Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Sejatinya, Hizbut Tahrir telah bergerak di Indonesia sejak tahun 1982. Saat itu, pemimpin Pesantren Al-Gazhali Bogor, KH Abdullah bin Nuh, bertemu dengan Syaikh Abdurrahman al Baghdadiy, seorang aktivis Hizbut Tahrir di Sydney, Australia.
ADVERTISEMENT
Abdullah tertarik dengan ceramah yang disampaikan Abdurrahman tentang kewajiban persatuan umat dan keharusan menegakkan khilafah --sistem bernegara dengan penerapan syariah Islam-- guna melawan hegemoni penjajahan dunia. Abdullah, yang merupakan tokoh ulama asal Cianjur itu, lalu mengajak Abdurrahman ke Indonesia untuk berdakwah bersama.
HTI kemudian berkembang melalui dakwah di kampus-kampus besar, dan meluas ke masyarakat, masjid-masjid di perumahan, hingga perusahaan. Pada zaman Orde Baru itu, HTI bergerak secara klandestin atau diam-diam untuk menghindari tindakan keras rezim Soeharto.
Strategi gerak HTI itu senada dengan strategi operasional Hizbut Tahrir dunia secara umum. Organisasi tersebut beroperasi melalui sebuah jaringan bawah tanah yang menyerupai jaringan bawah tanah dalam Revolusi Bolshevik di Russia pada awal abad ke-20 --yang mengakhiri tsarisme dan mengantarkan Lenin menjadi pemimpin pertama Uni Soviet.
ADVERTISEMENT
Pada Hizbut Tahrir, di level paling bawah, anggota diorganisasikan dalam satu lingkaran belajar (halqa) yang terdiri dari lima orang. Setiap halqa akan mempunyai seorang pengawas yang disebut mushrif. Sementara di tingkat distrik, terdapat komite lokal yang dipimpin oleh seorang yang dijuluki Naqib.
Pemimpin distrik itu bertanggung jawab terhadap isu-isu kelompok dan permasalahan terkait Hizbut Tahrir yang ada di distrik tersebut.
Hizbut Tahrir menolak konsep modern negara-bangsa, dan membagi teritori dunia di dalam term wilaya (province).
Satu wilaya dapat berupa satu negara bagian saat ini, atau satu teritori khusus di dalam negara. Di level wilaya terdapat satu komite representatif dari wilaya tersebut (Mu’tamad) yang dipilih oleh komite sentral (lajnat al-qiyada).
Komite sentral tersebut dipimpin oleh pemimpin tertinggi (amir/khilafah) Hizbut Tahrir. Dengan formasi struktur dan jaringan demikian, disiplin internal dan kepatuhan menjadi satu hal yang sangat penting untuk menghindari penyusup dan menjaga kesatuan ideologi.
ADVERTISEMENT
Peraturan juga dengan ketat ditegakkan dengan berbagai tingkat hukuman terhadap bermacam pelanggaran.
Baru setelah Indonesia memasuki masa Reformasi, HTI mampu bergerak di atas permukaan, bahkan menggelar Konferensi Khilafah Internasional (KKI) pada 12 Agustus 2007 di Gelora Bung Karno.
Konferensi itu dihadiri oleh 100 ribu orang peserta dan dianggap sebagai konferensi luar biasa karena banyaknya peserta dari seluruh dunia dan tema provokatif yang diusung, yakni “Saatnya Khilafah Memimpin Dunia”.
[Baca: ]
Tak di setiap negara Hizbut Tahrir mendapatkan penerimaan sama hangatnya. Meski berada di bawah panji Hizbut Tahrir internasional dan memiliki kesamaan cita-cita untuk mendirikan kekhalifahan Islam, performa dan nasib Hizbut Tahrir di tiap negara berbeda-beda.
ADVERTISEMENT
Hal itu ditunjukkan Ihsan Yilmaz dalam penelitiannya yang berjudul The Varied Performance of Hizbut Tahrir: Success in Britain and Uzbekistan and Stalemate in Egypt and Turkey. Penelitian yang ia lakukan di empat negara, yaitu Turki, Uzbekistan, Inggris, dan Mesir, membuktikan hipotesis tersebut.
Kesuksesan Hizbut Tahrir di masing-masing negara yang disinggahinya berkaitan dengan keadaan dalam negeri masing-masing negara, dan bagaimana strategi Hizbut Tahrir di negara itu untuk keadaan tersebut.
Di Uzbekistan, Hizbut Tahrir diterima sangat baik oleh masyarakatnya. Di negara pecahan Uni Soviet tersebut, Hizbut Tahrir sukses menarik perhatian masyarakat. Banyak warga bergabung menjadi anggotanya.
