Belajar dari Kematangan Politik Jawa Timur

9 Juli 2018 9:02 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Deklarasi Muslimat NU  (Foto: kemenag.go.id)
zoom-in-whitePerbesar
Deklarasi Muslimat NU (Foto: kemenag.go.id)
ADVERTISEMENT
Pemilihan Gubernur Jawa Timur Juni 2018 meninggalkan jejak penting dalam proses demokrasi Indonesia: sebuah masyarakat yang matang secara politik.
ADVERTISEMENT
Jejak itu, antara lain, terlihat dari 10 perempuan yang kini menjadi pemimpin daerah di Jawa Timur, dari tingkat provinsi hingga kabupaten/kota, termasuk Khofifah Indar Parawansa sebagai gubernur terpilih Jawa Timur.
“Sepuluh pemimpin perempuan dari 38 kabupaten/kota plus satu provinsi di Jawa Timur. Ini komposisi (kepala daerah perempuan) paling banyak di Indonesia. Artinya, kesadaran politik perempuan di Jawa Timur tinggi sekali,” kata Wasekjen Golkar, Muhammad Sarmuji, kepada kumparan di Senayan, Jakarta, Rabu (4/7).
Apalagi, imbuh Sarmuji, “Di Jawa Timur, perempuan yang dicalonkan jadi bupati/wali kota atau wakilnya, ternyata peluang menangnya cukup besar.”
Seluruh politikus dan pakar politik sepakat: kampanye berbasis pemilahan gender tak laku di Jawa Timur.
10 Kepala Daerah Perempuan di Jawa Timur (Foto: Basith Subastian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
10 Kepala Daerah Perempuan di Jawa Timur (Foto: Basith Subastian/kumparan)
“Soal pemimpin harus laki-laki atau boleh perempuan itu sudah selesai 15 tahun lalu di Jawa Timur. Masyarakat dan para kiainya sudah terbuka terhadap persoalan gender. Karena memang ada kesadaran bahwa perempuan hebat itu ada,” kata Suko Widodo, pakar komunikasi politik Universitas Airlangga yang menjadi konsultan Khofifah Indar Parawansa, kepada kumparan di Surabaya.
ADVERTISEMENT
Ia tak segan menyodorkan Jawa Timur sebagai model sukses dalam berpolitik. Barometer utamanya: masyarakat yang rasional dan egaliter.
Kedua faktor tersebut menghasilkan independensi politik yang meruntuhkan patriarki dan patron-klien, serta meminimalisasi politik uang.
“Nggak pernah ada ucapan, ‘Ah, wong wedok!’ Lanang, wedok, yo wis tarung. Laki atau perempuan, silakan tarung asal kerja keras,” kata Eva Kusuma Sundari, anggota DPR RI dari daerah pemilihan Jawa Timur VI.
Ketua Muslimat NU Jawa Timur, Masruroh Wahid, menegaskan Nahdlatul Ulama sendiri sejak lama tak mempersoalkan kepemimpinan perempuan di Indonesia.
“Laki-laki yang memimpin perempuan itu konteksnya di keluarga. Dalam keluarga, sepandai, sepintar, setinggi apa pun pangkat seorang istri, dia harus taat kepada suaminya. Itu juga bersyarat. Dalam Al-Quran disebut, suami yang ditaat itu lebih kuat, lebih sabar, lebih tabah, dan lebih mampu memberi nafkah,” ujar Masruroh di Gayungan, Surabaya.
ADVERTISEMENT
Ia merujuk pada Surat An-Nisaa ayat 34 yang berbunyi, “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. Oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Pun bila terdapat pandangan berbeda soal pemimpin lelaki atau perempuan ini, masyarakat mencari informasi secara mandiri, lalu menyerap dan mencernanya lebih dulu sesuai pemahaman masing-masing.
Kampanye terbuka Gus Ipul dan Puti (Foto:  ANTARA FOTO/Seno)
zoom-in-whitePerbesar
Kampanye terbuka Gus Ipul dan Puti (Foto: ANTARA FOTO/Seno)
Pertarungan antar-Nahdliyin di tanah Nahdliyin berlangsung sengit. Saifullah Yusuf--yang biasa disapa Gus Ipul--didukung sebagian besar kiai NU, sedangkan Khofifah didukung penuh Muslimat NU.
ADVERTISEMENT
“Kalangan kiai terbelah antara yang mendukung Gus Ipul dan Bu Khofifah,” kata Fahrul Muzaqqi, dosen politik Universitas Airlangga, di kampusnya, Kamis (5/7).
Alhasil, masyarakat Jawa Timur kemudian mencari referensi politik. Kini bagi kalangan santri sekalipun, arahan kiai bukan lagi satu-satunya rujukan dalam menentukan pilihan politik.
“Mereka menghormati kiai. Tapi ketika masuk ke pilihan politik, pengaruh kiai itu lepas. Banyak warga yang menentukan pilihan sendiri secara independen,” kata sosiolog Universitas Airlangga, Novri Susan, kepada kumparan.
