Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Tahun 1998. Dari meja makan, cerita bermula.
Duduk mengitari meja makan, sembari mengambil lauk-pauk dan sayur-mayur untuk bersantap malam bersama, masing-masing anggota keluarga menuturkan kisah keseharian mereka, saling berbagi cerita dan bertukar pikiran.
ADVERTISEMENT
Perbincangan hangat keluarga yang semula ringan, tak terelakkan bisa menjurus berat, membahas soal politik dan agenda reformasi. Terutama karena nalar kritis si putra sulung terhadap penguasa Orde Baru yang menurutnya telah kelewat lama memimpin negeri dan menindas rakyat.
Pemikiran “radikal” sang bujang mengusik ibunya, yang sehari-hari bekerja sebagai staf di Sekretariat Jenderal DPR--kantor Orde Baru. Ia bukan sepenuhnya setuju dengan rezim berkuasa, tapi mencoba memberikan pemahaman dari sudut pandang lain kepada putranya.
“Rumah yang kita tempati ini pemberian pemerintah Orde Baru. Beras yang kita makan juga dari pemerintah Orde Baru. Kebutuhan sehari-hari pun dibeli oleh uang dari pemerintah Orde Baru,” kata sang ibu, Maria Katarina Sumarsih, kepada si sulung, Benardinus Realino Norma Irmawan (Wawan).
ADVERTISEMENT
Kepala keluarga, Arief Priyadi, pun bekerja sebagai peneliti di Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang kerap disebut sebagai lembaga think tank Orde Baru--meski sejak 10 tahun sebelumnya, 1988, Soeharto berujar “tidak mau ada hubungan apapun lagi dengan CSIS.”
Apapun, kesan keluarga Orde Baru melekat pada Sumarsih dan Arief, yang menjalani kehidupan khas pegawai negeri, dengan segala kebutuhan berkecukupan dan terpenuhi oleh pemerintah.
Dan itu justru semakin membuat resah Wawan. Ia tak rela menjadi “anak” dari Orde Baru yang tiran di matanya.
“(Dengan semua pemberian Orde Baru untuk keluarga kita), lalu bagaimana Wawan bisa membentuk jati diri?” keluhnya kepada Sumarsih.
Sang ibu berusaha “memangku” gejolak batin putranya dengan tenang. Ia memang tak suka bila Wawan ikut berdemonstrasi, namun memahami keinginan Wawan yang ingin berbuat sesuatu dan mengubah keadaan.
ADVERTISEMENT
“Wawan bisa bikin ruang dialog. Wawan kan senang ikut seminar. Ya sudah, selenggarakan seminar, dialog publik, sarasehan,” ujar Sumarsih, memberi saran.
Nyatanya, menjadi anak dari keluarga Orde Baru tak membuat Wawan surut. Keyakinannya membuat dia tetap terlibat demonstrasi mahasiswa. Bahkan tak cuma itu. Wawan pun bergabung dalam Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK) yang mengajar anak jalanan dan mendampingi para korban kekerasan Tragedi Mei 1998.
Bagaimana Sumarsih tak menasbihkan diri sebagai orang Orde Baru, sebab ia telah berkarier sebagai staf Sekretariat Jenderal DPR RI selama 16 tahun ketika itu, sejak tahun 1982 hingga 1998--bahkan terus hingga pensiun pada 2008 saat Orde Baru tinggal nama.
Sumarsih adalah seorang staf DPR, pegawai negeri, anggota Korpri (Korps Pegawai Republik Indonesia), dan untuk melengkapi semua itu: ia ditugaskan pada Fraksi Partai Golkar yang selama ini menjadi alat politik Soeharto.
ADVERTISEMENT
Menjadi pegawai di DPR sedikit banyak memengaruhi cara pandang Sumarsih dalam melihat isu. Sumarsih biasa bersikap tenang dan cenderung menghindari ketegangan, berkebalikan dengan gejolak emosi putranya dalam proses pembentukan idealisme diri.
Namun semua perbedaan watak dan sikap keluarga Sumarsih lebur di meja makan--tempat segala isu dalam dibahas terbuka dan dikompromikan. Santap malam jadi wadah diskusi antara Sumarsih, Arief, Wawan, dan si bungsu Benedicta Rosalia Irma Normaningsih.
“Di meja makan, Wawan cerita tentang kegiatan di kampus, Irma tentang sekolah, saya di Setjen DPR, bapaknya di CSIS. Cerita keseharian masing-masing,” ujar Sumarsih ketika berbincang dengan kumparan di kediamannya, Meruya, Jakarta Barat, Sabtu (29/7).
