Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Bara Venezuela: Berakhirnya Kejayaan Warisan Chávez
6 Agustus 2017 11:15 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Vatikan meminta agar pemerintah Venezuela menghindari penggunaan kekuatan yang berlebihan dan tidak proporsional dalam menghadapi pengunjuk rasa, Jumat (3/8). Ini kesekian kalinya pusat spiritual umat Katolik di seluruh dunia itu angkat bicara terkait krisis Venezuela.
Sebelumnya, Senin (31/7), Gedung Putih mengeluarkan sanksi finansial kepada Presiden Venezuela Nicolas Maduro. Namanya tercantum dalam daftar pejabat Venezuela yang asetnya dibekukan institusi-institusi di bawah yurisdiksi Amerika Serikat.
Seruan Vatikan dan sikap AS seakan mengirim pesan bahwa krisis Venezuela tengah berada di titik didih. Sebagian pihak menilai Venezuela berpotensi jatuh ke dalam jurang gelap. Ia menjadi calon negara gagal.
Kini, negara kaya minyak dengan kewibawaan yang begitu dielu-elukkan pada kepemimpinan Hugo Chávez itu, tengah dilanda gelombang protes besar-besaran yang sekurangnya sudah terjadi empat bulan lebih. Berkali-kali protes dilakukan warga sipil oposisi pemerintah untuk mendelegitimasi tampuk kekuasaan Maduro.
ADVERTISEMENT
Venezuela, negara berpenduduk sekitar 31 juta jiwa, kini dilanda krisis multidimensional yang meliputi ekonomi, politik dan sosial. Bahan pangan dan obat-obatan langka, angka pengangguran dan kriminalitas meningkat, inflasi terjadi gila-gilaaan--mencapai 720 persen tahun 2017 ini, dan diprediksi terus merangkak naik hingga 2.000 persen pada 2018.
Al Jazeera melansir, sekitar 80 persen penduduk Venezuela sekarang berada di garis kemiskinan. Kelangkaan bahan pangan membuat para pedagang menjual barang dengan harga sulit dijangkau. Akibatnya sungguh mengerikan: banyak penduduk mengais makanan dari tempat pembuangan sampah!
ADVERTISEMENT
Setidaknya tiga dari empat orang dewasa di Venezuela mengalami penurunan berat badan sekitar 8,7 kilogram pada tahun lalu. Kelangkaan pangan juga membuat perdagangan makanan menjadi permainan bisnis terbesar di negeri ujung utara Amerika Selatan itu.
Venezuela yang tampak jaya di masa Chávez kini berubah neraka.
Persoalan kelangkaan makanan, lebih jauh lagi, membuat Presiden Maduro menggerakkan militer untuk mengelola perdagangan pangan. Namun dari sebuah investigasi AP, militer justru terlibat permainan di pasar gelap perdagangan makanan. Mereka diduga menerima suap dari para importir.
Betul-betul negeri celaka.
Di bidang kesehatan, Venezuela kekurangan 80 persen dari persediaan bahan obat-obatan dasar. Imbasnya ialah peningkatan 30 persen angka kematian bayi dan 65 persen angka kematian ibu pada 2016.
George Ciccariello-Maher, kolumnis dan penulis buku We Created Chávez: A People’s History of the Venezuelan Revolution, dalam kolomnya di Jacobin berpendapat, kematian Hugo Chávez pada 2013 meninggalkan kawah simbolik di jantung revolusi Bolivarian--perjuangan untuk membebaskan Venezuela dari kapitalisme dan neoliberalisme.
ADVERTISEMENT
Sebabnya amat jelas: tak ada figur semantap Chávez. Maduro yang kini memimpin Venezuela, tak cukup populer dan tidak mewarisi karisma Chávez.
Selain itu, mangkatnya Chávez pada Maret 2013, bertepatan dengan jatuhnya harga minyak dunia yang kemudian sangat membatasi ruang pemerintahan Maduro yang disebut sudah goyah sejak semula.
Maka, ketergantungan akut Venezuela pada penjualan minyak dan gas yang menjadi sandaran pendapatan negara, berhadapan dengan anjloknya harga minyak dan gas dunia. Ini, disebut menjadi penyebab utama Venezuela tenggelam dalam krisis.
Bagaimana tidak, sebab 95 persen pendapatan negara tersebut berasal dari ekspor minyak bumi.
