Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Beda Era SBY dan Jokowi soal Remisi Koruptor, Kini Diobral
8 September 2022 14:16 WIB
·
waktu baca 6 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Mereka yang bebas itu mulai dari mantan Menteri Agama Suryadharma Ali; mantan Gubernur Jambi Zumi Zola; hingga mantan Hakim MK Patrialis Akbar. Tercatat pula mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dan mantan Jaksa Pinangki Sirna Malasari.
Mereka memang bukan bebas secara murni, melainkan bebas bersyarat. Sehingga tetap harus wajib lapor dan ikut bimbingan.
Namun, yang menjadi sorotan ialah bagaimana mudahnya koruptor mendapat hak remisi dan Pembebasan Bersyarat. Tak ada bedanya dengan napi kasus lain.
Adanya 'obral remisi dan Pembebasan Bersyarat' ini tak terlepas dari dibatalkannya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012. Inti dari aturan tersebut ialah pengetatan pemberian hak-hak napi korupsi seperti remisi dan pembebasan bersyarat.
Salah satu yang paling terkait dengan kasus korupsi yakni ada ketentuan mau bekerja sama dengan penegak hukum alias menjadi justice collaborator.
ADVERTISEMENT
Aturan Ketat Remisi untuk Koruptor
Pemberian Remisi dan Pembebasan Bersyarat ini awalnya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1999. Diteken Presiden BJ Habibie pada 19 Mei 1999.
Dalam ketentuan itu, disebut dalam Pasal 34 bahwa setiap Narapidana dan Anak Pidana yang selama menjalani masa pidana berkelakuan baik berhak mendapatkan remisi. Tidak ada syarat khusus terkait remisi itu.
Untuk Pembebasan Bersyarat, disebutkan dalam Pasal 43 dapat diberikan pada napi dan Anak Pidana yang sudah menjalani 2/3 masa penahanan yang pidananya tak kurang dari 9 bulan.
Pada 2012, syarat remisi diperketat. Ialah Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono yang merevisi PP tersebut. Perubahan aturan itu diteken pada 12 November 2012. Amir Syamsudin tercatat sebagai Menteri Hukum dan HAM pada saat itu.
ADVERTISEMENT
Aturan yang sangat terasa ialah adanya pengetatan syarat remisi. Disebutkan bahwa syarat untuk mendapat remisi ialah berkelakuan baik dan telah menjalani masa pidana lebih dari 6 bulan.
Namun ada syarat khusus bagi napi tertentu. Termasuk napi korupsi. Aturan termuat dalam Pasal 34A yang berbunyi:
(1) Pemberian Remisi bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursornarkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanannegara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 juga harus memenuhi persyaratan:
a. bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;
b. telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi; dan
ADVERTISEMENT
c. telah mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh LAPAS dan/atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, serta menyatakan ikrar:
1) kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis bagi Narapidana Warga Negara Indonesia,
atau
2) tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis bagi Narapidana Warga Negara Asing, yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme.
Merujuk Pasal 34A ayat (1) huruf a, napi korupsi yang dapat menerima remisi ialah yang bekerja sama dengan penegak hukum alias menjadi justice collaborator. Dengan aturan itu, tidak semua napi korupsi bisa mendapat hak itu.
Namun aturan tersebut telah dianulir oleh Mahkamah Agung (MA). Hal itu menjadi putusan atas gugatan seorang mantan kepala desa yang kini sedang menjalani hukuman di Lapas Sukamiskin Bandung. Vonis itu dibacakan pada 28 Oktober 2021. Majelis Hakim diketuai Supandi dengan anggota Is Sudaryono dan Yodi Martono Wahyunadi.
ADVERTISEMENT
Saat itu, MA berpandangan bahwa persyaratan untuk mendapatkan remisi tidak boleh bersifat membeda-bedakan yang justru dapat menggeser konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Selain itu, harus mempertimbangkan dampak kelebihan penghuni di lapas.
MA berpendapat bahwa syarat-syarat tambahan di luar syarat pokok untuk dapat diberikan remisi kepada narapidana seharusnya lebih tepat dikonstruksikan sebagai bentuk penghargaan (reward). Yakni berupa tambahan remisi di luar hak hukum yang telah diberikan.