Mendengar cerita keluarga kecilnya di meja makan, Sumarsih terutama cemas dengan si sulung, Wawan. Ia terutama mengkhawatirkan keamanan Wawan jika terlibat demonstrasi.
ADVERTISEMENT
Bagaimanapun, bekerja di gedung parlemen yang dekat dengan kekuasaan, membuat Sumarsih tahu betul tentang pergunjingan di dunia politik terkait gerakan mahasiswa. Telinga Sumarsih mendengar langsung rencana-rencana represi aparat pemerintah terhadap demonstran yang lantang bersuara.
Sumarsih, seperti Wawan, berada di lingkaran ketegangan negeri. Bila Wawan di kampus dan jalanan, Sumarsih di gedung tempat para politikus negeri bersemayam.
Tahun 1997-1998, menjelang kejatuhan Soeharto, Gedung DPR yang juga kantor Sumarsih, menjadi target demonstrasi masif mahasiswa, termasuk Wawan. Gedung itu dijaga ketat oleh polisi dan tentara bersenjata.
Di pintu gerbang DPR hingga Lapangan Tembak Senayan, drum dan kawat berduri diletakkan berjejer, membentuk pagar.
Sumarsih yang penasaran, pernah bertanya apa isi drum-drum bertuliskan “Pomdam Jaya” itu.
ADVERTISEMENT
“Isinya air beracun, Bu,” kata salah seorang personel keamanan, seperti ditirukan Sumarsih.
Heran, Sumarsih kembali bertanya, “Untuk apa?”
“Ya untuk nangani mahasiswa,” jawab si petugas.
Jawaban itu kian mengkristalkan keresahan Sumarsih. Ia tak henti memanjatkan doa untuk putra-putrinya.
“Tuhan Yesus, lindungilah Wawan dan Irma di tempat mereka berada. Lindungilah mereka dari kekerasan negara,” bisik Sumarsih mendaraskan doa begitu tahu demonstran berhadapan dengan aparat bersenjata peralatan perang.
Kegelisahan Sumarsih mencapai titik didih mendengar cerita Wawan suatu hari.
“Bu, masa sih Wawan urutan nomor satu dari lima orang yang akan dihabisi,” kata Wawan.
“Dihabisi? Apa artinya?” ujar Sumarsih, balik bertanya.
“Ya mau dibunuh, Bu,” jawab Wawan.
“Hah, mau dibunuh?” kata Sumarsih, panik.
ADVERTISEMENT
Saat itu, mereka sekeluarga begitu ketakutan. Bagi Sumarsih, keamanan keluarga paling penting.
Ia langsung mewanti-wanti Wawan. “Jangan demo. Penembakan Trisakti itu menakutkan bagi ibu. Wawan boleh ke kampus meski situasi panas kalau untuk mengurusi logistik.”
Sumarsih sebetulnya sempat lega dengan pilihan Wawan untuk aktif di Tim Relawan untuk Kemanusiaan. Bergerak di bidang kemanusiaan dirasa Sumarsih lebih netral--namun ternyata sama bahayanya.
Di hari lain, di meja makan yang sama, Wawan bercerita tentang kunjungannya menemui Ita Martadinata, pelajar perempuan yang menjadi korban pemerkosaan pada Mei 1998.
“Bu, tadi Wawan ke rumah Ita,” kata Wawan kepada sang ibu, Maria Katarina Sumarsih.
“Dia sehat?” ujar Sumarsih, bertanya.
“Kasihan, Bu. Kasihan dia. Kan dia dan mamanya mau ke PBB, membuat testimoni,” jawab Wawan yang satu tim dengan Ita di Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK)--yang juga digawangi oleh Romo Ignatius Sandyawan Sumardi.
ADVERTISEMENT
Ita, bersama ibunya--Wiwin Haryono--dan empat korban kerusuhan Mei 1998, akan berangkat ke New York, Amerika Serikat, sebagai bagian dari TRK. Mereka hendak bersama-sama bersaksi tentang Tragedi Mei 1998 yang terjadi di Indonesia.
Namun di kemudian hari setelah percakapan Wawan dan Sumarsih soal Ita, remaja pemberani 18 tahun itu tewas dibunuh secara sadis. Hanya sepekan sebelum ia bersaksi di Markas Besar PBB, New York.
Jasad Ita ditemukan di kamarnya dengan perut, dada, dan lengan ditikam. Ia ditikam hingga 10 kali, dan lehernya disayat.
Di benak Sumarsih, kegiatan kemanusiaan menolong sesama mestinya tak membahayakan, malah membanggakan. Tak semua orang punya jiwa sosial tinggi dan bersedia membantu orang lain secara sukarela.
