Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Sandiaga Uno pantas memendam khawatir usai blusukan di Desa Kalikuto, Kecamatan Grabag, Magelang, Jawa Tengah, Sabtu (1/12). Sejumlah warga tak mengenalnya sebagai calon wakil presiden untuk Pilpres 2019 . Mereka hanya mengenal nama Joko Widodo.
ADVERTISEMENT
Padahal Desa Kalikuto hanya terpaut sekitar 12 kilometer dari resor miliknya, MesaStila, di Desa Losari, tetangga Kalikuto. Resor mewah ini tak hanya mencakup penginapan, tapi juga lahan seluas 22 hektare, dengan 11 hektare di dalamnya berupa kebun kopi.
Bila Sandi tak dikenal sebagai cawapres, setidaknya warga mengenal dia sebagai pemilik resor tua dan bersejarah. Tapi tidak juga. Ini jelas kabar buruk.
Resor MesaStila berawal dari perkebunan kopi milik seorang Belanda bernama Gustav van der Swan yang dibangun tahun 1920. Kepemilikan perkebunan sempat berpindah ke tangan HOS Tjokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam, tapi kemudian diambil alih orang Italia bernama Gabriella Tagia. Sandiaga adalah tuan tanah terakhir resor itu.
“(Ketidakterkenalan saya) ini membuat saya ingin lebih kerja keras lagi, makin memperbanyak kunjungan ke pelosok desa,” ucap Sandi awal Desember itu.
ADVERTISEMENT
Keresahan Sandi tumpah di hadapan Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi sesaat setelah ia blusukan ke sekitar MesaStila. Di resor itu, digelar rapat yang antara lain dihadiri Direktur Materi Debat dan Kampanye Sudirman Said, Ketua Gerindra Jawa Tengah Abdul Wachid, dan perwakilan partai pendukung Prabowo-Sandi.
Di Magelang yang berbatasan dengan Semarang dan Yogyakarta itu, mereka meyakini tengah berada di medan kampanye terberat, kandang banteng―Jawa Tengah.
Pula, Sandiaga tak hanya sekali berhadapan dengan warga Jawa Tengah yang tak mengenalnya sama sekali. Ia pernah mengalami hal serupa kala bertandang ke pasar di Brebes pada 27 Oktober 2018. Betul-betul situasi buruk.
Jawa Tengah sejak lama menjadi basis massa merah―kelompok nasionalis yang jadi mesin penggerak utama bagi kemenangan Jokowi di Pemilu 2014. Saat itu, Prabowo hanya mampu beroleh 33,35 persen suara di Jateng menghadapi Jokowi.
ADVERTISEMENT
Tapi, menurut Sudirman Said yang menjabat Direktur Materi Debat Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi, bukan berarti Jawa Tengah tak dapat ditaklukkan.
Sudirman punya perhitungan sendiri dari pengalamannya menghadapi Ganjar Pranowo-Taj Yasin pada Pemilihan Gubernur Jawa Tengah pada Juni 2018. Saat itu, ia berpasangan dengan Ida Fauziyah―politikus PKB dan Ketua Umum Fatayat NU. Mereka disokong Gerindra, PKB, PKS, dan PAN―dan cukup diremehkan.
Empat lembaga survei―Litbang Kompas, LSKP-LSI, SMRC, dan Indo Barometer―menjagokan Ganjar menang telak, sedangkan Sudirman-Ida diprediksi hanya akan mendapat 13 sampai 22 persen suara.
Nyatanya, meski kalah, Sudirman-Ida mengantongi 41,22 persen suara, jauh di atas semua perkiraan. Sementara Ganjar-Taj Yasin meraih 58,78 persen suara.
Selisih suara kecil antara kedua pasangan calon itu mengejutkan. Apalagi, Ganjar didukung kendaraan politik pemilik suara tradisional di Jawa Tengah seperti PDI Perjuangan, PPP, Golkar, Demokrat, plus NasDem sebagai pemain baru. Ia bahkan diprediksi bakal menang 70 persen, bukan “cuma” 58 persen.
