Bedah Film dan Pidato Kekinian Jokowi

22 Oktober 2018 10:48 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Teaser Game of Thrones musim ke-8 (Foto: HBO )
zoom-in-whitePerbesar
Teaser Game of Thrones musim ke-8 (Foto: HBO )
ADVERTISEMENT
“Perang dagang semakin marak dan inovasi teknologi mengakibatkan banyak industri terguncang. Dengan banyaknya masalah perekonomian dunia, sudah cukup bagi kita untuk mengatakan bahwa: Winter is Coming.”
ADVERTISEMENT
Winter is coming. Moto dari House Stark yang didengungkan berulang kali sejak episode pertama Game of Thrones ini adalah pengingat. Sebab di musim dingin yang gelap dan panjang, kematian bisa terasa lebih dekat: kedinginan, kelaparan, hingga ancaman pasukan zombi White Walkers.
Di tengah intaian bahaya yang bisa melanda ketujuh kerajaan di Westeros, para pemimpin kerajaan besar dalam Seven Kingdoms justru sibuk bersaing memperebutkan takhta Iron Throne yang dipegang oleh House Lannister. Tak pelak, sebagai petahana, klan Lannister berupaya sedemikian rupa mempertahankan kuasanya.
“Power is power,” ujar sang ratu, Cersei Lannister, dengan angkuh. Ia menunjukkan kepada Petyr Baelish alias Littlefinger, eks Master of Coin alias menteri keuangan, bahwa ilmu pengetahuan bukan kekuatan yang sebenarnya.
ADVERTISEMENT
“Knowledge is power”, kutipan terkenal filsuf dan negarawan Inggris Francis Bacon yang diucapkan Littlefinger dalam Game of Thrones, dipatahkan dengan mudah oleh Cersei dengan mengerahkan kekuasaannya, yakni uang dan sepasukan tentara yang ia miliki.
Dengan egois dan arogan, Cersei juga menolak ikut memerangi the Night King dan pasukan White Walkers-nya. Ia sibuk mempertahankan takhta dan kuasa yang dimiliki klannya.
Di dunia nyata, Cersei seumpama Donald Trump yang kini memegang tampuk kekuasaan Amerika Serikat. Pemimpin AS itu menolak ikut memerangi pemanasan global hingga memperuncing permusuhan dan persaingan demi keuntungan negerinya sendiri.
Tak hanya itu, Trump juga melancarkan perang dagang dengan meningkatkan bea masuk terhadap produk-produk impor dari China. Ia ingin menghalangi pertumbuhan ekonomi China yang kini telah menduduki posisi kedua negara dengan perekonomian terbesar di dunia.
Donald Trump dan Xi Jinping di KTT G20 (Foto: REUTERS/Saul Loeb)
zoom-in-whitePerbesar
Donald Trump dan Xi Jinping di KTT G20 (Foto: REUTERS/Saul Loeb)
Bagi Trump dan Amerika Serikat, selama ini China telah menjalankan praktik dagang yang tidak adil. Di sisi lain, China membalas tindakan Trump dengan menaikkan bea masuk produk impor. Negeri Tirai Bambu dan AS telah melakukan praktik perisakan dalam perdagangan, intimidasi, dan mengganggu ekonomi global.
ADVERTISEMENT
Memanasnya persaingan berebut pasar antara dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia itu turut mempengaruhi laju pertumbuhan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Maka, tak heran jika pidato Jokowi yang menganalogikan ancaman perang dagang berkepanjangan terhadap perekonomian dunia dengan mengutip frasa winter is coming menjadi bahan perbincangan.
“Saya senang sekali Pak Jokowi pakai analogi winter is coming. Karena memang menurut saya, analogi itu pas untuk menggambarkan kondisi perekonomian dunia saat ini, khususnya emerging market seperti Indonesia,” ujar Dzulfian Syafrian, ekonom Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) yang juga fans Game of Thrones ketika berbincang via Skype bersama kumparan dari London, Kamis (18/10).
Jokowi's Game of Words (Foto: kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi's Game of Words (Foto: kumparan)
Berbagai meme dan unggahan yang menyamakan Jokowi dengan Eddard ‘Ned’ Stark atau Jon Snow pun berseliweran di media massa. Tapi, apakah itu analogi yang tepat?
ADVERTISEMENT
Sulit untuk menjawabnya. Sebab, Ned yang sempat menjadi kaki tangan Robert Baratheon, mantan penguasa Seven Kingdom, harus tewas di tangan klan Lannister yang menjadi pewaris takhta. Sementara Jon Snow yang diibaratkan kuda hitam, diharapkan bisa membawa perubahan dan menjadi pahlawan.
Dalam realita ekonomi global, Indonesia nyatanya bukanlah pemain kunci. Indonesia dinilai tidak cukup memiliki kekuatan atau pengaruh, khususnya dalam perang dagang. Dzulfian mengibaratkan Indonesia seperti seekor semut di antara pertarungan dua gajah. Jika tidak hati-hati, maka akan terinjak.
“Tapi kalau dalam konteks salah satu adegan, saya bisa ibaratkan Jokowi sebagai Petyr Baelish atau yang lebih dikenal Littlefinger. Sementara Cersei Lannister ini layaknya Donald Trump,” ujar Dzulfian.
Dalam adegan yang dimaksud Dzulfian tersebut, Baelish berupaya meningkatkan daya tawarnya dalam perpolitikan Game of Thrones dengan menasihati Cersei lewat ucapan “Knowledge is power”.
