Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Edi Sutrisno menepuk kepala gajah yang ia tunggangi. Mulutnya mendesis, meminta gajah itu untuk diam. Matanya awas menyapu rimba. Seluruh indra ia kerahkan untuk menangkap gerak sekecil apa pun di balik pepohonan.
Karnangun, nama panggilan gajah itu, menghentikan langkah dan kepak telinganya. Ia bersiaga. Ia tahu Edi mencari sesuatu, tapi jangan sampai diganggu. Telinganya menegang, sama-sama mencari “buruan”.
Selasa lalu (21/5), pasangan mahout (pawang gajah) dan gajahnya itu sedang memimpin rombongan patroli Elephant Response Unit Taman Nasional Way Kambas (ERU TNWK) yang mencari kelompok gajah liar.
Rombongan Edi terdiri dari gajah-gajah ERU dan pawang mereka. Edi sendiri adalah anggota ERU yang ditugaskan di wilayah Tegal Yoso, salah satu pusat ERU yang paling sibuk di Taman Nasional Way Kambas, Lampung Timur.
Selain Tegal Yoso, tiga kawasan penyangga ERU lainnya ialah Way Bungur, Margahayu, dan Braja Harjosari. Ketiganya berlokasi di perbatasan permukiman manusia dengan hutan dataran rendah yang dihuni sekitar 250 gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus).
Alhasil pada ketiga wilayah itu, konflik antara gajah dan manusia terbilang tinggi sehingga memerlukan pengawasan ketat.
Biasanya, gajah-gajah ERU—yang jinak dan telah dilatih di Way Kambas—akan menggiring kelompok gajah liar ke tengah rimba, menjauhkan mereka dari kawasan perkebunan, pertanian, dan permukiman warga yang berbatasan dengan TNWK.
Sebab, jika gajah-gajah liar itu sampai merangsek ke permukiman, lahan warga sudah pasti akan rusak.
Edi dan Karnangun sudah berjalan selama tiga jam dari kamp ERU Tegal Yoso, menusuk rimba taman nasional. Mereka berjalan paling depan di antara rombongan patroli.
Di belakang mereka, dua gajah dengan masing-masing pawangnya mengikuti. Keduanya adalah Gajah Karnangin dan Supri, serta Gajah Aditya dan Agung.
Tangan Edi memberi tanda, semacam bertanya apakah ada gerakan di sebelah kanan. Supri menjawab dengan anggukan. Rombongan itu lalu perlahan-lahan bergerak ke arah kanan.
Baru beberapa meter melangkah, sekelompok gajah tiba-tiba menghambur. Mereka mendengar kedatangan tim patroli, lantas berlari memencar mencari persembunyian.
Padahal, jika gajah-gajah liar itu kadung memencar, jadi sulit untuk menggiring mereka dengan “tertib” ke tengah hutan. Maka, rombongan ERU pun memilih untuk menghalau gajah-gajah itu dengan suara.
“Hoooyaaaa,” teriak Edi mencoba menggusah.
“Hoy hoy hooyyaaa,” sahut tiga pawang lainnya.
Perjalanan patroli berlanjut. Para pawang membuka jalan, menebas dahan-dahan pohon dengan golok yang tersampir di pinggang, sedangkan gajah yang mereka tunggangi dengan cermat mengikuti jejak gajah liar. Mereka masih memburu kelompok gajah liar itu.
Edi dan Karnangun sudah seperti dua sekawan. Mereka paham kemauan satu sama lain tanpa harus meneriakkan instruksi keras-keras.
Edi, misalnya, beberapa kali memapas akar gantung, lalu memberikannya pada Karnangun.
“Mau nyemil spageti? Nyoh!” kelakar Edi.
Karnangun bereaksi. Gajah berumur 30-an tahun itu mengangkat belalai, dan dengan sigap menerima akar pemberian Edi. Sang gajah dan pawangnya tampak begitu mesra.
Menjadi mahout atau pawang, bagi Edi, bukan sekadar kemampuannya untuk bisa mengarahkan gajah tunggangan, tapi juga kemahirannya mengambil hati sang gajah. Gajah dan mahout harus punya kedekatan personal.
Edi ingat saat pertama kali berpasangan dengan Karnangun pada 2007. Kala itu, badan Karnangun kurus. Maka, sesuai saran dokter dan berdasar standar pelatihan Koordinator ERU dan Forum Mahout Indonesia, Karnangun harus diberi suplemen tambahan seminggu sekali yang terdiri dari puding berisi campuran jagung giling, dedak padi, beras, gula merah, dan mineral sapi.
“(Untuk) makan harian, dia kenyang sama rumput. Tambahan suplemennya kita kasih puding campuran itu,” kata Edi.
Walau dulu berbadan kurus, Karnangun dikenal sebagai gajah angkuh. Ia keras hati, dan tak mau akrab dengan sembarang mahout. Tapi Edi justru tertantang untuk meraih hati Karnangun yang sudah lebih lama darinya tinggal di Pusat Latihan Gajah TNWK.
