Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Asap hitam mengepul dari balik pagar Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan Nomor 10, Surabaya, Jawa Timur. Sepanjang pagar teralis asrama itu dililit spanduk nyaris rapat, sehingga orang dari luar perlu mengintip melalui celah kecil untuk melihat asal asap itu.
Di halaman asrama, terlihat api menyala di atas tumpukan kayu bakar. Penghuni asrama, yang kebanyakan mahasiswa rantau asal Papua, tengah sibuk memanggang masakan untuk disantap bersama. Orang Papua memang punya kebiasaan makan bersama di ruang terbuka usai masak-memasak. Namun kali itu, mereka tak ingin orang luar mendekat. “Tidak, tidak. Jauh-jauh!” teriak seorang lelaki yang tengah melahap makanannya kepada siapa pun yang hendak berkunjung.
Siang itu, mes mahasiswa Papua yang dikenal dengan sebutan Asrama Kamasan memang tengah tak menerima tamu, siapa pun yang datang. Gerbang berornamen ukiran khas Papua dengan patung Burung Cenderawasih di atas gapura, terkunci oleh gembok besar. Di depannya, terbentang spanduk bertuliskan, “Siapa pun yang datang kami tolak.”
Spanduk tersebut terpasang sejak Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini berniat untuk bersilaturahmi ke asrama itu, Selasa (20/8). Alhasil, Risma batal datang.
Penolakan itu tak pandang bulu. Sekelompok legislator dari Jakarta pimpinan Wakil Ketua DPR Fadli Zon juga tak diterima. Fadli bersama politisi PDIP asal Papua Barat, Jimmy Demianus Ijie S, dan politisi Gerindra asal Papua, Steven Abraham, hanya bisa celingak-celinguk di depan asrama tanpa bisa masuk. Mereka sama sekali tak digubris.
Tak cuma itu, para anggota organisasi mahasiswa yang sudah lama akrab dengan penghuni asrama pun diminta untuk tak berkunjung sementara waktu.
“Teman-teman (di asrama) masih menghadapi trauma,” kata Ketua Front Mahasiswa Nasional Surabaya, Arief Budiman, kepada kumparan yang mencoba menyambangi asrama itu, Jumat (23/8).
Tepat sepekan sebelumnya, Jumat (16/8), jalanan depan Asrama Kamasan dilanda kegaduhan. Asrama itu didatangi ormas dan aparat karena penghuninya dituduh melecehkan bendera Merah Putih yang ditemukan teronggok di selokan depan asrama. Makian rasialisme pun melayang ke seisi asrama.
Petugas Polrestabes Surabaya kemudian mendobrak asrama dan menembaki para mahasiswa dengan gas air mata. Sebanyak 43 mahasiswa Papua diangkut polisi dan sempat ditahan beberapa jam di Mapolrestabes Surabaya.
17 Agustus 2019 menjadi hari yang panjang bagi penghuni Asrama Kamasan Surabaya. Sejak sehari sebelumnya, jalanan di depan asrama riuh oleh cacian masyarakat yang menuduh mahasiswa Papua merusak sang saka Merah Putih.
Bendera yang dimaksud itu terpasang di depan asrama sejak Kamis (15/8). Bendera dipasang oleh Tim Gabungan Satpol PP Kecamatan Tambaksari, Polsek Tambaksari, dan Koramil 02/0831. Itu kegiatan rutin menjelang peringatan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia. Seantero wilayah Tambaksari dipasangi bendera.
Malam harinya, Satgas mendapat laporan bahwa bendera telah berpindah dari lokasi awal. Kepala Satgas Tambaksari Agus Purwanto lalu mengecek langsung ke depan asrama dan mendapati bendera dan tiangnya tersandar di pohon.
“Benar, (lokasi benderanya) pindah. Fotonya ada dan (bendera itu) dijaga oleh enam orang papua. Bendera disandarkan di pohon di pinggir jalan,” ujar Agus di kawasan Gubeng.
Agus dan timnya lantas melapor ke Camat Tambaksari Ridwan Mubarun. Mereka selanjutnya diperintahkan untuk mengecor tiang bendera agar tak lagi berpindah. Pengecoran itu langsung dikerjakan keesokan harinya.
Setelah dicor pukul 10.00 pagi dan dijaga sampai sebelum salat Jumat, bendera berada di lokasi semula. Namun setelah itu, tersiar kabar bahwa bendera kembali copot, bahkan jatuh dengan posisi tiang patah ke tanah dan kain bendera masuk ke selokan.
Kabar soal bendera Merah Putih yang jatuh di selokan itu langsung tersebar, dan kalangan ormas menyebar undangan. “AMP (Aliansi Mahasiswa Papua) bikin ulah! Bendera Merah Putih yang kemarin sudah dipasang, dicopot oleh mereka!!”
Para anggota ormas berkumpul di warung kopi yang tak jauh dari Asrama Kamasan. Kader Forum Komunikasi Putra Putri TNI-Polri (FKPPI) Surabaya, Susi Rohmadi, tertulis sebagai koordinator lapangan.