Dengan pembatalan itulah, kini napi korupsi memiliki hak yang sama dalam mendapatkan remisi tanpa syarat khusus dengan napi kasus lainnya. Kemenkumham pun dalam pemberian remisi ini sudah tidak perlu lagi berkomunikasi dengan aparat penegak hukum soal status JC napi yang hendak diberi remisi.
Pada 3 Agustus 2022, terbit UU Pemasyarakatan yang diteken oleh Presiden Joko Widodo. Yasonna Laoly tercatat sebagai Menteri Hukum dan HAM.
ADVERTISEMENT
Dalam aturan itu, juga termuat soal aturan pemberian remisi dan Pembebasan Bersyarat, yakni pada Pasal 10 yang berbunyi:
(1) Selain hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Narapidana yang telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa terkecuali juga berhak atas:
a. remisi;
b. asimilasi;
c. cuti mengunjungi atau dikunjungi keluarga;
d. cuti bersyarat;
e. cuti menjelang bebas;
f. pembebasan bersyarat; dan
g. hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. berkelakuan baik;
b. aktif mengikuti program Pembinaan; dan
c. telah menunjukkan penurunan tingkat risiko
Tidak ada syarat lain yang diatur dalam aturan itu. UU tersebut pun yang kemudian menjadi rujukan Kemenkumham dalam pemberian remisi kepada para koruptor.
ADVERTISEMENT
“Jadi, kita punya UU pemasyarakatan yang baru. UU Nomor 22 Tahun 2022. Ini seperti blessing in disguise dalam pengertian bahwa UU pemasyarakatan ini dia in line dengan putusan Mahkamah Agung yang terkait dengan PP 99,” kata Eddy di Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (8/9).
Eddy menyebut bahwa Pembebasan Bersyarat 23 napi korupsi pada 6 September sudah sesuai syarat tersebut. Lantaran tidak ada syarat lain yang membedakan dengan napi lain.
“Sehingga pembebasan bersyarat, remisi, asimilasi dan hak-hak terpidana yang merujuk kepada UU Nomor 22/2022 itu semua sudah sesuai dengan aturan,” tegas Eddy.
Obral Remisi
Mantan Wamenkumham Denny Indrayana menilai 'obral remisi' ini merupakan konsekuensi dibatalkannya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012. Padahal PP itu mengatur pengetatan pemberian hak-hak napi korupsi seperti remisi dan pembebasan bersyarat.
ADVERTISEMENT
Denny menyebut bahwa pembatalan aturan itu diawali melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41 tahun 2021.
"Putusan MK tersebut membuka pintu lebar-lebar bagi Mahkamah Agung melalui putusannya Nomor 28P/HUM/2021 yang menyatakan pasal-pasal “pengetatan remisi” PP 99 bertentangan dengan Undang-Undang Pemasyarakatan, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," ungkap Denny.
"Putusan MK dan MA tersebut tentu saja disambut riang-gembira oleh para napi korupsi yang sudah sejak lama berjuang membatalkan PP 99 tahun 2012, yang memang membuat mereka sulit mendapatkan pengurangan hukuman, alias menghilangkan kebiasaan 'obral dan jual-beli remisi'," sambungnya.
Denny memaparkan aturan itu memang sering digugat ke MA maupun MK sejak diterbitkan pada 2012. Termasuk ketika dia menjabat Wamenkumham.
"Dalam putusan-putusan sebelumnya, baik MK maupun MA konsisten menyatakan bahwa PP pengetatan remisi tersebut tidak bertentangan dengan peraturan di atasnya, dan sejalan dengan politik hukum pemberantasan korupsi yang luar biasa," kata Denny.
ADVERTISEMENT
"Sayangnya, pertahanan MK dan MA tersebut jebol juga dengan gempuran tanpa henti para koruptor. Pembatalan PP 99 mengembalikan rezim obral remisi yang menghamparkan karpet merah kebebasan serta menghilangkan efek jera bagi para koruptor," sambungnya.