Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Melihat Kampanye Global Hizbut Tahrir Tegakkan Khilafah
10 Mei 2017 6:58 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
ADVERTISEMENT
Hizbut Tahrir, yang artinya Partai Pembebasan, bukan organisasi lokal yang hanya ada di Indonesia. Ini organisasi global dengan jangkauan luas lintas benua.
ADVERTISEMENT
Sejak didirikan tahun 1953, Hizbut Tahrir secara konsisten memperluas jangkauan dan operasionalnya ke berbagai negara. Berawal dari titik terbentuknya di Palestina, sang pendiri, Taqiyyuddin An Nabhani, mengembangkan Hizbut Tahrir ke lebih dari 50 negara di dunia.
Gerakan transnasional Hizbut Tahrir sedikit-banyak terpengaruh kehidupan Nabhani, lulusan Universitas Al-Azhar yang kemudian menjadi hakim di Pengadilan Yerusalem, Palestina.
Pandangan Politik Nabhani banyak terpengaruh konflik Israel-Palestina yang pecah tahun 1948. Nabhani berpikir bahwa satu-satunya jalan untuk membebaskan Palestina dari Israel adalah dengan mengembalikan kekhalifahan Islam beserta institusi dan fungsi tradisionalnya sesuai Alquran dan hadis.
Awal Mula di Arab
Dari keinginan membangun kekhalifahan Islam demi membebaskan Palestina itulah Nabhani mulai membangun Hizbut Tahrir --yang tak dimaksudkan untuk menjadi gerakan yang mendunia seperti sekarang.
ADVERTISEMENT
Nahbahi memfokuskan Hizbut Tahrir untuk negara-negara Arab saja, seperti Irak, Suriah, Yordania, dan Mesir.
Selain tujuan utama untuk mengembalikan kekhalifahan Islam, Hizbut Tahrir pada awalnya dibentuk untuk membebaskan umat muslim dari pemikiran, sistem, dan hukum yang diambil dari pemikiran-pemikiran Barat yang dianggap kafir, yang dianggap sebagai alat Barat untuk menguasai negara-negara muslim.
Hal ini membuat sistem pemerintahan dan hukum yang berdasarkan komunisme, liberalisme, dan demokrasi masuk target “hal-hal yang harus diganti” dalam proses mengembalikan kekhalifahan Islam.
Baru pada 1977, setelah Sheikh Abdul Qaleem Zalloum mengambil alih kepemimpinan gerakan dari Taqiyyuddin, Hizbut Tahrir berkembang ke luar jazirah Arab.
Ia menyeberangi benua ke Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan negara-negara Barat lainnya. Hizbut Tahrir juga mulai menjalar ke negara-negara Asia Tengah menyusul kejatuhan Uni Soviet pada tahun 1991, dan terus bergerak ke Afrika dan Asia.
ADVERTISEMENT
Ideologi yang Mengancam
Ideologi yang mendasari Hizbut Tahrir adalah ideologi Islam, atau yang disebut oleh Nabhani pada tulisannya The Islamic State, sebagai “The Islamiq ‘Aqeeda”.
Hizbut Tahrir percaya bahwa Islam bukan hanya agama semata, namun juga ideologi politik yang bersifat holistik di mana kedaulatan menjadi milik Tuhan, bukan rekaan manusia.
Visi kekhalifahan versi Hizbut Tahrir --yang berencana mengimplementasikan hukum syariah di level negara-- ialah semacam negara modern dengan fungsi-fungsi keamanan, lengkap dengan konstitusi dan badan pemerintahan.
Artikel nomor 1 konstitusi Hizbut Tahrir, A Draft Constitution of the Khilafah State , yang disusun Taqiyyuddin, berbunyi:
ADVERTISEMENT
Dalam kekhalifahan yang diusung Hizbut Tahrir, ruang publik dan privat diatur secara penuh oleh hukum syariah, yang diinterpretasikan oleh Hizbut Tahrir sendiri berdasarkan Alquran dan hadis.
Konstitusi tersebut juga akan menyatukan seluruh masyarakat Islam dan negara-negara di mana mereka berada, ke dalam satu negara Islam. Dan dari “kekhilafahan internasional” tersebut akan dipilih satu khalifah yang berhak memiliki otoritas dari negara kekhalifahan itu.
Menyusun Strategi
Untuk mencapai negara kekhilafahan, Hizbut Tahrir memiliki rangkaian strategi khusus yang mewujud pada tiga tahapan yang satu per satu harus dicapai oleh organisasi mereka.
Tahap pertama adalah pembuatan partai (tathqif) dan pengkaderan individu. Ini dilakukan dengan memberikan pelajaran dan pelatihan tentang metode partai kepada individu-individu yang percaya akan ide dari Hizbut Tahrir, agar mereka dapat mempropagandakan pesan Hizbut Tahrir.
ADVERTISEMENT
Tahap kedua adalah interaksi umat (tafa’ul). Individu-individu yang terjaring dalam gerakan Hizbut Tahrir dituntut berinteraksi secara intelektual dengan ummah atau masyarakat luas, untuk mendorong mereka memeluk dan memercayai nilai-nilai Islam versi Hizbut Tahrir.
Interaksi dengan ummah ini bertujuan agar masyarakat luas membawa pemahaman Islam versi Hizbut Tahrir ke dalam urusan kehidupan sehari-hari.
Tahap ketiga, meraup dukungan dari masyarakat luas dan mencari bantuan (nusroh) dari pemimpin politik dan pemimpin militer suatu negara, agar pergantian konstitusi sekuler dengan sistem Islamik bisa terjadi secara damai.