Sambutan hangat untuk Hizbut Tahrir itu karena keadaan masyarakat Uzbekistan yang frustrasi dengan keadaan politik serta kondisi ekonomi negara yang memprihatinkan.
ADVERTISEMENT
Keadaan tersebut, ditambah dengan ideological vacuum menyusul tidak relevannya komunisme setelah Uni Soviet pecah, mendorong masyarakat Uzbekistan giat mempelajari Islam usai ateisme negara berakhir.
Visi tatanan politik Hizbut Tahrir yang menurut Yilmaz sebenarnya dekat dengan Marxisme, juga turut membantu masyarakat untuk lebih dekat dengan Hizbut Tahrir. Keadaan-keadaan tersebut memberikan lingkungan yang matang bagi kesuksesan tubuh kembang Hizbut Tahrir di Uzbekistan.
Hizbut Tahrir di Mesir tak bernasib sama dengan Hizbut Tahrir Uzbekistan. Meskipun kondisi politik tertindas dan ekonomi buruk hampir sama dengan Uzbekistan, masyarakat Mesir tidak mengalami “theological and ideological vacuum” seperti yang ada di Uzbekistan.
Justru gerakan Islam lain, yaitu Muslim Brotherhood, yang telah merebut pos penting oposisi politik pemerintahan Mesir dan meraih simpati lebih besar dari apa yang didapat oleh Hizbut Tahrir.
ADVERTISEMENT
Nasib Hizbut Tahrir di Turki pun demikian, di mana perkembangannya tidak cukup signifikan dibandingkan perkembangan Hizbut Tahrir di Uzbekistan ataupun perkembangan gerakan Islam lain di Turki sendiri.
Dengan tingkat multikulturalisme yang tinggi di dalam negara dan beragamnya kehidupan beragama, banyaknya gerakan Islam serupa, dan Islam yang memang telah menghegemoni di tengah masyarakat, membuat kehadiran Hizbut Tahrir bersifat pleonasme semata.
Namun berbeda dengan Turki, Hizbut Tahrir di Inggris justru sukses berkembang. Menjadi minoritas di kalangan masyarakat, membuat pemeluk Islam serasa menemukan oase atas kebutuhan berkumpul dan berdiskusi mengenai Islam.
Kondisi theological vacuum yang berpengaruh di Uzbekistan juga dirasakan masyarakat Islam di Inggris yang didominasi pemeluk Kristen dan Katolik.
Dengan kebijakan luar negeri pemerintah Inggris yang dirasa tidak ramah terhadap masyarakat muslim di dunia, kehadiran Hizbut Tahrir yang meyakini bahwa Barat telah menghegemoni dunia, bak mendapatkan justifikasi.
Selain faktor theological maupun ideological vacuum, gejolak politik seperti perebutan kekuasaan, misalnya di negara-negara Asia Tengah, juga memengaruhi wajah Hizbut Tahrir di negara-negara itu.
ADVERTISEMENT
Mazdar Hilmy dalam jurnalnya berjudul Akar-akar Transnasionalisme Islam Hizbut Tahrir Indonesia, misalnya menyebut bahwa Hizbut Tahrir di Asia Tengah jauh lebih garang ketimbang yang ada di Asia Tenggara.
Hal ini disebabkan oleh perbedaan perbedaan wajah politik negara masing-masing. Mazdar menyebut Islam transnasional di Asia Tengah lebih garang karena dekat dengan pemahaman Marxian bekas Soviet dulu.
Ini menyebabkan kasus yang diangkat bukan hanya sekadar Islam versus Barat, namun juga pertentangan kelas, yaitu Islam versus pemerintah.
Uzbekistan sendiri telah melarang Hizbut Tahrir sejak tahun 1999. Dihadapi dengan tangan besi, dan berada di tengah perebutan kekuasaan yang berlangsung secara brutal dan militeristik, membuat Hizbut Tahrir Uzbekistan yang bergerak di bawah tanah bersikap sama kerasnya.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Islam transnasional di negara-negara seperti Indonesia cenderung dingin, bahkan ambigu pada beberapa kasus.
Di tengah peta politik yang cenderung adem ayem, masyarakat mayoritas muslim yang matang, tanpa tentangan keras dari pemerintah, Hizbut Tahrir Indonesia beroperasi tanpa ada tindak kekerasan atau aksi-aksi antipemerintah nekat lainnya.
Namun, siapa tahu apa dampak dari pembubaran HTI oleh pemerintah Indonesia awal pekan ini? Bisa jadi wajah Hizbut Tahrir Indonesia juga bakal berubah tak lagi lunak.
Simak pula