Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Hizbut Tahrir Indonesia diterpa mimpi buruk. Jagat maya bergemuruh.
ADVERTISEMENT
Organisasi yang masuk ke Indonesia tahun 1980-an lewat dakwah di kampus-kampus itu, kini dilarang hidup di Republik Indonesia. Keputusan tersebut diumumkan oleh Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Wiranto, Senin (8/5).
Tak menunggu waktu, HTI langsung bergerak. Pada hari yang sama, mereka menggelar konferensi pers di Kantor Dewan Pimpinan Pusat HTI, Tebet, Jakarta Selatan. HTI mengecam tindakan pemerintah yang mereka anggap semena-mena.
Juru Bicara HTI Ismail Yusanto melontarkan pernyataan keras. “HTI meminta pemerintah menghentikan pembubaran itu. Jika kami tetap dibubarkan, rezim pemerintah adalah sidang yang represif dan anti-Islam.”
HTI geram, dan mengeluarkan 5 butir sikap dengan inti: HTI adalah organisasi legal dan pembubarannya menghambat dakwah; HTI mampu berdakwah santun dan damai selama 20 tahun; kegiatan HTI adalah ajaran Islam, termasuk khilafah dan syariah, yang tak bertentangan dengan Pancasila; HTI memberikan kontribusi penting terhadap pembangunan negeri; HTI meminta pemerintah menghentikan pembubaran HTI.
ADVERTISEMENT
Pemerintah bergeming. Indonesia bukan satu-satunya yang melarang Hizbut Tahrir.
HTI melayangkan surat audiensi kepada Presiden Joko Widodo dan Menkopolhukam Wiranto --berharap persoalan dapat diselesaikan secara kekeluargaan, tanpa perlu ke pengadilan.
“Tapi sampai hari ini belum dapat respons,” kata Ismail di Kantor DPP HTI, Selasa (9/5).
Ia masih menyimpan harapan, dan mengatakan Wiranto sesungguhnya bukan orang asing bagi HTI. Mereka, ujar Ismail, sudah lama saling kenal.
“HTI sudah lama mengenal Wiranto. Wiranto pernah datang ke acara HTI sebagai pembicara pada tahun 2008. Wiranto juga pernah datang ke kantor HTI,” kata Ismail kepada kumparan (kumparan.com).
ADVERTISEMENT
Wiranto pula yang awal pekan ini mengumumkan pembubaran HTI. Organisasi yang memperjuangkan berdirinya sistem khilafah itu dinilai bertentangan dengan ideologi dan konstitusi negara --Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, mengancam ketertiban masyarakat, dan membahayakan keutuhan negara.
Khilafah jadi kata kunci di sini. Khilafah ialah kepemimpinan bagi seluruh Muslim dunia dengan cara penerapan syariah Islam. Pada sistem tersebut, seorang khalifah menjadi pemimpin, bukan presiden seperti pada sistem pemerintahan republik.
Pada khilafah, kedaulatan berada pada syariat Islam, sehingga tak seorang pun boleh menyusun hukum yang bersumber dari pikirannya sendiri. Ini jauh berbeda dengan sistem republik yang menganut demokrasi, di mana kedaulatan terletak di tangan rakyat.
Soal ketakcocokan khilafah dengan sistem negara Republik Indonesia, HTI sudah pernah diingatkan oleh Majelis Ulama Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Saya sudah mengatakan supaya dia (HTI) membuat pernyataan sikap bahwa dia harus punya komitmen kebangsaan dan kenegaraan, dan tidak lagi mengusung isu khilafah,” kata Ketua MUI Ma’ruf Amin kemarin, beberapa waktu usai pengumuman pelarangan HTI.
Ma’ruf sepakat bahwa sistem khilafah yang diusung HTI tak sesuai dengan ketatanegaraan di Indonesia yang menganut sistem republik.
Andai saja HTI tak lagi mengusung sistem khilafah dalam misinya, ujar Ma’ruf, mungkin ia tak bakal sampai dilarang oleh pemerintah.
Apapun, HTI berkukuh pada jalur khilafah. Mereka menganggap demokrasi bertentangan dengan ajaran Islam.
“HTI mengkritik demokrasi, karena itu bukan sistem Islam. Pada titik inti demokrasi, kedaulatan di tangan rakyat --artinya kedaulatan membuat hukum. Dalam demokrasi, yang punya hak untuk menerbitkan hukum ialah rakyat melalui wakil-wakilnya. Padahal dalam ajaran Islam, yang punya hak menerbitkan hukum adalah Allah SWT,” kata Ismail.
ADVERTISEMENT
Ia menegaskan, “Dalam Islam, kedaulatan di tangan Allah, bukan manusia. Manusia itu bukan pembuat hukum, tapi pelaksana hukum. Suka atau tidak suka, khilafah adalah ajaran Islam.”
