Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Bau busuk menguar bersama terik mentari di kolam penampungan lumpur tinja PD PAL, Duri Kosambi, Jakarta Barat. Bau itu sungguh tak tertahankan, menyengat hidung hingga terasa pahit di mulut.
ADVERTISEMENT
Di tengah kepungan udara beraroma tengik itu, Alan tersenyum. Pekerja 30 tahun itu tengah mengoperasikan teknologi pengolah limbah PAL-Andrich Tech System. Sehari-hari, ia terbiasa mengurusi kotoran manusia.
“Rezekinya di sini,” kata Alan saat bertemu kumparan di lokasi kerjanya, Kamis (31/4).
Ia berjibaku dengan bau tinja sejak pukul 08.00 pagi sampai 16.00 sore. Sepanjang waktu itu, ia menyaksikan truk-truk sedot WC hilir mudik menyalurkan lumpur tinja manusia.
Setiap hari, menurut Koordinator Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja PD PAL Romel Sitompul, setidaknya terdapat 150 truk yang menjual tinja manusia ke PD PAL Jaya. Jumlah itu belum ideal, masih separuh dari yang seharusnya, yakni 300 truk per hari.
Untuk satu kubik tinja yang disetor ke IPLT, perusahaan milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tersebut membayar Rp 27 ribu.
Jasa pengangkutan tinja menjadi salah satu cara pendistribusian limbah domestik. Tapi sebetulnya, mekanisme ideal pengolahan air limbah adalah lewat sambungan pipa. Apa boleh buat, jaringan pipa limbah PD PAL di ibu kota hanya 12 persen dari total wilayah.
ADVERTISEMENT
Mayoritas limbah domestik Jakarta, kata Romel kepada kumparan, justru dibuang ke sumber-sumber air seperti sungai, jika tidak dibiarkan mengendap di septic tank. Akibatnya, sumber air di ibu kota jadi tercemar.
Ucapan Romel bukan isapan jempol. Menurut pakar bioteknologi lingkungan Universitas Indonesia, Firdaus Ali, seluruh sumber air di Jakarta yang terdiri dari 13 sungai, 76 anak sungai, serta 41 danau dan waduk, tidak ada yang memenuhi standar baku mutu untuk dijadikan air baku (air bersih untuk minum rumah tangga).
Sebanyak 87 persen air sumur dangkal di Jakarta, ujar Firdaus, terkontaminasi limbah domestik akibat tata kelola sanitasi yang buruk dan penegakan hukum yang lemah soal pembuangan limbah.
Alhasil, tingkat water security (kemampuan kota menyediakan air bersih bagi warganya tanpa tergantung secara politis dan geografis dari luar kawasan) Jakarta hanya 4 persen.
ADVERTISEMENT
“Water security Jakarta terburuk untuk sebuah kota dengan penduduk di atas 5 juta jiwa. Apalagi ibu kota negara dengan populasi terbanyak nomor empat di dunia itu Jakarta,” kata Firdaus yang juga Staf Khusus Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Sampai saat ini, 82 persen pasokan air baku ke Jakarta--yang dihuni sekitar 10 juta jiwa--bergantung pada Sungai Citarum, sedangkan 16 persen lainnya bergantung dari sumber air di Tangerang.
Padahal untuk ukuran kota sebesar Jakarta, ia mestinya punya sistem gorong-gorong terpadu untuk mengalirkan buangan limbah ke satu lokasi pengolahan air limbah. Tapi, ujar Firdaus, sudah terlambat untuk membangun sistem semacam itu di Jakarta.
Alternatifnya, imbuh Firdaus, ialah dengan mengolah air limbah menjadi air bersih yang tak hanya layak buang, tapi juga bisa digunakan untuk kehidupan sehari-hari, bahkan untuk diminum.
ADVERTISEMENT
“Membayangkannya saja aku geli,” kata Nadia, perempuan 24 tahun yang tinggal di Tomang, Jakarta Barat.
Rasa geli menggelitik Nadia setelah ia membayangkan minum air olahan tinja. Pun meski ia tahu Jakarta kerap bermasalah dengan kesediaan air bersih, meminum air kotoran sendiri--biar sudah diolah jadi bersih sekali pun--benar-benar tak terpikirkan.
Nadia lebih memilih minum produk olahan air lain, misalnya air laut, ketimbang mengaliri tenggorokannya dengan air bersih hasil olahan kotoran manusia. Ia juga enggan menggunakan air bersih hasil olahan tinja itu untuk sekadar mandi atau mencuci pakaian.
“Aku bayanginnya itu kan najis. Aku nggak tahu apa itu bisa jadi suci. Nggak mau pake, deh,” kata Nadia.
Senada, Hesti juga bergidik mendengar wacana minum air olahan Tinja. Bagi warga Lebak Bulus, Jakarta Selatan itu, ‘seruan’ untuk meminum air olahan tinja terdengar seperti ajakan meminum racun.
ADVERTISEMENT
“Ini kayak another crazy idea. Emangnya beneran rela membiarkan warga minum ‘air tinja’?” ujar perempuan 23 tahun itu.
Tapi, Hesti tak sepenuhnya menolak. Kalau, misalnya, krisis air bersih melanda Jakarta dan opsi yang tersedia adalah menggunakan air hasil saringan dan olahan tinja, ia bersedia--meski berat hati--memakainya untuk mandi.