Edi baru bergabung di TNWK pada 1998—tahun pergantian rezim. Sementara Karnangun, namanya saja akronim dari “Golkar Menang karena Membangun”. Kasarnya, nama Karnangun merupakan produk lawas, dan ia memang sudah di TNWK sejak era Soeharto.
Edi sedari awal harus tekun untuk bisa akrab dengan Karnangun. Sebulan, dua bulan, Karnangun belum juga mau bersikap ramah.Banyak perintah yang diberikan Edi tak dituruti.
Namun mengambil hati Karnangun caranya cukup sederhana. Turuti saja kemauan gajah itu dengan konsisten. Lama-kelamaan ia akan mengerti bahwa mahout itu punya maksud baik.
“Setelah tiga bulan itu, saya bisa memahami sifat keras Karnangun, dan sampai sekarang kami berdua seperti kawan,” kata Edi bercerita kepada kumparan di sela patroli, Rabu (22/5).
Justru sikap keras ini menunjukkan Karnangun memiliki harga diri sebagai gajah jantan dewasa. Mereka pun lantas bergabung dengan ERU tahun 2011.
Dua sekawan ini menjadi penggawa pertama yang dibawa saat ERU berdiri, dan kini mereka jadi andalan di garda depan diplomasi konflik antara gajah dan manusia. Kini Karnangun selalu menekuk satu kakinya tiap Edi hendak menduduki lehernya.
Hingga kini Edi pun tak pernah lengah maupun menyepelekan gajah, terutama Karnangun. Ia terus jeli melakukan pengamatan sepanjang 21 tahun menjadi pawang.
Ia pun paham jika sudah waktunya si gajah berendam, ia akan beristirahat sejenak dari aktivitas patroli mengajak si gajah main air di rawa-rawa tengah hutan. Edi akan meminta Karnangun menyemprotkan air ke kaki penunggangnya, termasuk saya, yang sedang duduk di punggungnya.
Segarnya bukan main air rawa di tengah hutan, apalagi setelah berjam-jam berpatroli naik turun rawa, kadang masuk hutan rimbun, kadang berjalan di tengah padang gersang saat matahari terik tepat berada di atas ubun-ubun, tidak jarang melewati hutan yang habis terbakar.
Tak ayal hubungan mesra antara mahout dan gajah ini pun juga menumbuhkan rasa saling percaya. Pernah suatu ketika, mereka berpatroli dan terpisah dengan rombongan. Keduanya tengah mencari kawanan gajah liar hingga berjam-berjam sampai lupa waktu dan hari mulai gelap. Padahal Edi tidak melengkapi diri dengan senter.
Ia pun hanya mengandalkan cahaya kecil dari ponsel untuk menembus hutan, mencari jalan pulang. Herannya Karnangun terus menerus meminta untuk belok dan putar balik. Ia tidak menurut pada Edi seperti biasanya.
Edi yang sudah kebingungan karena keadaan semakin gelap akhirnya pasrah. Ia menyerahkan jalan pulang kepada Karnangun.
“Ya sudah Ngun, aku ikutin jalanmu. Ayo pulang!” kenang Edi.
“Saya nggak mau lewat sini menerabas saja lewat sini” lanjut Edi mengartikan gelagat Karnangun.
Edi hanya membantu dengan penerangan ponselnya agar tidak tersangkut. Akhirnya langkah Karnangun itulah yang mengantar mereka ke markas ERU Tegalyoso dalam beberapa menit karena saling percaya.
Semua mahout punya ikatan erat dengan gajahnya. Safari, salah satu mahout di Pusat Latihan Gajah TNWK, merasa gembira ketika gajah yang dilatihnya masih mengenalinya walau sudah dua tahun berpisah.
Saat itu Safari harus melepaskan salah satu kawan gajahnya untuk dikirim ke Kebun Binatang Ragunan, Jakarta Selatan. Dua tahun setelah itu, Safari mendapatkan undangan untuk menghadiri sebuah acara di Jakarta, Ia pun mampir ke Ragunan dan bertemu dengan gajah itu.
Cerita pengalaman hubungan mahout dan gajahnya pun berhenti menjelang sore saat patroli kembali ke Camp Tegal Yoso. Sudah hampir delapan jam Tim Patroli ERU menjelajah rimba, dari pukul delapan pagi hingga empat sore
Berpatroli di dalam kawasan hanya salah satu bagian dari tugas para mahout di ERU di siang hari. Misi menjaga kedamaian antara gajah dan manusia yang diusung oleh Nazaruddin saat memprakarsai terbentuknya ERU adalah yang utama.