Jatuhnya bendera ke selokan Asrama Kamasan juga direspons aparat gabungan. Anggota TNI dan Polri langsung mendatangi asrama dan menuding penghuninya telah merusak tiang bendera. Situasi semakin panas. Aparat dan ormas sama-sama berang.
Aparat TNI membentak orang-orang di dalam asrama. Bentakan rasialis terdengar bersahutan dari gerombolan massa yang menyemut di jalanan depan asrama, bercampur dengan sumpah serapah lain.
Dalam video yang diperoleh kumparan dari lingkaran penghuni asrama, terlihat seorang berseragam tentara berteriak sambil menunjuk ke arah para mahasiswa Papua yang berdiri di halaman asrama, “Jangan banyak omong kamu, keluar sini!”
Penghuni asrama kemudian terdengar membalas dengan nada tenang, “Ada proses hukumnya, Pak. Kenapa main hakim sendiri begitu?”
Soal video itu, Kepala Penerangan Komando Daerah Militer V/Brawijaya Letkol Arm Imam Haryadi mengatakan tindakan aparat berseragam TNI itu tidak tepat. “Itu menyalahi perintah atasan. Metode komunikasi sosial seorang pembina teritorial tidak boleh seperti itu. Mengumpat dan menunjuk pun tidak boleh. Komunikasi sosialnya gagal,” kata Imam kepada kumparan di Markas Kodam V/Brawijaya, Kamis (22/8).
Pihak Asrama Kamasan mengaku tidak tahu siapa pelaku perusakan tiang bendera di depan asrama mereka. Seorang mahasiswa penghuninya, Alin, menampik kemungkinan salah satu penghuni asrama cari masalah dengan menjatuhkan tiang bendera. “Itu tidak benar,” kata dia.
Sementara Susi Rohmadi selaku koordinator aksi ormas yakin salah seorang penghuni asrama telah melecehkan bendera Merah Putih. Ia menuding Asrama Papua sudah berkali-kali cari masalah soal bendera.
“Mereka selalu menolak memasang bendera Merah Putih,” kata Susi kepada kumparan, Rabu (21/8).
Walau begitu, Susi dan para anggota ormas tak punya bukti soal siapa yang merusak tiang bendera. “Kami enggak tahu siapa yang melihat. Untuk saksi, kami enggak tahu,” kata Susi.
Bagaimanapun, amarah kadung tumpah. Massa ormas semalaman bertahan di jalan depan asrama, sedangkan para penghuni asrama bergeming di dalam.
Hingga keesokan harinya di Hari Kemerdekaan RI, 17 Agustus, keributan masih berlangsung. Ormas kembali mengepung asrama sejak siang hari. Dan mereka terpancing marah ketika melihat sekitar 30 orang Papua berjalan kaki dari arah lain untuk masuk ke dalam asrama.
Polrestabes Surabaya berusaha berkomunikasi dengan mahasiswa Papua di dalam asrama untuk menjernihkan perkara bendera. Tapi upaya itu tak berbalas. “Diajak komunikasi pun tidak mau,” kata Kapolrestabes Surabaya Kombes Sandi Nugroho.
Oleh sebab penghuni asrama dianggap tak kooperatif, polisi meminta mereka keluar dan mengosongkan asrama. Permintaan itu ditolak, sehingga polisi mengerahkan personel ke dalam asrama.
Menurut saksi mata, polisi hanya butuh 15-20 menit untuk masuk ke asrama dan mengangkut 43 orang yang berada di dalamnya ke Mapolrestabes Surabaya.
“Mereka (penghuni asrama) tanpa perlawanan,” ujar saksi tersebut.
Sementara pihak Asrama Kamasan menyebut bahwa polisi melakukan tindakan berlebihan. “Ada di antara kami dipukul dengan sepatu laras panjang dan dipukul tangan hingga mengeluarkan darah,” ujar mereka dalam rilis tertulis.
“Kawan-kawan di Surabaya ditangkap itu kayak dianggap teroris. Bisa lihat di foto, itu formasi penangkapan teroris,” kata Sekretaris Umum AMP Albert Mungguar secara terpisah saat berunjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (22/8).
Sebanyak 43 orang yang dibawa ke Mapolrestabes Surabaya akhirnya kembali ke Asrama Kamasan pada pukul 23.20 malam, jelang pergantian hari.
Polri menyatakan, penanganan yang mereka lakukan sudah sesuai prosedur tetap. Pengerahan satuan elite Brimob ke asrama alih-alih pasukan antihuru-hara Sabhara, dianggap tidak berlebihan. Menurut Polri, penembakan 20-an gas air mata ke arah asrama dan cara mereka menggelandang mahasiswa Papua juga tak perlu dipersoalkan.
“Yang penting ending-nya tidak terjadi kerusuhan,” kata Kabid Humas Polda Jawa Timur Kombes Frans Barung Mangera, Sabtu (24/8). Ia membantah kabar bahwa polisi menembakkan peluru karet dan merusak fasilitas asrama.