Dilansir The Washington Post , tak lama sejak Maduro mengambil alih tampuk kepemimpinan Chávez pada 2013, harga minyak Venezuela jatuh hingga 50 persen antara 2014 dan 2015. Menurut Internatioal Monetary Funds (IMF), pendapatan Venezuela terjun bebas dari 80 miliar dolar AS pada 2013 menjadi hanya 20-25 miliar dolar AS pada 2016.
ADVERTISEMENT
Jatuhnya harga minyak menjadi bogem mentah bagi seluruh sendi perekonomian negeri. Venezuela nyaris habis.
Sungguh sial, sebab pada masa Chávez, pendapatan negara dari perdagangan minyak bumilah yang telah berhasil menyejahterakan masyarakat, menyulap pelayanan publik berpihak pada masyarakat sehingga membuat negara-negara lain cemburu.
“Saat itu (di bawah Chávez), ketidaksetaraan di Venezuela menurun secara signifikan, dan kemiskinan pun menurun signifikan di banyak daerah. Masalahnya, ini semua sangat bergantung pada kekayaan minyak, dan pada saat itu diasumsikan harga minyak akan terus naik. Padahal, itu adalah asumsi yang sangat salah,” ujar Gregory Wilpert, sosiolog dan penulis buku Changing Venezuela by Taking Power: The History and Policies of the Chávez Government, seperti dikutip dari ABC News .
ADVERTISEMENT
Melihat titik lemah Venezuela ini, para elite konservatif atau kelompok sayap kanan di kubu oposisi mulai melakukan manever politik, yakni dengan membuat situasi di tingkat masyarakat panas dan terus mengarah pada ketegangan yang terjadi saat ini.
Menurut Ciccariello-Maher, kelompok oposisi disponsori AS untuk mengintervensi urusan dalam negeri Venezuela. Tak heran, sebab pemerintahan sosialis di bawah Chávez bersikap keras atas kebijakan-kebijakan imperialistik AS.
Namun, manuver-manuver politik oposisi tidak ditanggapi tegas oleh Maduro. Ia malah memilih pendekatan pragmatis dengan sistem kontrol mata uang yang kemudian gagal mengatur distribusi pendapatan minyak. Hasilnya, penimbunan serta penyelundupan bahan bakar minyak dan makanan terjadi, dan korupsi di sektor publik dan swasta merebak.
Situasi makin parah pada Desember 2015 ketika koalisi oposisi meraih kemenangan menentukan dalam pemilihan Majelis Nasional. Mulailah terjadi krisis kelembagaan di mana oposisi berusaha untuk bertindak bak malaikat penyelamat yang mengklaim dapat menghentikan krisis, menciptakan kestabilan politik, dan membentuk citra seolah negara tak dapat dikendalikan Maduro.
ADVERTISEMENT
Pihak oposisi, ujar Ciccariello-Maher, terus berupaya mempreteli kekuasaan Maduro dengan mengincar institusi pemerintahan lain untuk dikuasai. Mereka pula yang menggerakkan para pengunjuk rasa untuk terus turun ke jalan. Padahal lebih dari 55 persen masyarakat Venezuela menyetujui kebijakan yang digariskan Chávez, yang katanya berusaha dilanjutkan oleh Maduro.
Pendukung Chavez atau Chávismo yang kelompok mayoritas di Venezuela, menentang taktik kekerasan yang dilakukan oposisi.
Mereka yang ingin menggulingkan Maduro dianggap orang-orang yang tidak menikmati popularitas dan legitimasi tinggi. Dan di antaranya, mereka disebut Maduro berasal dari kalangan menengah ke atas yang kepentingannya didepak oleh Chávez.
Dilansir Al Jazeera , ketidakstabilan dan kekacauan politik mencapai puncaknya pada 30 Maret 2017 lalu, ketika hakim Mahkamah Agung Venezuela yang punya posisi sejajar dengan Presiden Maduro, memutuskan akan mengambil alih kekuasaan legislatif kongres pimpinan oposisi.
ADVERTISEMENT
Langkah tersebut dikecam oleh partai-partai oposisi, dan dituding sebagai upaya untuk memantapkan jalan menuju kediktatoran.
Kegentingan kian menjadi. Pada 7 April, pemerintah Venezuela melarang pemimpin tinggi oposisi Henrique Capriles untuk mencalonkan diri sebagai pejabat publik selama 15 tahun ke depan. Alasannya, Capriles dianggap memprovokasi massa untuk melakukan kekerasan.