Jawa Timur, Perempuan, Pilkada (Foto: Basith Subastian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Jawa Timur, Perempuan, Pilkada (Foto: Basith Subastian/kumparan)
Independensi masyarakat Jawa Timur antara lain terbentuk karena kemudahan akses informasi. Semisal, rekam jejak kandidat yang mudah dicari. Semua informasi tersebut diolah dan dianalisis oleh masyarakat, hingga akhirnya membentuk mereka menjadi pemilih rasional.
“Masyarakat yang bisa mengakses langsung--one way--informasi lewat interaksi media sosial ini meruntuhkan hubungan tradisional,” ujar Suko Widodo.
ADVERTISEMENT
Hal itu diamini Abdus Sair, dosen sosiologi Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. Interaksi media itulah, ujarnya, yang menggeser tradisi Bhapa’ Bhabu’ Guru Rato di Madura dan daerah Tapal Kuda (timur Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Jember, Situbondo, Bondowoso, Banyuwangi).
Bhapa’ Bhabu’ Guru Rato, jelas Sair, ialah hierarki tradisional Madura yang biasa digunakan untuk menentukan pilihan. “Pertama, bapak (bhapa’); kedua, ibu (bhabu’); ketiga, kiai (guru); keempat, ratu (rato) yang pengertian lokalnya adalah kepala daerah.”
“Jadi kalau hendak memilih calon, bapak dulu yang dimintai pendapat, lalu ibu. Kalau tidak ada bapak dan ibu, ke kiai. Setelah kiai baru ke pemerintah lokal,” kata Sair, Selasa (3/7).
Tapi itu dulu. “Adat itu sekarang bergeser karena media. Masyarakat bisa membaca informasi langsung di mana-mana dan itu mempengaruhi mereka.”
ADVERTISEMENT
Hal lain yang perlu dicatat ialah, meski dukungan suara untuk para kandidat berasal dari basis-basis pesantren di Jawa Timur, “Tidak ada kontestan yang menjadikan masjid sebagai arena politik,” tutur Airlangga.
Habis perang, terbitlah tenang.
Perbedaan pendapat antarsesama Nahdliyin tak membuat mereka terbelah berlarut-larut. Mekanisme kultural NU membuat mereka dapat memilah secara rasional, mana momentum politik dan keagamaan.
“Ketika hasil pilkada sudah keluar, para kiai yang mendukung Gus Ipul tidak lantas berjarak dengan Khofifah. Khofifah juga merangkul, dan kiainya membuka diri, sehingga konflik politik tidak berlanjut usai perhelatan elektoral,” kata Fahrul Muzaqqi.
ADVERTISEMENT
Khofifah bukan perempuan pertama yang memenangi pemilihan kepala daerah di Jawa Timur. Namun dia yang pertama di tingkat provinsi.
Sepuluh perempuan pemimpin di Jawa Timur ia harapkan dapat berdampak signifikan dalam mengubah persepsi negatif sebagian masyarakat tentang politik.
“Partisipasi perempuan bisa membuat performa politik lebih lembut dan ramah kepada masyarakat, agar pandangan bahwa politik itu keras bisa tereduksi,” kata Khofifah kepada kumparan di kediamannya, Jemursari, Surabaya.
Pemimpin perempuan, menurut Masruroh, mestinya memang punya kelebihan yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat. Misalnya, “Punya rasa lebih halus, kasih sayang lebih kental, dan iba lebih banyak.”
Pemimpin perempuan memang punya kelebihan masing-masing. Sair mencontohkan Bupati Jember Faida yang bisa berperan sebagai pengikat persatuan ketika meresmikan Gereja Katolik Santo Yusuf di kota santri itu, awal Juni di bulan Ramadhan, sembari berbuka puasa bersama di gereja tersebut.
ADVERTISEMENT
“Jember dulu kan agak resisten dengan Katolik, Kristen. Tapi Bu Ida bergerak masuk mengurusi soal toleransi ini. Ini kan bagus,” kata Sair yang mengantongi gelar sarjana dari Universitas Jember.
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini pun selama ini dikenal dapat berkomunikasi baik dengan publik, dan memiliki program-program kerja efektif yang terkait langsung dengan kebutuhan dasar publik.
“Pemimpin lokal yang punya kinerja bagus pasti dilihat. Itu membangun persepsi bahwa pemimpin perempuan juga bisa dan bagus,” ujar Sair.
Jawa adalah kunci.
Kemenangan Khofifah di Jawa Timur, menurut Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini, tak bisa dipandang sebelah mata. “Sebanyak 30 juta pemilih di Jawa Timur itu (di luar negeri) bisa setara dengan satu negara.”
ADVERTISEMENT
Kemampuan perempuan menaklukkan panggung politik lokal, ujar Titi, bisa jadi modal untuk merambah panggung politik nasional, seperti juga yang selama ini dilakukan oleh para kepala daerah lelaki. Walau dalam kasus Khofifah, ia eksis lebih dulu di tingkat nasional.
Jawa Timur sepantasnya jadi barometer baru perpolitikan nasional.
------------------------
Simak rangkaian laporan mendalam Perempuan Penguasa Timur Jawa di Liputan Khusus kumparan.