Kerusuhan di Surabaya itu menjalar ke Papua . Emosi dengan cepat terpantik karena aksi mahasiswa Papua dari Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-West Papua) di Malang pada 15 Agustus juga berakhir ricuh.
Ketua BEM Universitas Papua di Manokwari, Pilatus Lagowan, mengatakan bahwa kabar soal perlakuan aparat di Malang dan tindakan rasialis di Surabaya telah sampai ke telinga masyarakat di Papua.
“Kami ikuti langsung perkembangan yang terjadi di Kota Malang dan Surabaya,” ujar Pilatus kepada kumparan.
Setelah mahasiswa Papua diamankan di Surabaya pada 17 Agustus, kelompok masyarakat sipil di Manokwari memutuskan untuk turun ke jalan dua hari sesudahnya, 19 Agustus. BEM Universitas Papua bersama jaringan masyarakat sipil Manokwari yang tergabung dalam Parlemen Jalanan—komunitas yang menaungi keluhan warga kota—berencana melakukan aksi menolak rasialisme.
“Kami harus suarakan kepada pemerintah, kepada negara, supaya jangan ada rasisme. Karena musuh terbesar yang bisa memecah kedamaian dan persatuan bangsa adalah rasisme,” kata Ronald Mambieuw, pegiat Parlemen Jalanan Manokwari.
Rencana aksi BEM Universitas Papua dan Parlemen Jalanan Manokwari yang dijadwalkan dimulai pukul 08.00 pagi, ternyata didahului kelompok lain. Kelompok tak dikenal itu bahkan berbuat vandalisme. Mereka memukuli tiang-tiang listrik di jalanan Manokwari yang acap dilakukan untuk mengabarkan kondisi darurat.
Jalanan di sekitar kampus Universitas Papua pun ditutup oleh kelompok yang tak tergabung dalam Parlemen Jalanan. Kelompok asing itu lantas berteriak-teriak. “Kami dibilang monyet, sekarang monyet ngamuk!”
Rencana unjuk rasa BEM Universitas Papua dan Parlemen Jalanan pun batal. “Kendaraan yang kami pakai untuk muat logistik minuman (untuk aksi) jadi nggak bisa lewat karena situasi (rusuh). Akses jalan sudah tidak bisa (digunakan),” kata Ronald Mambiew, Panglima Parlemen Jalanan Manokwari.
Banyaknya massa tak terorganisasi membuat situasi Manokwari panas, sampai-sampai Gedung DPRD Provinsi Papua Barat dan Kantor Majelis Rakyat Papua dirusak dan dibakar.
Meski demikian, kelompok terorganisasi di Manokwari melihat kemarahan massa itu tidaklah tiba-tiba, mengingat perlakuan terhadap saudara mereka di Malang dan Surabaya.
“Kemarin itu aksi spontanitas rakyat Papua, termasuk di Manokwari,” kata Pilatus.
Selain di Manokwari, aksi juga terjadi di Jayapura. Di ibu kota Papua itu, demonstrasi berjalan damai. Namun kerusuhan pecah di wilayah lain seperti Sorong, Fakfak, dan Timika.
Pemerintah Indonesia menuding kelompok politik pro-kemerdekaan Papua menunggangi aksi massa. Pemerintah juga menyebut ada pihak-pihak yang sengaja menggulirkan kabar bohong sehingga menyulut demonstrasi masif. Itu sebabnya Kementerian Komunikasi dan Informasi berupaya meredam transmisi hoaks dengan memutus koneksi internet di Papua.
Pada saat yang sama, Asrama Mahasiswa Papua di berbagai kota didatangi warga maupun aparat. Sebagian mengaku sekadar berkunjung, sebagian melakukan pendataan penghuni.
“Polisi itu bersilaturahmi,” kata Kabag Penum Mabes Polri Kombes Asep Adi Saputra. Menurutnya, polisi hendak berkomunikasi sebagai antisipasi atas situasi yang memanas.
Pemerintah kemudian mulai menyentuh persoalan rasialisme yang disoroti warga Papua. Presiden Jokowi yang sebelumnya mengimbau untuk saling memaafkan terkait kerusuhan Papua, meminta Polri untuk menindak tegas diskriminasi ras dan etnis.
Kodam V/Brawijaya juga menyelidiki lima prajurit yang mendatangi Asrama Kamasan Surabaya saat kerusuhan. Sementara Polrestabes Surabaya memanggil lima anggota ormas yang mengorganisasi massa ke asrama untuk dimintai keterangan terkait laporan perusakan bendera.
Komnas HAM berharap Kepolisian dapat mengusut tuntas kerusuhan tersebut, sekaligus menindak tegas kasus rasialisme seperti yang diamanatkan Jokowi.
“Rasisme itu tidak pandang konteks dan peristiwa. Mau dalam kondisi perang atau damai, rasisme adalah kejahatan,” ujar Komisioner Komnas HAM Choirul Anam.
_________________
Simak Liputan Khusus kumparan: Meredam Bara Papua