Capriles tentu berang bukan main.
“Ketika kediktatoran mengolok-olok, itu pertanda kita harus maju. Satu-satunya yang didiskualifikasi di sini adalah adalah Anda, Nicolas Maduro,” kata Capriles di hadapan tokoh oposisi terkemuka lainnya.
Hari berikutnya, Mahkamah Agung diserang para pengunjuk rasa pihak oposisi. Aksi tersebut memaksa 16 stasiun kereta bawah tanah dan 19 rute metrobus di Caracas ditutup. Saat Gedung Mahkamah Agung diserang sore itu, barang-barang dibakar, jendela dipecahkan, dan pintu depan dirusak.
ADVERTISEMENT
Enam hari kemudian, Jumat (14/4), oposisi mengumumkan mother of all protest atau puncak protes akan membanjiri ibu kota negara, Caracas, pada 19 April.
Venezuela di ambang perpecahan.
Menanggapi rencana mother of all protest tersebut, Menteri Pertahanan mendeklarasikan ‘kesetiaan tanpa syarat’ tentara kepada Maduro. Sang Presiden lantas memerintahkan tentara turun ke jalan. Ia mengecam lawan-lawannya sebagai pengkhianat dan memuji persatuan dan komitmen revolusioner militer.
“Sejak mentari pagi pertama, sejak kokok ayam pertama, Angkatan Bersenjata Nasional Bolivarian akan berada di jalan-jalan... menyerukan, ‘Panjang umur Revolusi Bolivarian,’” kata Maduro di sebuah stasiun televisi.
Maduro pun memerintahkan perluasan Milisi Nasional Venezuela, dengan melibatkan sekaligus mempersenjatai 500 ribu orang loyalis. Maduro mengangankan mengulang kesuksesan menggagalkan upaya kudeta terhadap Chávez pada 2002, dan mempertahankan Revolusi Bolivarian yang dilakukan Chávez pada 1998.
Mother of all protest berlangsung tepat pada tanggal yang ditentukan. Pengunjuk rasa dari oposisi berkumpul di seluruh negeri pukul 10.30 pagi. Mereka mengincar kantor-kantor pelayanan publik.
ADVERTISEMENT
Pada aksi besar-besaran itu, bentrokan sulit dihindari. Dua mahasiswa dan satu petugas polisi dinyatakan tewas setelah tertembak. Malam harinya, seorang sersan Garda Nasional terbunuh dan seorang kolonel cedera saat pasukan mereka diserang dengan tembakan saat mencoba mengendalikan situasi di sebuah kota dekat Caracas.
Korban tewas terus berjatuhan dan membuat sejumlah negara yang tergabung dalam Organization of American States (OAS) bereaksi negatif terhadap pemerintah Venezuela. Mereka menyebut Maduro menyulut terjadinya self-inflicted coup.
Buntutnya, Menteri Luar Negeri Venezuela Delcy Rodriguez mengatakan, pemerintah Venezuela akan memulai proses menarik dari organisasi tersebut.
Ketegangan terus terjadi.
Kubu oposisi makin terbakar amarah ketika pada 3 Mei, Maduro meminta pembentukan Majelis Konstitusi untuk mengganti konstitusi yang ada saat ini.
ADVERTISEMENT
Unjuk rasa kembali terjadi keesokan harinya untuk memprotes rencana tersebut. Para pendukung Leopoldo Lopez, seorang pemimpin oposisi Venezuela yang sedang dipenjara, berkumpul di luar penjara dan menuntut dipertemukan dengan Lopez seiring merebak rumor tentang kesehatannya yang kurang baik.
Tanggal 10 Mei, para pengunjuk rasa menggunakan senjata baru, yakni tinja manusia maupun binatang yang dikemas dalam botol dan kantung, untuk berhadapan dengan aparat keamanan yang menggunakan gas air mata.
Kebrutalan penentang Maduro kian ekstrem ketika sebuah helikopter kepolisian digunakan untuk menjatuhkan granat ke Gedung Mahkamah Agung dan menembaki Gedung Kementerian Dalam Negeri pada 27 Juni. Maduro menyebut aksi tersebut sebagai serangan teror terhadap pemerintahan.
Di sisi lain, oposisi menuding tindakan tersebut dilakukan oleh pemerintah sendiri sebagai dalih untuk membenarkan tindakan keras kepada penentangnya.
