Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Jaksa Agung ST Burhanuddin menyebut tragedi Semanggi I dan Semanggi II bukan termasuk pelanggaran HAM berat. Pernyataan itu ia sampaikan dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR RI, Kamis (16/1).
ADVERTISEMENT
"Peristiwa Semanggi 1 dan Semanggi 2 telah ada hasil rapat paripurna DPR RI yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat," kata Burhanuddin.
Burhanuddin tak merinci kapan rapat paripurna itu digelar. Yang jelas, pernyataan Jaksa Agung itu jauh berbeda dengan kesimpulan Komnas HAM soal Tragedi Semanggi.
Dalam Jurnal HAM (2016) yang diterbitkan Komnas HAM, misalnya, disebutkan bahwa Tragedi Semanggi merupakan satu dari 10 pelanggaran HAM berat yang dilakukan negara.
Lantas, bagaimana mendefinisikan suatu peristiwa sebagai pelanggaran HAM berat?
Kembali ke Statuta Roma
Statuta Roma merupakan traktat berdirinya Mahkamah Pidana Internasional. Statuta itu dihasilkan pada 17 Juli 1998 dalam konferensi diplomatik PBB di Roma, Italia. Definisi pelanggaran HAM berat ada di dalam statuta tersebut.
Berdasarkan Pasal 5 Statuta Roma, disebutkan bahwa ada empat jenis pelanggaran HAM berat yang menjadi perhatian dunia, yaitu:
ADVERTISEMENT
-Genocide (genosida)
-Crime Againts Humanity (kejahatan terhadap kemanusiaan)
-War crimes (Kejahatan Perang)
-Aggression (kejahatan Agresi)
Dari empat jenis pelanggaran HAM berat itu, kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan pelanggaran HAM yang dilakukan negara ke masyarakat sipil. Dalam pasal 7 disebutkan ada 11 macam kejahatan terhadap kemanusiaan, yaitu:
(a) Pembunuhan
(b) Pemusnahan;
(c) Perbudakan;
(D) Deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa;
(e) Pemenjaraan atau perampasan kebebasan fisik berat lainnya yang melanggar aturan dasar hukum internasional;
(f) Penyiksaan;
(g) Pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran paksa, kehamilan paksa, sterilisasi paksa, atau segala bentuk kekerasan seksual lainnya dengan gravitasi yang sebanding;
(h) Penganiayaan terhadap kelompok atau kolektivitas apa pun yang dapat diidentifikasi tentang politik, ras, nasional, etnis, budaya, agama, jenis kelamin sebagaimana didefinisikan dalam ayat 3, atau alasan lain yang secara universal diakui tidak diizinkan berdasarkan hukum internasional, sehubungan dengan tindakan apa pun yang disebut dalam paragraf ini atau kejahatan apa pun dalam yurisdiksi Pengadilan;
ADVERTISEMENT
(i) Penghilangan orang secara paksa;
(j) Kejahatan apartheid;
(k) Tindakan tidak manusiawi lainnya dari karakter serupa yang dengan sengaja menyebabkan penderitaan hebat, atau cedera serius pada tubuh atau kesehatan mental atau fisik.
Indonesia telah mengadopsi poin-poin Statuta Roma itu dalam Pasal 42 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Tragedi Semanggi dan Kejahatan Kemanusiaan
Tragedi Semanggi I terjadi pada 11-13 November 1998. Peristiwa tersebut merupakan buntut dari demonstrasi berdarah yang terjadi di Semanggi, Jakarta Selatan. Kala itu, mahasiswa menolak Sidang Istimewa MPR 1998. Mereka tak percaya pemerintahan B.J Habibie dan menolak dwifungsi ABRI.
Berdasarkan catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) , ada 18 warga sipil yang tewas dalam insiden berdarah itu. Tujuh di antaranya adalah mahasiswa yang berasal dari perguruan tinggi di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Tragedi Semanggi II terjadi pada 24 September 1999. Mahasiswa menentang Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB). Satu mahasiswa dari Universitas Indonesia, Yun Hap, tewas tertembak di depan Universitas Atma Jaya.
Dalam dua tragedi tersebut, KontraS mencatat bahwa TNI-Polri dikerahkan untuk menghalau massa. Kedua institusi itu tak saja dipersenjatai dengan peralatan berat untuk perang, tetapi juga mengerahkan Pamswakarsa yang dipersenjatai dengan bambu runcing.
Berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM, disebutkan bahwa kasus Semanggi I dan Semanggi II merupakan praktik Kejahatan Terhadap kemanusiaan (Crime Against Humanity). Yakni, praktik pembunuhan, perbuatan tidak berperikemanusiaan yang berlangsung secara sistematik, meluas dan ditujukan pada warga sipil. Sebanyak 50 orang perwira diduga terlibat Pelanggaran HAM Berat.
ADVERTISEMENT
Penyelidikan itu dimulai pada tahun 2001. Hasilnya penyelidikan itu diserahkan kepada Kejaksaan Agung untuk dilakukan penyidikan pada April 2002. Namun, Kejaksaan Agung menolaknya dengan alasan bahwa kasus itu sudah selesai di pengadilan militer. Terbaru, Jaksa Agung menyebut Tragedi Semanggi bukan kejahatan HAM berat.
Wewenang Menentukan Pelanggaran HAM Berat
DPR pernah membentuk Pansus Trisakti, Semanggi I dan II (TSS) atas desakan mahasiswa dan keluarga korban pada tahun 2000. Setahun kemudian, Pansus menyimpulkan bahwa tidak terjadi pelanggaran HAM berat dalam ketiga kasus tersebut. Pansus juga merekomendasikan penyelesaian melalui jalur pengadilan umum dan pengadilan militer.
Kesimpulan DPR itu pun menuai polemik. UU Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM pun sempat digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam amar putusan MK No. 18/PUU-V/2007, MK menegaskan bahwa bahwa terjadi atau tidak terjadinya pelanggaran HAM berat ditentukan oleh dua lembaga Yakni, Komnas HAM sebagai lembaga penyelidik dan Kejaksaan sebagai lembaga penyidik.
ADVERTISEMENT
Ditegaskan bahwa pelanggaran HAM berat tidak bisa ditentukan atas dugaan DPR sebagaimana yang dilakukan oleh pansus tersebut. Kini persoalannya, antara Komnas HAM dan Kejaksaan berbeda pandangan soal tragedi Semanggi.