Beda Cerita Isu Perpanjangan Jabatan Era SBY dan Jokowi

28 Februari 2022 15:07 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
Jokowi dan SBY di Istana. Foto: Yudhistira Amran Saleh/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi dan SBY di Istana. Foto: Yudhistira Amran Saleh/kumparan
ADVERTISEMENT
Koordinator Komite Pemilih Indonesia Jeirry Sumampow menyoroti ada perbedaan terkait wacana perpanjangan masa jabatan presiden di akhir masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jokowi. Menurutnya, publik cenderung menolak terhadap wacana SBY untuk maju 3 periode, sementara Jokowi lebih didukung.
ADVERTISEMENT
"Wacana 3 periode selalu muncul menjelang seseorang tidak bisa lagi memerintah, seperti dulu Pak SBY. Memang bedanya Pak SBY di periode dua tidak didukung luas. Kalau sekarang kan dukungan ke Pak Jokowi masih kuat," kata Jeirry dalam diskusi di YouTube MIPI, Senin (28/2).
"Dan wacana parpol itu seakan publik masih suka Pak Jokowi, karena itu seolah sayang kalau [jabatannya] berakhir 2024. Di SBY ini relatif tidak terjadi, suara counter lebih kuat. Jadi ini isu lama. Kita punya pengalaman di masa Pak SBY dan Jokowi," imbuh dia.
Jeirry melanjutkan, SBY pun tak mendapat dukungan parlemen karena Demokrat tak memenangkan pemilu pada 2004. Sementara kini, mayoritas anggota yang duduk di parlemen merupakan kader parpol koalisi pendukung Jokowi.
Presiden Indonesia ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono memberikan sambutan saat groundbreaking Museum dan Galeri Seni SBY-ANI di Pacitan. Foto: Dok. Istimewa
Diketahui, SBY dan Jusuf Kalla menang sebagai presiden dan wapres, sementara Golkar menjadi parpol peraih suara terbanyak di Pemilu 2004. Partai Demokrat, bahkan dikombinasikan dengan semua mitra koalisinya, punya perwakilan parlemen jauh lebih sedikit daripada Golkar dan PDIP, yang memainkan peran oposisi.
ADVERTISEMENT
"Kenapa nuansanya secara politik beda dengan SBY? Mungkin ada hubungannya dengan sistem presidensial kita. Kalau kita lihat, baru di masa Jokowi periode kedua ada dukungan parlemen yang kuat," jelasnya.
"Di SBY periode dua, dukungan parlemen tidak begitu solid. Bahkan SBY kan tidak dapat dukungan kuat dari parlemen karena partainya tidak menang pemilu, koalisinya cair," tambah dia.
Menurutnya, dukungan kuat parlemen pada Jokowi juga terlihat dari dukungan-dukungan kebijakan yang kerap mulus. Misalnya, UU Cipta Kerja dan UU Ibu Kota Negara yang disahkan dalam waktu singkat meski menuai kontroversi publik.
"Di masa Jokowi periode dua parlemen kuat sekali. Koalisi ini juga mampu dikonsolidasikan baik oleh Jokowi, dan PDIP selaku pemimpin koalisi. Wacana yang dimainkan dan 'menguntungkan' Jokowi relatif lebih mulus. Juga kebijakan-kebijakan yang kontroversial seperti Ciptaker, tapi karena dukungan parlemen bisa lolos. Terakhir UU IKN, banyak pengamat bilang cepat sekali buat UU IKN dibanding negara lain," paparnya.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, Jeirry menilai dukungan parlemen kepada pemerintah harus direfleksikan. Termasuk dukungan parlemen menunda Pemilu 2024 agar Jokowi tetap menjabat 1-2 tahun, atau mendukung Jokowi maju 3 periode.
"Bagaimana ini kita refleksikan? Kalau dukungan parlemen kuat sistem presidensial baik, apakah ini memang bentuk presidential yang baik buat kita. Kebijakan presiden bisa gampang gol sehingga visi misi kampanye dulu mudah diimplementasikan karena dukungan parlemen kuat, apa ini baik buat kita?" ucap dia.
"Karena kita khawatir dengan dukungan mayoritas parlemen bisa mengarah pada oligarki. Ke hal-hal yang tidak cocok dengan iklim demokrasi kita seperti 3 periode atau masa perpanjangan presiden," lanjut Jeirry
Berbeda dengan masa SBY, Jeirry menilai peluang perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi lebih mungkin terwujud. Namun ia mengingatkan, hal ini akan berpotensi menimbulkan konflik yang tak ada habisnya.
ADVERTISEMENT
"Kalau parlemen mau bisa aja selama ada dukungan publik kuat. Tapi saya tidak menyarankan itu terjadi karena ada risiko inkonstitusional. Yang penting juga, berbahaya betul karena ada potensi konflik horizontal terbuka," terangnya.
"Karena banyaknya pendukung jokowi tiga periode, sebagian besar masyarkat tak setuju dan bisa menimbulkan konflik. Dan akan ada kekosongan kekuasaan. Jadi konflik horizontal dan vertikal. Ada kekuatan politik kuat juga bisa ambil kekuasaan sehingga timbulkan kekacauan politik atau sosial," tandas dia.