ADVERTISEMENT
Hari berikutnya, Maduro menyatakan waspada militer. “Saya telah mengaktifkan seluruh angkatan bersenjata untuk mempertahankan kedamaian. Cepat atau lambat, kami akan menangkap helikopter itu dan mereka yang telah melakukan serangan teroris ini.”
Perkembangan terakhir, pada Minggu (30/7), masyarakat Venezuela melangsungkan pemilihan anggota Majelis Konstituante Nasional yang akan bertugas mengerjakan rancangan konstitusi baru.
Maduro menilai, melalui pembuatan konstitusi baru, Venezuela akan selamat dari bencana politik dan ekonomi saat ini.
Dilansir Bloomberg , Maduro mengklaim lebih dari 8 juta orang berpartisipasi dalam pemungutan suara tersebut. Majelis Konstituante Nasional itu akan segera bertemu untuk membahas perubahan konsititusi yang dibuat oleh Chávez.
Pihak oposisi yang semula ingin membatalkan rencana itu dan mengacaukan pemungutan suara, menganggap perubahan konstitusi dimaksudkan untuk mereduksi pengawasan kongres dan menunda pemilihan umum. Tak sedikit yang menganggap perubahan konstitusi akan berujung pada tamatnya demokrasi di Venezuela.
ADVERTISEMENT
Peru, Kolombia, Meksiko, dan beberapa negara lain di benua Amerika dan Eropa mengikuti AS untuk tidak mengakui hasil pemungutan suara tersebut. Namun Bolivia, Kuba, Nikaragua, dan Rusia tetap setia mendukung pemilihan yang memenangkan Maduro.
Sementara itu, dua pemimpin oposisi terkemuka yang mendesak warga Venezuela untuk ikut demonstrasi menentang Maduro, ditangkap intelejen dari rumah mereka pada Selasa (1/8) larut malam. Mereka adalah Leopoldo Lopez dan Antonio Ledezema, dan keduanya kini dikenai tahanan rumah.
Banyak warga Venezuela, pendukung pemerintah maupun oposisi, mengkhawatirkan situasi di negeri mereka akan mengarah pada sebuah kudeta berdarah dan perang sipil.
Upaya kudeta terhadap Chávez pada 2002 yang diduga melibatkan AS berdasarkan temuan dalam sejumlah dokumen, masih segar di benak banyak orang Venezuela. Tak heran bila mereka ingin melihat krisis saat ini dinegosiasikan secara damai.
ADVERTISEMENT
Akhir Juli 2017 saat mengumumkan sanksi terhadap Maduro, Menteri Keuangan AS Steve Mnuchin enggan menjawab pertanyaan apakah pemerintahan Trump akan mendukung upaya pencongkelan Maduro melalui kudeta untuk membentuk pemerintahan baru.
“Kami fokus pada proses demokrasi, dan itulah fokus kami saat ini,” kata Mnuchin, seperti ditulis ABC News.
Namun, Diego Arria, seorang anggota kelompok oposisi Venezuela yang tinggal di AS, percaya bahwa jika militer menggulingkan Maduro, maka Gedung Putih akan mendukung penuh.
“Mereka (AS) benar-benar akan mendukung kudeta institusional para perwira tentara untuk menyingkirkan sebuah rezim ilegal yang telah diterapkan Maduro,” kata Arria.
Dengan eufemisme, Arria menyebutnya bukan sebagai kudeta, tetapi “pemulihan kelembagaan Venezuela”.
Kendati demikian, tidak banyak masyarakat, baik dari kubu pro dan anti-pemerintahan Maduro, yang ingin hal mengerikan itu terjadi. Mereka belajar dari sejarah kelam pemerintahan militer pada 1948 hingga 1958 di mana keadilan tertutup kabut penyiksaan, pembunuhan, dan penahanan.
“Masalahnya adalah bahwa bukan hanya pemerintah dan oposisi. Kekuatan luar memiliki dampak besar pada apa yang terjadi di Venezuela, khususnya pemerintah AS dan media internasional. Masih ada peluang untuk mundur dari konfrontasi langsung. Pertanyaannya: apakah kedua pihak akan menerimanya?” kata Wilpert.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan itu, tentu saja, belum terjawab.
Aksi unjuk rasa terus berlanjut dari hari ke hari. Kobar api dan kepul asap masih menari di jalanan Venezuela.