Perbedaan ini, sampai kapanpun, hampir pasti akan menjadi titik buntu antara HTI dan pemerintah --tak cuma di Indonesia, tapi juga negara-negara lain.
Wakil Presiden Jusuf Kalla tegas mengatakan, konsep khilafah tak dapat diterapkan di Indonesia. “Paham HTI itu kekhalifahan. Artinya kembali ke zaman lalu, di mana kepala pemerintahan merangkap pemimpin agama.”
“Menggabungkan dua kepemimpinan itu --pemimpin agama dan pemerintahan-- tanpa batas. Itu masalahnya. Itu yang salah,” kata JK.
“Kalau ada perubahan ke arah yang Islami, memang itu yang kami harapkan. Tapi mengubah dasar negara bukan domain kami. HTI tidak punya otoritas untuk itu,” ujar Ismail.
ADVERTISEMENT
Ia mengatakan, HTI mengakui dasar dan konstitusi Indonesia --Pancasila dan UUD ‘45, dan karenanya berpendapat anggapan pemerintah bahwa HTI bertentangan dengan keduanya merupakan tuduhan politis.
“Berjuang untuk dakwah itu cocok dengan sila ke-1 (Ketuhanan Yang Maha Esa). Kalau dihambat, itu sesuai sila yang mana?”
Sementara Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, satu soal penting lain terkait pelarangan HTI ialah karena organisasi itu bergerak di bidang politik, bukan keagamaan.
“HTI adalah gerakan politik, bukan dakwah keagamaan. Ini yang harus digarisbawahi,” kata menteri asal Partai Persatuan Pembangunan itu di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta.
HTI yang menyebut diri sebagai organisasi kemasyarakatan, ternyata tak terdaftar di Kementerian Dalam Negeri sebagai ormas.
ADVERTISEMENT
Menurut Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, alih-alih terdaftar di kementeriannya, ormas HTI hanya tercatat di notaris. Notaris kemudian mengajukan pengesahan ke pemerintah, dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia memberi izin pengesahan atas HTI sebagai badan hukum berstatus perkumpulan.
HTI dalam website resminya mencantumkan keterangan, “Hizbut Tahrir adalah sebuah partai politik yang berideologi Islam. Politik merupakan kegiatannya, dan Islam adalah ideologinya.”
Masih pada situs HTI, tercantum bahwa “Hizbut Tahrir merupakan organisasi politik, bukan organisasi kerohanian (seperti tarekat), bukan lembaga ilmiah (seperti lembaga studi agama atau badan penelitian), bukan lembaga pendidikan (akademis), dan bukan pula lembaga sosial (yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan).”
Fitrah politik itu diakui tegas HTI. Ismail menyebut organisasinya sebagai Partai Pembebasan.
ADVERTISEMENT
“HTI adalah partai. ‘Hizbut’ adalah ‘partai’ dan ‘tahrirun’ adalah ‘pembebasan’. Jadi Hizbut Tahrir adalah Partai Pembebasan. Soal enggak ikut pemilu, itu terkait pilihan,” kata Ismail.
Kini setelah dilarang, HTI akan dibubarkan pemerintah lewat proses hukum, yakni membawanya ke pengadilan, sesuai Undang-Undang tentang ormas yang mengharuskan pembubaran berdasarkan putusan pengadilan.
Pengadilan pula, ujar Lukman, yang menjadi bukti bahwa pemerintah tidak bertindak represif.
“Hanya dengan peradilanlah hak pembelaan bagi organisasi yang dibubarkan, bisa diberikan,” kata dia.
Artinya, sesungguhnya meski HTI telah dilarang, namun pelarangan itu baru sebatas pernyataan, belum inkrah (berkekuatan hukum tetap).
Pernyataan penuh kehati-hatian disampaikan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam). Mereka berpendapat, pelarangan HTI perlu dilihat dari dua sudut pandang.
ADVERTISEMENT
“Lepas dari desakan kepada pemerintah untuk segera mengambil langkah tegas terhadap organisasi yang dianggap intoleran, tindakan itu (pelarangan HTI) harus dilihat secara cermat, dalam kerangka demokrasi dan negara hukum,” ujar Elsam dalam rilis persnya.
Sebab jika dilakukan secara gegabah, pemerintah justru dapat mengancam jaminan kebebasan berserikat seperti tertuang dalam konstitusi. [Baca selengkapnya pernyataan Elsam di sini ]
Pelarangan HTI oleh pemerintah Indonesia jelas masih akan menuai kontroversi dalam jangka waktu yang tak pendek. Pada titik ini, penting untuk melihat gerakan Hizbut Tahrir dalam skala global agar kita memperoleh pemahaman lebih utuh.
Simak rangkaian ulasannya di kumparan hari ini.