“Setidaknya kalau buat mandi, kan masih ada sabun (sebagai alat pembersih),” ujar Hesti.
Adalah Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno yang membuat obrolan soal “meminum air olahan tinja” berdengung. Sandi, saat meresmikan alat pengolah limbah PAL-Adrich Tech-System di IPLT PD PAL, Duri Kosambi, mengatakan air hasil olahan tinja dari teknologi tersebut sudah layak minum.
“Yang biasanya memakan waktu tujuh hari dan menjadi air buangan, ini dalam waktu setengah jam bisa menjadi air yang bisa diutilitas. Malah sebetulnya layak diminum ,” ujar Sandi, terdengar serius.
ADVERTISEMENT
PD PAL Jaya kemudian membantah ucapan Sandi. Direktur Umum PD PAL Jaya, Subekti, menegaskan air bersih hasil olahan PAL-Adrich Tech System bukan untuk diminum.
“Banyak yang salah kaprah. Bukan air minum, tapi air bersih. Bisa untuk cuci mobil, siram tanaman, dan sebagainya. Kalau (untuk) air minum harus ada pengujian terlebih dahulu,” ucap Subekti.
Sandi pun mengakui selip lidahnya, dan mengatakan air olahan itu memang bukan untuk diminum. Namun, air tersebut dapat digunakan untuk menyiram tanaman, mencuci mobil, atau menyiram toilet.
Sementara penggunaan air hasil olahan limbah untuk mandi, menurut Sandi, masih perlu kajian Majelis Ulama Indonesia.
“Air tersebut adalah air yang bisa dipakai untuk berbagai utilitas, tapi bukan untuk diminum,” kata Sandi, Jumat (1/6).
ADVERTISEMENT
Namun, salah satu penemu PAL-Adrich Tech System, Andri Oba, yakin alatnya memang bisa menjadi sumber air minum termutakhir. Menurut Andri, air hasil olahan mesin ciptaannya lebih bersih dari air Kalimalang di Jakarta Timur.
“Otomatis ini sudah bisa disumber untuk air minum, kan,” kata dia kepada kumparan.
Kenapa air limbah? Kenapa bukan air laut?
“Karena kalau (mengolah) air laut biayanya mahal. Kalau air bekas kan satu dayung dua-tiga pulau terlewati. Kita tidak lagi membuang limbah (ke sumber air), dan kita juga mendapatkan air bersih,” kata Firdaus Ali.
Ia berpendapat, teknologi pengolahan air limbah menjadi air bersih sudah mendesak diterapkan di Jakarta, meski hal tersebut tak dengan mudah diterima masyarakat. Kendala penerimaan negatif masyarakat itu, menurut Firdaus, lambat laun akan terkikis bila air bersih di Jakarta kian langka.
ADVERTISEMENT
Namun, pengajar teknologi ilmu pertanian UGM, Wagiman, menganggap Jakarta belum memasuki tahapan krisis air, sebab kota itu masih dikelilingi sumber-sumber air baku melimpah di luar kawasannya.
Dengan demikian, menurutnya, penggunaan air olahan limbah sebagai sumber alternatif air baku belum cukup mendesak. Terlebih faktor etis jadi penghambat.
“Kalau kita mau minum dan tahu bahwa sumber bahan baku airnya itu dari tinja, mau minum juga kurang sreg. Makanya beberapa produk air mineral menonjolkan bahwa air itu diambil dari pegunungan tertentu. Itu kan untuk memberi kesan (bagus), supaya peminum merasa enak,” kata Wagiman.
Bagi negara yang menempatkan agama pada skala prioritas , urusan halal-haram selalu jadi acuan di Indonesia, termasuk soal kemungkinan warga menggunakan air olahan tinja--yang jelas berasal dari najis kotoran manusia.
ADVERTISEMENT
Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia, Salahuddin Al-Ayyubi, menyatakan MUI sudah pernah mengeluarkan fatwa terkait air daur ulang, termasuk air olahan limbah. Secara prinsipiel, ada tiga cara yang bisa digunakan untuk mengembalikan kesucian air.
Pertama, dengan membersihkan atau membuang kotoran-kotoran yang ada sehingga air jadi layak dipakai bersuci. Kedua, dengan menambah air yang lebih bersih ke dalam air kotor, sehingga volume air kotor mengecil. Ketiga, lewat penggunaan teknologi.
Setelah melalui salah satu atau seluruh proses tersebut, air yang diolah masih perlu dicek kesuciannya. Salahuddin menjelaskan, ada tiga cara untuk memastikan kesucian air. Pertama, dilihat lewat warna atau tingkat kebeningan air. Kedua, dicium lewat aroma, apakah air itu berbau busuk atau sama sekali tidak berbau. Ketiga, dicecap lewat rasanya.
ADVERTISEMENT
Bila air lolos tiga uji di atas, maka secara umum ia bisa dipakai bersuci atau digunakan untuk keperluan lain, selain untuk diminum. Untuk fungsi yang terakhir itu, perlu penelitian laboratorium lebih lanjut.
Sejauh ini, kata Salahuddin, MUI belum pernah menguji apakah air olahan tinja dapat dikonsumsi atau tidak.
------------------------
Cari tahu cara Menyulap Tinja Jakarta di Liputan Khusus kumparan.