Yang mungkin dahulu tak disadari penuh: Wawan dan rekan-rekannya membantu para korban Tragedi Mei 1998, dan ini amat mungkin jenis aktivitas yang tak disukai penguasa.
ADVERTISEMENT
Sebelum Ita dibunuh pun, sejumlah anggota Tim Relawan untuk Kemanusiaan, organisasi tempat Wawan berkiprah, mendapat ancaman pembunuhan. Dan ini bukan cuma sekali.
Kecemasan Sumarsih baru mereda ketika melihat Wawan lebih fokus mengurus logistik ketimbang berorasi di jalanan dalam berbagai aksi demonstrasi.
Di tengah hiruk pikuk Sidang Istimewa MPR Maret 1998, Wawan tertangkap kamera televisi sedang berada di tengah tumpukan kardus. Ia bertanggung jawab membantu logistik untuk gerakan mahasiswa.
Bahkan konsumsi pun harus dijaga ketat, sebab jika lengah, makanan minuman beracun bisa menyusup masuk.
Hal itu pernah diperbincangkan Wawan dan Sumarsih.
“Ibu tadi lihat Wawan di TV,” kata Sumarsih ketika Wawan baru tiba di rumah setelah beberapa hari menginap di kampus.
ADVERTISEMENT
“Oh iya, Bu? Pas ngapain?” tanya Wawan.
“Wawan ada di tengah tumpukan barang. Itu isinya apa?” ujar Sumarsih.
Sang bujang menjawab, “Macem-macem, Bu. Ada biskuit, mi, dan kebutuhan lain.”
“Ada juga sumbangan air mineral. Tapi masa toh Bu, yang minum air sumbangan itu pada sakit perut. Semua sakit perut. Rupanya air sudah disuntik pakai zat kimia.”
Mendengar detail kecil berbahaya itu, Sumarsih kembali paranoid. Ucapan Wawan sebelumnya, bahwa dia menjadi target pembunuhan, terngiang lagi.
Tragedi Trisakti yang menewaskan 4 mahasiswa kembali berkelebat di kepala Sumarsih.
Ia sebelumnya sudah mengabulkan permintaan Wawan untuk membeli rompi antipeluru. Sayang, rompi itu habis di toko.
Wawan, sesuai saran ibunya, kerap menjadi peserta dan penyelenggara seminar serta berbagai dialog. Di kamarnya, berserakan Terms of Reference yang ditujukan untuk berbagai narasumber.
ADVERTISEMENT
Wawan mengerjakan semua sendiri. Ia tidak mau dibantu ayahnya yang bekerja sebagai peneliti di CSIS. Ia belajar melakukan apapun sendiri.
Namun Wawan tak sungkan bertanya, termasuk bertanya kepada ibunya tentang cara mengundang pemimpin fraksi partai politik di DPR.
Saat Wawan menjadi ketua penyelenggara seminar, Sumarsih memberi nasihat, “Seorang pemimpin itu berhasil kalau bisa membagi tugas pekerjaan kepada anggotanya. Kalau jadi ketua tapi masih kerja sendiri, berarti belum berhasil jadi pemimpin.”
Sumarsih selalu menjadi tempat mengeluh kala Wawan dilanda gelisah. Mendekati Sidang Istimewa MPR November 10-13 November 1998, Wawan mengeluhkan tindak tanduk dan sikap beberapa temannya yang berubah.
“Kalau dulu gelantungan di kendaraan umum, sekarang naik mobil dan taksi. Kalau dulu pakai telepon umum, sekarang sudah pakai handphone,” kata Wawan kepada Sumarsih.
ADVERTISEMENT
Seperti biasa, Sumarsih menanggapi tenang. “Mungkin dibeliin orang tuanya.”
Wawan menampik. “Ya nggak, Bu. Dibeliin sama itu tuh, orang-orang Orde Baru.”
Ironi kembali menyergap, sebab Sumarsih sejatinya bisa dibilang bagian dari Orde Baru.
Buku-buku di Perpustakaan Sekretariat Jenderal DPR pun kerap dipinjam Wawan melalui Sumarsih. Jika sedang libur, ia hampir selalu minta dibawakan buku dari perpustakaan kantor ibunya.
Setelah membaca buku Ramayana yang dibawa Sumarsih dari Perpustakaan Setjen DPR, Wawan menulis artikel berjudul “Negara Kesatuan Republik Alengka”.
Artikel itu kiasan dari kondisi Indonesia yang di mata Wawan karut-marut. Sumarsih berkata, “Dalam tulisannya, dia menyebut nama Sjafrie Sjamsoeddin, Prabowo Subianto, dan tokoh Orde Baru lain.”
“Saya bilang, ‘Wan, jangan sebut nama seperti itu. Kan berbahaya untuk keselamatan Wawan.’”