ADVERTISEMENT
Menurut Dzulfian, apa yang dilakukan Baelish dalam konteks adegan itu “tidak akan berpengaruh besar. Hanya masuk kuping kanan dan keluar kuping kiri,” sebab Baelish hanya orang kecil yang tak memiliki kuasa atau pengaruh dalam perpolitikan Game of Thrones.
Cara Jokowi menyisipkan metafora dari film-film fiksi populer ke dalam pidato memang menarik. Bukan kali pertama orang nomor satu Indonesia itu memasukkan referensi sinema ke dalam pidatonya. Sebulan sebelumnya, Jokowi juga merujuk film Avengers: Infinity War untuk menggambarkan kondisi krisis global.
Dalam pidatonya di World Economic Forum, 12 September 2018, Jokowi menyebut bahwa sumber daya alam yang tersedia bagi manusia tidak terbatas. Apalagi, menurutnya, perkembangan teknologi yang ada bisa membuat segala sesuatu lebih efisien dan justru memperbanyak sumber daya tersebut.
ADVERTISEMENT
“Thanos ingin menghabisi separuh populasi sehingga sisanya yang bertahan dapat menikmati sumber daya per kapita sebesar dua kali lipatnya,” ujar Jokowi dalam pidatonya.
Ucapan Jokowi merupakan negasi dari apa yang diyakini Thanos, karakter antihero utama dalam film produksi Marvel Studios. Satu hal yang luput dari perhatian Jokowi, Thanos percaya penghuni alam semesta sudah membeludak sehingga bumi tak cukup sanggup menanggung bebannya.
Bagi Thanos, sumber daya alam terbatas untuk bisa memenuhi kebutuhan seluruh manusia. Ketidakseimbangan ini menciptakan konsumsi berlebih yang kian mengikis sumber daya alam.
Maka, demi menyelamatkan bumi sebelum ia hancur perlahan karena ulah manusia, Thanos tidak tinggal diam. Ia mengumpulkan enam batu keabadian (infinity stones) untuk mewujudkan kembali keseimbangan alam semesta.
ADVERTISEMENT
Caranya yakni melenyapkan separuh penghuni dunia hanya dengan satu jentikan jari. Dan Thanos percaya pilihannya benar.
Bagi Thanos, pilihan terbaik lahir dari kebulatan tekad. Niat untuk menyelamatkan bumi inilah yang membuatnya kukuh dengan pendirian dan kebenaran yang ia percaya.
Thanos datang ke bumi mengumpulkan Infinity Stones (Foto: Marvel)
zoom-in-whitePerbesar
Thanos datang ke bumi mengumpulkan Infinity Stones (Foto: Marvel)
“Dia (Thanos) environmental anarchist. Dia mau menyelamatkan bumi, bukan manusia,” ujar pengamat perfilman, Dimas Jayasrana, Sabtu (20/10). Menurutnya, bagi para aktivis lingkungan, sosok Thanos bisa jadi justru merupakan pahlawan.
Dalam pidatonya, Jokowi tidak menyatakan secara spesifik siapa Thanos yang akan ia lawan bersama teman-teman Avengers-nya itu. Oleh karena menurut dia, sosok Thanos bukanlah individu tertentu.
“Thanos ada di dalam diri kita semua. Thanos adalah paham yang salah bahwa untuk berhasil, orang lain harus menyerah,” tutur Jokowi. Baginya, Thanos serupa kesesatan dalam berpikir: siapa yang perlu lebih dulu diselamatkan, bumi atau manusia?
ADVERTISEMENT
Sementara bagi pecinta film Marvel, sosok Thanos tidak sepenuhnya salah atau pun benar.
“Kita bisa jadi baik, bisa jadi jahat. Kita bisa mengurus satu planet dengan kekerasan, atau kita mau ngurus satu planet dengan kebaikan,” ucap Dedi Fadim, anggota Komunitas Marvel Indonesia, saat berbincang dengan kumparan di kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan.
Thanos menjadi salah satu pilihan.
Sinema dalam Pidato Jokowi. (Foto: Basith Subastian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sinema dalam Pidato Jokowi. (Foto: Basith Subastian/kumparan)
Pidato kekinian Jokowi yang berulang kali memasukkan unsur budaya pop atau film yang sedang tren, ujar Dimas, bukanlah satu hal yang mengejutkan. Sebab sedari awal sosok Jokowi memang dekat dengan pop culture. Mulai dari musik metal, K-pop, jaket bomber, sneakers, nge-vlog, hingga film-film yang ia sebut dalam pidatonya.
“Itu bahasa diplomasinya pejabat negara aja,” kata Dimas. Lagi pula, ujarnya, film dengan segala keterbatasannya merupakan cerminan realita kehidupan, sehingga ia bisa menjadi rujukan kekinian yang menarik hati kawula muda.
ADVERTISEMENT
Bagi Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya, pidato Jokowi setidaknya telah membuka ruang dialog.
“Pidato tersebut ini membuat orang, minimal anak-anak muda, tidak alergi lagi dengan politik. Merasa politik dekat, minimal dari sisi bahasa,” ujarnya kepada kumparan.
Tapi itu semua tak cukup berhenti sebagai sebuah gimik, simbolik, atau pertunjukan yang menarik. Perlu elaborasi berikutnya yang diwujudkan dalam gagasan dan program kerja nyata Jokowi.
“Kalau enggak, (pidato populer itu) ya hanya berhasil menarik perhatian, tapi tidak berhasil menambah daya elektoral,” kata Yunarto.
ADVERTISEMENT
------------------------
Simak ulasan mendalam soal aksi kekinian Jokowi, Jokowi's Game of Words, di Liputan Khusus kumparan.