Artinya, ini sampai pada tahap pembentukan pemerintahan yang mengimplementasikan Islam secara menyeluruh dan komprehensif.
Nantinya, satu negara khilafah ini akan membawa nilai-nilainya ke seluruh dunia untuk mencapai kekhalifahan tunggal bagi seluruh umat Islam di dunia.
ADVERTISEMENT
Ketiga tahap tersebut sebetulnya diambil dari cara ekspansi Nabi Muhammad yang dimulai dari Madinah, yang berhasil mengislamkan masyarakatnya dari sistem kufur (kafir) ke pemerintahan berbasis Alquran. Saat itu, Muhammad berhasil mendirikan kekhilafahan selama 13 tahun.
Pada mulanya, Muhammad dengan sabar menyebarkan kepercayaannya di Mekkah tanpa memakai kekerasan sama sekali, meski ia selalu menjadi target kekerasan.
Setelah berhasil di Mekah, ia pindah ke Madinah. Di situ Muhammad terus menyebarkan ajaran Islam dan mengorganisasi masyarakat, kemudian membentuk kekhalifahan dengan titik mula Mekkah-Madinah.
Lalu, bagaimana posisi Hizbut Tahrir di tengah negara-negara di dunia yang mayoritas menganut sistem kedaulatan tradisional versi Westphalia (negara modern)?
Model negara Westphalia berasal dari Treaty of Westphalia pada 1648 --yang mengakhiri kekuasaan gereja dan memulai apa yang dikenal dengan nation-state.
ADVERTISEMENT
Dari situ muncullah konsep negara, yang konsep kedaulatannya didasarkan pada 1) penguasaan wilayah geografis tertentu, 2) pemerintahan yang memiliki legitimasi dari rakyatnya, dan 3) pengakuan oleh negara-negara berdaulat lain.
Tatanan politik internasional yang kini menganut gaya kedaulatan Westphalia, tentu saja melihat fenomena Hizbut Tahrir --yang tegas menolak demokrasi, dan melihat kekhalifahan global sebagai satu-satunya jalan dan yang harus diraih-- sebagai ancaman.
Sederhananya, meski Hizbut Tahrir adalah gerakan yang menolak penggunaan kekerasan, visinya soal penegakan khilafah menghadirkan konflik politik langsung dengan pemerintah negara-negara yang menganut sistem demokrasi, termasuk Indonesia.
Hizbut Tahrir disebut sebagian akademisi sebagai revolutionary movement atau extremist movement yang mencoba menggulingkan tatanan negara-bangsa modern dan menggantikannya dengan kekhilafahan.
ADVERTISEMENT
Perdebatan soal Hizbut Tahrir berhasil memunculkan dua kubu, baik yang mendukung maupun menolak. Meski jelas-jelas menolak sistem negara tradisional, Hizbut Tahrir bersiteguh tidak menggunakan kekerasan dalam upayanya mencapai kekhilafahan.
Ini menyebabkan muncul banyak keraguan apakah Hizbut Tahrir benar-benar berbahaya, ataukah Hizbut Tahrir hanya bentuk lain dari gerakan-gerakan Islam yang keras beretorika namun melempem pada akhirnya.
Perdebatan tersebut menghasilkan dua respons dari negara-negara di dunia. Negara-negara seperti Rusia, China, Pakistan, negara-negara Arab dan Asia Tengah, telah membekukan Hizbut Tahrir, dengan menganggap gerakan ekstrem tersebut sebagai terorisme.
Anggapan tersebut diperkuat oleh pendapat beberapa akademisi, seperti Zeyno Baran yang menyebut bahwa Hizbut Tahrir adalah bagian dari conveyor belt yang turut memproduksi calon-calon teroris bagi kelompok lain yang lebih radikal.
Keterlibatan dalam percobaan kudeta di negara-negara seperti Yordania, Suriah, Mesir, Tunisia, dan Irak memperburuk citra Hizbut Tahrir terhadap negara-negara tersebut. Jerman juga turut melarang gerakan Hizbut Tahrir karena kampanyenya yang menyuarakan anti-semitisme.
ADVERTISEMENT
Namun di luar itu, beberapa negara Barat yang dinilai sangat keras ditentang oleh Hizbut Tahrir, justru terkesan ragu-ragu dalam menyikapi keberadaan gerakan revolusioner tersebut. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia menolak untuk secara tegas melarang keberadaan gerakan ekstremis tersebut.
Padahal, yang sebelumnya menjadi garis terdepan untuk mendorong dilarangnya Hizbut Tahrir adalah kelompok think tank Amerika Serikat seperti Heritage Foundation dan Nixon Centre, yang menganggap Hizbut Tahrir sebagai gerakan potensial teroris.
Zeyno Baran, dalam Hizbut Tahrir: Islam’s Political Insurgency, juga sangat mendukung pelarangan Hizbut Tahrir. Ia berpendapat, Amerika Serikat tidak akan memenangkan perang melawan terorisme kecuali memenangi pertempuran jangka panjang melawan ideologi yang mendorong terorisme Islam. Dan untuk memenangkannya, lanjut Baran, AS wajib memahami akar dari ideologi tersebut.
ADVERTISEMENT
Beda negara, beda kebijakan. Tak seperti AS yang menolak bertindak tegas, pemerintah Indonesia kini melarang Hizbut Tahrir Indonesia. HTI dinilai pemerintah RI bertentangan dengan ideologi dan konstitusi negara --Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, mengancam ketertiban masyarakat, dan membahayakan keutuhan negara.