Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
ADVERTISEMENT
Orang-orang yang tinggal—dan pernah tinggal—di Jakarta bisa jadi mengenal Blok M sebagai tempat nongkrong gaul dan surga kuliner Asia. Tapi siapa sangka, di balik ingar-bingar Blok M, tersembunyi surga buku antik yang mungkin tak banyak orang tahu?
ADVERTISEMENT
Saya jadi ingat, suatu hari Ayah pernah bercerita tentang petualangannya berburu buku di Blok M. Dan hari ini, dengan berbekal petunjuk dari sebuah utas di Twitter, saya berkesempatan mengulang kembali perburuan itu.
Perjalanan saya dimulai dari depan Pintu Mutiara 2 Blok M Square. Turun satu lantai melalui tangga di depan lobi, saya masih harus turun sekali lagi dengan eskalator untuk sampai di tempat surga itu berada.
Nah, di sinilah keserunnya dimulai. Meski sudah sampai di lantai tersebut, tak ada jaminan Anda akan langsung menemukan surga yang hilang itu. Yang ada, Anda malah akan terjebak di tengah penjual-penjual buku re-produksi (repro), alias bukan versi originalnya. Saran saya sih, begitu turun dari eskalator, langsung saja berjalan ke kanan sampai ujung. Kalau sudah mentok, baru Anda akan menemukan banyak lapak jual buku bekas asli, bukan bajakan.
ADVERTISEMENT
Meski sama-sama buku, tapi lebih baik yang asli kan, ketimbang yang palsu?
Buku Bekas, Buku Re-produksi, dan Buku Antik
Ada beberapa perbedaan mentereng antara buku bekas, buku reproduksi, dan buku antik di sana. Buku bekas bisa dilihat dari kondisi halaman dan sampulnya. Jika kertasnya sudah terlihat menguning dan rapuh, dapat dipastikan itu adalah buku bekas.
Buku-buku bekas ini biasanya akan dibungkus plastik sampul bening. Tapi meski dibungkus, jangan ragu untuk meminta izin ke penjualnya buat sekadar memegang dan membuka plastik pelapis agar bisa melihat isinya. Bahkan tak sedikit penjual yang justru mendorong kita untuk buka plastiknya. Pak Nelson misalnya. Di lapak yang diberinya nama Sania Bookstore itu saya membeli buku "Sandition" dari Jane Austen.
Menariknya dari buku bekas, tak jarang setelah plastik pembungkus dibuka melihat-lihat isinya. Kita bisa menemukan tanda yang ditinggalkan dari pemilik sebelumnya. Di buku yang saya beli itu, bahkan ada cap "Badan Komunikasi Internasional Kedutaan Besar Amerika" di halaman pertama.
Saya juga mengunjungi toko lainnya, Buku Lagi, milik Abang Pandi. Di sana saya kembali melabuhkan hati pada karya Jane Austen. Kali ini buku yang saya beli adalah "Pride and Prejudice".
ADVERTISEMENT
Buku yang saya beli ini adalah edisi cetakan yang disertai gambar ilustrasi. Setelah membuka sampul depan, di halaman pembatas saya menemukan catatan dari pemilik sebelumnya.
Tulisan ini membuat hati saya tergelitik. Memang terkadang catatan-catatan kaki dari mantan pemilik membuat buku bekas jadi punya rasa tersendiri. Saya jadi penasaran, bagimana nasib Hanna dan Bhisma hari ini, dan mengapa kado istimewa ini bisa berakhir di sini.
Buku re-produksi alias buku "bajakan" lebih mudah lagi dikenali. Kebanyakan buku yang direproduksi adalah buku-buku best seller atau buku populer. Hampir sama dengan buku bekas, buku repro yang dijual di Blok M biasanya juga dilapisi plastik bening. Bedanya, plastik buku repro terlihat lebih rapi dan jernih. Tak ada tanda bolak-balik dibuka.
ADVERTISEMENT
Hal itu erat dengan panduan lain yang bisa diterapkan untuk mengenali buku repro, yakni kualitas cetakannya. Biasanya cetakan di buku repro warnanya lebih pudar, atau ada komposisi tak proporsional di sampulnya yang tidak sesuai dengan versi aslinya. Misalnya, gambarnya agak miring, tulisan judulnya kekecilan sampai ada tempat kosong karena sampulnya yang tidak di tengah.
Saat dibuka pun, perbedaan kualitasnya akan terasa. Buku yang asli biasanya dicetak di atas book paper yang lebih tipis dan warnanya cenderung krem. Sedangkan di buku repro, biasanya kertas yang digunakan hanya HVS biasa.
Saya kurang menyarankan mencari buku best seller baru di sana. Memang terkadang harganya lebih miring, tapi membeli buku cetakan asli adalah salah satu bentuk apresiasi kepada penulisnya, bukan?
Nah, yang terakhir, buku antik. Ini sedikit unik karena biasanya buku-buku antik ini adalah buku dengan judul klasik versi cetakan awal. Untuk bisa menemukan buku itu, sangat disarankan Anda sudah tahu pasti judul buku yang ingin dicari. Kalau tidak, Anda mungkin akan kesulitan mencarinya karena kebanyakan buku antik tidak dipajang.
ADVERTISEMENT
Toko Wondry Book misalnya. Penjualnya lebih memilih menjajakan cetakan awal buku Pramoedya Ananta Toer di online store. Alasannya sederhana: agar tidak diambil sesama pedagang di sana.
"Ini cetakan pertama yang mula-mula. Kalau kita taruh di sini, enggak enak kalau [ada] tetangga [lapak] ambil, apa teman. [Kalau] dikasih enggak enak, tapi kalau enggak dikasih juga enggak enak. Kalau yang antik banget kan pasti susah [nyarinya]," jelasnya.
Bukan apa-apa, buku antik atau buku cetakan awal ini memang langka dan harganya bisa gila-gilaan. Meski "cuma" buku bekas, tapi harganya bisa mencapai jutaan rupiah. Salah satu buku Pram yang dijual Wondry Book, misalnya, laku dengan harga Rp 3 juta!
Tips terakhir, agar hemat waktu sebaiknya bertanya dulu ke si pedagang, apakah ia memiliki buku antik yang kita incar. Tak perlu ragu, sebab mereka biasanya sudah hafal dengan buku-buku antik yang mereka punya.
ADVERTISEMENT
"Tahu, kan setiap beli buku itukan kan kita lihat karangan siapa, ini termasuk novel klasik dari siapa. Karangan Jane Austen atau si Charles Dickens kah. Inggris, bahasa inggris atau tidak," bangga Nelson, pemilik lapak Sania Bookstore.
Surga buku Blok M ini sesungguhnya bukan hal baru. Cerita tentangnya bahkan sudah jadi semacam legacy yang diturunkan turun temurun. Meski sempat terpukul pandemi, tapi ia masih bertahan hingga hari ini, dan semoga hingga anak-cucu kita nanti.