Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Kalau Anda jengah dengan ruwetnya hidup ibu kota, bolehlah sekali-kali mampir kemari. Ke Rabak, Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
ADVERTISEMENT
“Enak tempatnya. Masih seger. Sejuk,” kata Nesih, Kepala Sekolah SD Negeri Rabak 01, Rumpin.
Nesih merasakan kesejukan itu hampir setiap hari. Siswa-siswinya pun demikian. Sekolah yang berada di punggung Gunung Suling tersebut memang masih sangat asri.
Saking sejuk, para siswa beberapa kelas di SD tersebut memilih untuk belajar di luar kelas.
Sejujurnya itu semua bukan pilihan.
Beberapa siswa sekolah tersebut terpaksa melaksanakan kegiatan belajar-mengajar di luar kelas karena ruangan yang ada tak mampu menampung jumlah siswa.
Siswa dan siswi SD Negeri Rabak 01 terbagi menjadi dua tempat. Sekolah induk berada di Kampung Bungaok, sedangkan Bangunan Atas yang menjadi tempat siswa kelas 1 dan 2 belajar berada di Kampung Hanihung, 500 meter jaraknya dari bangunan induk.
ADVERTISEMENT
“Jadi yang Bangunan Atas itu tempat anak kelas 1 dan 2. Gak cukup kalau harus ke Bangunan Induk semua. Tapi kalau musim hujan, anak-anak dari kelas 3 dan kelas 4 ya di sana,” ucap Nesih kepada kumparan, Selasa, (31/1).
Jika hari hujan, pengajaran untuk siswa kelas 3 dilakukan terpisah. Ada yang tetap di Bangunan Induk, namun ada yang harus bersama kelas 1 dan 2 menempati Bangunan Atas.
“Kalau turun kan jauh. Jalannya licin, kasihan anak-anak,” lanjutnya.
Kondisi bangunan atas tak bisa dibilang mewah. Disebut memadai pun harus sembari menghela napas.
Sebanyak 42 anak --7 dari kelas 1 dan 35 dari kelas 2-- setiap hari harus beradu kantuk di bangunan semipermanen yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu. Belum lagi atapnya yang jebol dan berlubang. Kita tak pernah tahu apa yang bisa jatuh dari kolong gelap tersebut.
ADVERTISEMENT
Kondisi tersebut bukan sehari-dua hari. Nesih menyebut sudah dua tahun para siswa harus belajar dalam kondisi yang sulit. Sudah begitu, bangunan tersebut pun ternyata bukan milik sekolah, namun hibah dari warga.
“Itu rumah warga di sana yang enggak ditempati. Rumah kosong. Sama Pak RT dibuatkan bangku yang pendek-pendek,” Nesih menjelaskan kondisi kelas gubuk tersebut.
Ia juga menjelaskan bahwa proposal pembangunan gedung permanen telah diajukan sejak tahun lalu. Namun karena terkendala ijin tanah yang digunakan, pembangunan kemungkinan baru bisa dimulai tahun 2018.
“Ya kalau bisa sih secepatnya. Tahun 2017 ya pinginnya,” lanjutnya.
SD tersebut memiliki 451 siswa. Dari ratusan siswa tersebut, hanya ada 15 guru yang mengasuh. Itupun hanya 2 orang yang berstatus sebagai guru PNS. 12 lainnya adalah guru honorer.
ADVERTISEMENT
Setiap hari, ada dua guru yang berangkat dari sekolah induk menuju Bangunan Atas untuk mengajar kelas 1 dan kelas 2.
“Cuma dua orang yang sanggup ke sana. Jauh, harus naik motor. Apalagi kalau musim hujan begini,” tutup Nesih.