“Pada Pilgub 2018, situasi berubah. Yang diklaim sebagai kantong-kantong suara partai tertentu, ternyata tidak terbukti,” kata Sudirman ketika berbincang dengan kumparan di rumahnya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (12/12).
ADVERTISEMENT
Waktu itu, ia pernah hanya punya kesempatan kampanye selama satu jam di Desa Gilirejo, Kecamatan Miri, Kabupaten Sragen. Itu tetap dia lakukan, karena safari politik menurutnya langkah paling efektif untuk merebut suara di kandang banteng.
“Di Kecamatan Miri itu saya menang. Padahal, persentuhannya cuma begitu singkat,” ujar Sudirman.
Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi kini memasang target 41 persen di Jawa Tengah, sama seperti angka perolehan suara Sudirman-Ida pada Pilgub Jateng 2018. Mereka merawat wilayah-wilayah yang berkontribusi pada kemenangan Sudirman seperti Purbalingga, Brebes, Kebumen, dan Tegal.
Di keempat wilayah tersebut, Sudirman merasa Prabowo sudah memiliki basis. Misal di Brebes yang banyak mendukung Sudirman sebagai putra asli daerah. Sementara Kebumen yang merupakan tempat leluhur Prabowo berasal, diklaim sebagai basis Gerindra.
Pengalaman Sudirman Said di Pilgub Jawa Tengah diyakini dapat menjadi modal berharga. Belum lagi, pasangan Prabowo-Sandi berkampanye secara efektif. Sandi dikenal lincah blusukan ke mana-mana, beda dengan Kiai Ma'ruf Amin di kubu seberang yang sudah tua sehingga tak luwes bergerak di lapangan.
ADVERTISEMENT
Kamis (13/12), misalnya, Sandi terbang ke Cilacap dan Banyumas untuk menyambangi delapan lokasi sekaligus, mulai pasar hingga tempat olahraga. Praktis sejak sebelum masa kampanye dimulai 23 September 2018, Sandi sudah berkeliling Jawa Tengah.
“Kalau dihitung, saya sudah melakukan seribu kunjungan sejak Agustus lalu,” kata Sandi saat berpidato di peluncuran kumparan Pemilupedia di Hotel Westin, Jakarta, Senin (17/12).
Di Jawa Tengah, Prabowo-Sandi juga mengandalkan imbas aksi 212. Menurut Ketua GNPF-Ulama Yusuf Martak, massa 212 memiliki basis potensial untuk mendulang suara Prabowo-Sandi di beberapa wilayah seperti Semarang, Sukoharjo, Cilacap.
Optimisme BPN Prabowo-Sandi dipandang sebelah mata oleh Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf. Direktur Program TKN Jokowi-Ma’ruf, Aria Bima, menyatakan perolehan Prabowo-Sandi di Jawa Tengah tak bakal sama dengan Pilgub 2018. Sebab, faktor pengerek suara Sudirman kala itu adalah kelompok Nahdlatul Ulama yang dibawa Ida Fauziyah. Sementara kini Ida justru berada di kubu Jokowi.
ADVERTISEMENT
“Ini pattern-nya adalah komunitas Nahdliyin. Sudirman Said tidak punya pattern, Mbak Ida pattern-nya adalah NU, PKB, dan Nahdliyin,” kata Aria Bima kepada kumparan di pos pemenangan Jokowi, Posko Cemara di Jakarta Pusat.
Ucapan tersebut diamini Ketua DPW PKB Jawa Tengah, Yusuf Chudlori atau Gus Yusuf. Ia, saat Pilgub Jateng 2018, ikut mengunjungi basis suara Nahdliyin di Brebes, Tegal, Kebumen, Magelang, dan Wonosobo secara rutin.
Kini Gus Yusuf, seperti Ida, duduk di barisan pendukung Jokowi, dan mengatakan telah membentengi daerah-daerah itu untuk Jokowi-Ma’ruf.
