yang perlu disiapkan: intimacy, commitment, dan communications skill. Calon pasangan suami istri juga diminta agar mempersiapkan adaptasi dari lajang ke menikah.
"Dalam pernikahan kita tidak bisa hanya memikirkan diri sendiri saja, terutama dalam menghadapi masalah atau konflik. Bagaimana kita bisa menghormati pasangan kita, apa pun perasaan kita. Respek itu sangat diperlukan terutama saat situasi tidak mendukung dalam hubungan yang menenangkan," kata Reynitta.
ADVERTISEMENT
Fenomena menunda pernikahan menunjukkan situasi yang lebih baik. Bila generasi sebelum Gen Z dan Milenial cenderung menikah di usia belasan, kini menunda pernikahan atau menikah di usia 25 tahun ke atas, menunjukkan umur yang pas secara biologis dan mental dalam menjalani rumah tangga.