Barat Kecam Terpilihnya Kembali Putin: Ini Bukan Demokrasi

19 Maret 2024 13:39 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kandidat presiden Rusia dan Presiden petahana Vladimir Putin berbicara setelah TPS ditutup, di Moskow, Rusia, Senin (18/3/2024). Foto: Maxim Shemetov/Reuters
zoom-in-whitePerbesar
Kandidat presiden Rusia dan Presiden petahana Vladimir Putin berbicara setelah TPS ditutup, di Moskow, Rusia, Senin (18/3/2024). Foto: Maxim Shemetov/Reuters
ADVERTISEMENT
Pemerintah negara-negara Barat mengutuk terpilihnya kembali Presiden Rusia Vladimir Putin, Senin (18/3). Mereka menganggap pemilu ini tidak adil dan tidak demokratis.
ADVERTISEMENT
Kontras dengan hal tersebut, China, India hingga Korea Utara telah mengucapkan selamat atas perpanjangan kekuasaan Putin enam tahun ke depan.
Invasi besar-besaran Rusia ke Ukraina sejak dua tahun lalu jadi pemicu krisis hubungan dengan Barat.
Dikutip dari Reuters, sesampainya di Brussel pada Senin (18/3), para menteri luar negeri Uni Eropa dengan tegas menolak hasil pemilu tersebut. Mereka enggan menganggap hasil pemilu ini lantaran kasus penganiayaan dan kematian kritikus Kremlin, Alexei Navalny.
“Pemilu di Rusia adalah pemilu tanpa pilihan,” kata Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock di awal pertemuan.
Menteri Luar Negeri Inggris, David Cameron, mengatakan hasil pemilu ini merupakan cerminan dalamnya penindasan di Rusia.
“Putin menyingkirkan lawan-lawan politiknya, mengendalikan media, dan kemudian menobatkan dirinya sebagai pemenang. Ini bukan demokrasi,” kata Cameron.
ADVERTISEMENT
Prancis, Inggris, dan negara-negara barat lain juga mengecam fakta soal penyelenggaraan pemilu Rusia di wilayah Ukraina. Rusia klaim telah merebut wilayah tersebut selama perang.
Kremlin menepis kritik tersebut. Mereka mengatakan bahwa 87 persen suara yang dimenangkan Putin menunjukkan bahwa rakyat Rusia sedang melakukan konsolidasi terhadap dirinya.
Menurut Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskiy, pemilu Rusia ini tidak memiliki legitimasi.
"Jelas bagi semua orang di dunia bahwa tokoh ini (Putin) sangat menginginkan kekuasaan dan melakukan segalanya untuk memerintah selamanya," kata Zelenskiy.
Hingga kini Presiden AS, Joe Biden, belum memberikan komentar. Namun juru bicara Gedung Putih mengatakan pemilu di Rusia jelas tidak bebas dan adil pada Minggu (17/3).
Presiden Rusia Vladimir Putin (kiri) dan Presiden China Xi Jinping saat bertemu di St. Petersburg pada 6 Juni 2019. Foto: Dmitry Lovetsky/KOLAM/AFP
Di Luar Barat, Putin Dihujani Selamat
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, Presiden China, Xi Jinping, mengucapkan selamat kepada Putin. Ia mengatakan akan menjaga baik komunikasi antara Beijing dan Moskow untuk mempromosikan kemitraan “tanpa batas” yang telah disepakati tahun 2022, tepat sebelum Rusia menginvasi Ukraina.
“Saya percaya bahwa di bawah kepemimpinan Anda, Rusia pasti akan mampu mencapai prestasi yang lebih besar dalam pembangunan dan konstruksi nasional,” kata Xi kepada Putin seperti dikutip dari Reuters.
Putra Mahkota Saudi, Mohammed bin Salman, menyampaikan ucapan selamat atas kemenangan “pasti” Putin. Kremlin menuturkan bahwa pemimpin China dan Saudi siap mengupayakan koordinasi efektif untuk kelompok produsen minyak OPEC+.
Perdana Menteri India, Narendra Modi, juga menyampaikan pesan yang sama. Ia berharap dapat memperkuat kemitraan strategis khusus antara New Delhi dan Moskow.
ADVERTISEMENT
India dan China, bersama dengan Rusia, adalah anggota kelompok negara berkembang BRICS yang bertujuan untuk melawan dominasi AS dalam perekonomian global.
Presiden Rusia Vladimir Putin bertemu dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un di Vostochny Cosmodrome di wilayah Amur timur jauh, Rusia, Rabu (13/9/2023). Foto: Sputnik/Mikhail Metzel/Kremlin/Reuters
Pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, dan Presiden Iran, Ebrahim Rais, yang dituduh Barat memasok senjata ke Rusia, juga menyampaikan ucapan selamat kepada Putin. Mereka menekankan keinginannya untuk memperluas hubungan bilateral dengan Moskow.
Beberapa surat kabar di Afrika melihat terpilihnya kembali Putin sebagai penguat Burkina Faso, Mali, dan Niger. Ketiga negara bagian di kawasan Sahel itu telah memperkuat hubungan Afrika dengan Rusia. Hal itu terjadi usai kudeta beberapa tahun terakhir yang merugikan sekutu mereka, Perancis dan AS.
“Di Afrika, terpilihnya kembali ini mungkin terdengar seperti bukan sebuah peristiwa, namun mengingat konteks di Sahel, hal ini memiliki arti tertentu, karena Putin mewujudkan keseimbangan kekuatan geopolitik baru di benua tersebut dengan semakin berkembangnya kehadiran (Rusia) dan pengaruhnya," kata harian Burkina Faso Aujourd'hui au Faso.
ADVERTISEMENT