“Jadi tidak bisa diklaim oleh Sudirman Said saja, karena dia itu di Jateng juga ‘orang baru’. Sementara Ida meski juga orang baru yang masuk Jateng, tetapi jaringannya bisa dikatakan lebih mapan,” ucap Gus Yusuf.
Jawa Tengah menawarkan ceruk suara menggiurkan dengan memiliki hampir 28 juta orang di Daftar Pemilih Tetap. Jumlah itu tersebar dalam 10 daerah pemilihan di 35 kota dan kabupaten di provinsi itu. Jateng menduduki tiga besar suara nasional bersama Jawa Barat dan Jawa Timur.
ADVERTISEMENT
Masyarakat Jawa Tengah diyakini Aria Bima dan Gus Yusuf masih kokoh pada jaringan tradisional yang telah terbentuk lama, yakni politik aliran. Daerah itu didominasi kelompok abangan dan santri. Kelompok priyayi abangan mayoritas diwakili PDIP, kemudian Golkar dan Demokrat. Sementara suara kalangan santri terbagi ke PKB dan PPP.
Peta politik Jateng itu tak berubah sejak Pemilu 1955, saat PNI menang di 21 kabupaten/kota, dan kelompok abangan lain yaitu PKI menang di 12 kabupaten/kota. Di Jawa Tengah kala itu, satu-satunya kelompok Islam yang berhasil meraup suara yaitu NU yang menang di 4 kabupaten/kota. Sementara Masyumi yang saat itu partai politik Islam terbesar di Indonesia, tak dapat suara sama sekali di sana.
Oleh sebab itu, Aria Bima yakin pemetaan tradisional itu tak bakal memberi ruang bagi Gerindra, PKS, PAN, dan Demokrat yang merupakan tulang punggung Prabowo-Sandi. Ruang mereka tertutup ia yakini tertutup basis tradisional masyarakat Jateng.
ADVERTISEMENT
“Melihat kecenderungan-kecenderungan dan potensi politik aliran di Jateng yang cukup tinggi, Prabowo-Sandi hanya akan mendapat dukungan sangat kuat dari pemilih Gerindra dan PKS,” imbuh Bima.
Ia mungkin tak berlebihan. Pemilu Legislatif menunjukkan betapa Jawa Tengah memang benar-benar kandang banteng. Pada Pileg 2014, misalnya, PDIP meraih 31 kursi dari total 100 kursi di DPRD Provinsi Jateng. Sedangkan di DPR RI, PDIP menyumbang 18 dari 76 legislator asal Jateng.
Kekuatan di eksekutif lokal juga didominasi kader banteng. Selain Ganjar sebagai gubernur, 19 dari total 35 bupati dan wali kota di Jateng adalah kader atau tokoh yang didukung PDIP.
Sepak terjang PDIP di Jawa Tengah relatif stabil dari masa ke masa. Puncak popularitas Susilo Bambang Yudhoyono dan Partai Demokrat pada 2009 juga tak berlaku di Pileg Jateng. Saat itu, PDIP tetap panen suara di Jateng dengan perolehan 23 kursi di DPRD Provinsi Jateng, dibanding Demokrat yang mendapat 16 kursi.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, dukungan PPP ke Jokowi dianggap kian menutup peluang Prabowo-Sandi untuk menguasai Jawa Tengah. Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf bahkan telah mematok 75 persen suara di Jateng.
Menurut Ketua DPD PDIP Jateng Bambang Wuryanto, modal elektabilitas partainya di provinsi itu berdasarkan survei internal mencapai 30 persen, sedangkan modal elektabilitas Jokowi sendiri hingga 70 persen.
“Jadi jika Prabowo-Sandi akan membuat pos tempur di Jateng, kami siap berhadapan ,” kata dia.
------------------------
Simak pertempuran kedua kubu di tengah Jawa di Liputan Khusus kumparan: Markas Prabowo di Tanah Jokowi
ADVERTISEMENT