Nazaruddin adalah seorang konservator gajah yang sudah mulai aktif di bidang konservasi gajah sejak tahun 1980-an. Ia pernah beberapa tahun menjadi mahout di Afrika, mengikuti beragam simposium internasional dan menjadi pembicara.
Hingga pada beberapa kesempatan, seruannya pada dunia internasional untuk membantu konservasi gajah di Indonesia direspons dengan baik oleh beberapa lembaga-lembaga konservasi.
Nazar saat ini bertanggungjawab sebagai koordinator ERU, ia juga menjabat sebagai ketua Forum Mahout Indonesia.
ERU berada di bawah Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan namun dengan dukungan dan kucuran dana dari berbagai lembaga-lembaga konservasi. Seperti Komunitas Hutan Sumatra (KHS), Asian Elephant Support, International Elephant Foundation, dan Wildlife Without Borders.
Saat bertugas, Nazar, Edi, Sulis, Supri, dan kawan-kawan ERU lainnya mesti melek saban malam. Telepon genggam selalu aktif dan terus-menerus bergetar.
Saat bulan Ramadan, mereka sahur sembari menjaga ladang, kucing-kucingan sama gajah yang ingin ‘makan enak’ di ladang warga. Berbuka puasa di atas gajah dalam perjalanan pulang selepas patroli. Hingga bertakbir di malam lebaran sambil menggusah gajah.
Jadi jika dering telepon dari penduduk desa terus memanggil dan memberi tahu bahwa rombongan gajah liar mendekat ke perbatasan pinggiran kawasan sudah terus-menerus mengincar kebun jagung petani pinggiran, maka penggawa ERU mesti bergegas.
“Ayo, ayo, ayo...Lagi pengin makan enak dia (gajah)!” seru Edi kepada timnya seraya mengenakan mantel hujan, menyambar senter, GPS, sepatu bot, dan beberapa batang petasan. Kami ikut bergegas.
Sejauh ini program ERU dinilai efektif menekan konflik gajah dan manusia. Data World Wildlife Fund menyebutkan hampir 70 persen dari habitat gajah Sumatra telah dihancurkan dalam satu generasi. Hal ini menjadi salah satu alasan utama yang mendorong gajah untuk melakukan kontak yang semakin dekat dengan manusia.
Penduduk desa banyak menjadi korban, ladang petani banyak hancur, dan termasuk kerugian gagal panen yang tidak dihitung. Tetapi gajahlah yang paling menderita karena habitat mereka menyusut.
Dalam rentang waktu 25 tahun, setengah dari gajah liar Sumatera telah musnah. Spesies ini dinyatakan sebagai spesies terancam punah pada tahun 2012. Namun belakangan statusnya berganti menjadi terancam punah untuk spesies gajah liarnya.
Ada sisa rasa khawatir ketika tim patroli berselonjor, istirahat usai patroli. Ada tiga jerat terbuat dari sling rem yang ditemukan oleh tim patroli ERU.
Jerat semacam ini sering ditemukan. Para mahout menganggap pemasangan jerat ini berkaitan dengan kebakaran hutan. Bencana itu, menurut mereka, sengaja dilakukan untuk memancing rusa keluar.
Jalur pelarian sudah dipasangi jerat. Tapi alih-alih mengenai rusa, gajah pernah menjadi korban jerat itu.
Seperti kejadian Juni 2016, Tim Patroli ERU melihat seekor anak gajah betina berusia sekitar 2-3 tahun dengan kondisi belalai putus, diduga terkena jerat pemburu. Saat itu si anak gajah masih berada dalam kelompok gajah liar.
Sebulan kemudian pada 23 Juli 2016, Tim Patroli ERU kembali bertemu dengan anak gajah ini dengan kondisi sudah ditinggal kelompoknya, kurus, lemas, dan kesulitan meraih makanan.
Gajah itu dibawa ke Rumah Sakit Gajah Prof. Dr. H. Rubini TNWK. Mahout Sukowiyono membantu pengobatan dan menangani pelatihan gajah cacat itu. Awalnya ia kesulitan menarik rumput untuk dimakan, Wiyono sering mengarit ilalang untuknya.
Luka akibat jerat itu pun lantas sembuh. Gajah itu berhasil dirawat dan diberi nama Erin. Sekarang kondisinya sudah membaik, dan bisa menggunakan belalainya yang cacat walau tetap terbatas. Dan tentu Erin belum bisa—atau tak akan bisa—kembali lagi ke rimba dan bergabung dengan keluarga.
Erin bukan hanya salah satu contoh gajah liar yang terluka parah yang diselamatkan oleh para pawang. Ada gajah-gajah lainnya yang terpaksa ditinggalkan keluarga karena luka parah.
Walau belum pernah menangkap basah pelaku, tapi tugasnya yang meliputi patroli jerat dan deteksi dini kebakaran hutan telah membuatnya belajar pola perilaku pemasang jerat.
Rimba yang tak rimbun lagi, masih saja terus digerogoti pencuri.