Di hari terakhir Sidang Istimewa MPR, 13 November 1998, Jakarta kian mencekam. Sumarsih mendengar dari seorang teman, akan dilakukan penembakan bebas oleh aparat dengan peluru tajam.
ADVERTISEMENT
Salah satu peluru itu kemudian menembus jantung Wawan. Ia tewas di halaman kampusnya, Universitas Atma Jaya, saat hendak menolong temannya yang juga tertembak.
Kematian Wawan sungguh menghancurkan hati Sumarsih. Hingga rasa sedihnya berubah kebas. Sumarsih nyaris tak dapat merasakan emosi apapun lagi.
Dari 13 November 1998 sejak Wawan diterjang peluru tentara, Sumarsih baru masuk kantor lagi tiga bulan kemudian, Februari 1999.
Sumarsih kembali bekerja di DPR dengan hati masih terkoyak. Ia bingung harus bersikap bagaimana. Saat menerima santunan untuk putranya yang tewas, Sumarsih bahkan menulis, “Mohon bantuannya agar cek ini disumbangkan kepada yang menembak Wawan. Kalau sulit ditemukan siapa yang menembak, agar diberikan kepada 163 prajurit yang terkena sanksi.”
ADVERTISEMENT
Sumarsih tak lagi sama. Ia tetap tenang, tapi memendam kobar api putranya dalam hati. Sumarsih selamanya akan menuntut keadilan bagi Wawan. Bagi dia, tak seharusnya mahasiswa berhadapan dengan peluru aparat.
Sepanjang 1998 sampai 2007, Sumarsih menempuh berbagai jalur advokasi untuk memperoleh keadilan atas Wawan. Ia beraudiensi dengan tentara, dan berkeliling bersama para aktivis hak asasi manusia untuk merangkul korban lain dari kasus-kasus HAM lain.
Mereka bersatu dan menggelar aksi rutin, Kamisan--yang Kamis ini menginjak hari ke-501.
Sumarsih tak lagi takut. Suatu hari, ketika mendengar DPR mengeluarkan rekomendasi yang menyatakan peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II bukanlah pelanggaran HAM berat, Sumarsih melempar telur busuk ke tengah rapat paripurna DPR.
Sumarsih yang kemudian beberapa kali diundang oleh politikus, menolak undangan itu. Ia tak peduli dengan mulut manis mereka.
ADVERTISEMENT
Tahun 2004, Sumarsih menerima Yap Thiam Hien Award atas dedikasinya berjuang menegakkan hak asasi manusia di Indonesia. Sebab ia tak cuma memperjuangkan Wawan, tapi juga mendorong korban-korban kasus HAM lain untuk bergerak bersama--persis seperti yang dilakukan Wawan ketika hidup.
Yap Thiam Hien Award diterima Sumarsih saat masih bekerja di Sekretariat Jenderal DPR.
Sumarsih, yang pernah menasihati Wawan untuk tak ikut-ikutan berdemonstrasi, berubah menjadi orator aksi damai yang ikonik.
Dalam salah satu orasinya, Sumarsih--yang bekerja untuk Fraksi Partai Golkar di DPR--meminta masyarakat untuk tak memilih Golkar di Pemilu karena sikap politik partai itu yang menolak mengakui Tragedi Semanggi dan Trisakti sebagai pelanggaran HAM berat.
Orasi Sumarsih itu mengusik salah satu legislator Golkar yang sehari-hari ia temui di Gedung DPR. Lama-lama, Sumarsih dipanggil oleh legislator itu.
ADVERTISEMENT
“Bu, kerja yang baik ya,” kata sang legislator.
Sumarsih menjawab enteng, “Kapan saya disuruh keluar?”
Namun kinerja Sumarsih tak jelek. Ia bisa merampungkan tugas lebih cepat dari target waktu yang diberikan.
Bekerja di Gedung DPR, dengan anak yang tewas di tangan Orde Baru, sungguh pergulatan batin bagi Sumarsih. Namun ia tak pernah diusik di DPR hingga pensiun tahun 2008.
“Bu, perjuangan belum selesai, tapi sudah ditinggal kawan-kawan. Perjuangan ini bisa sia-sia. Reformasi akan jadi kedok penguasa.”
Ucapan Wawan terus melekat di benak Sumarsih.
“Kewajiban seorang ibu untuk melanjutkan perjuangan anaknya,” ujar Sumarsih.
“Saya orang Orde Baru, lalu menjadi korban Orde Baru,” ucapnya getir.
ADVERTISEMENT
------------------------
Ikuti kisah-kisah mendalam lain dengan mem-follow topik Liputan Khusus di kumparan.