COVER, Lipsus Negeri Darurat Asap

Berkubang dengan Bencana Asap Menahun

23 September 2019 11:36 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Lipsus Negeri Darurat Asap. Foto: Argy Pradypta/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Lipsus Negeri Darurat Asap. Foto: Argy Pradypta/kumparan
Sejak medio 1990-an pembakaran hutan dan lahan marak terjadi. Lahan-lahan gambut yang seharusnya basah, selama bertahun-tahun dikeringkan lalu dibakar. Setelahnya, simsalabim, kebun-kebun sawit berdiri. Begitulah praktik ini terus terjadi dari waktu ke waktu.
Ekosistem gambut rusak, kesehatan warga jadi taruhan. Perusahaan dan pemerintah wajib melaksanakan pemulihan lingkungan dan taat aturan.
***
Pita kuning membentang sepanjang tiga meter di ujung hamparan lahan yang telah gosong di Desa Buantan Besar, Kabupaten Siak, Riau. Di tengah bentang pita kuning itu terpancang papan segel dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sementara 10 meter di depannya deretan pohon sawit tumbuh hijau di atas ribuan hektare lahan terpentang, selamat dari jamahan api.
Area tersebut merupakan lahan konsesi milik PT Teguh Karsa Wana Lestari. Perusahaan tersebut kini disegel oleh KLHK sebab titik panas berada di area konsesi yang seharusnya ia jaga agar tak terbakar. Tak satu pun penduduk mengetahui dari mana asal datangnya api.
“Itu siang jam satu, tiba-tiba ada api. Udah banyak itu api, gak nampak pula datangnya,” ujar warga setempat, Rusda Siregar, saat ditemui kumparan pada Kamis (19/8).
Beruntung jilatan api yang muncul sejak tengah Agustus itu tak merembet ke rumah sebab terhalang oleh parit yang hanya berjarak kurang dari 10 meter dari tempat tinggalnya. Tapi rasa waswas dan asap yang menyesakkan bagi sepasang bayi kembar miliknya membuat Rusda memilih mengungsi sementara waktu ke desa tetangga bersama ketiga anaknya yang lain.
Ketua Masyarakat Peduli Api Kecamatan Bunga Raya Ucu Sukarto meyakini betul bahwa perusahaan lah yang harus bertanggung jawab atas kebakaran hutan itu. “Aku yakin titik apinya di situ,” ucap Ucu sembari menunjuk area segel yang diduga jadi titik api kebakaran.
Setidaknya sejak kebakaran besar pada 2015, titik panas di area konsesi perusahaan ini terus bermunculan. Berdasarkan data Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), sepanjang tahun 2014 hingga 2019 ada sekitar 65 titik panas di lahan konsesi TKWL saja.
Kebakaran di lahan area konsesi TKWL bukan kali ini saja terjadi, pun bukan hanya sekarang perusahaan itu disegel. Namun hingga berita ini diturunkan pihak TKWL melalui narahubungnya tak merespons permintaan wawancara kumparan.
Asap karhutla di Riau. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Menurut Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia daerah Riau, Riko Kurniawan, kebakaran terjadi di area konsesi perusahaan itu lagi-itu lagi. “Tiap tahun terbakar terus lahannya sekarang, disegel terus tapi nggak pernah ditingkatkan statusnya jadi tersangka,” komentarnya.
Direktur Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani menegaskan bahwa penyegelan hanyalah langkah awal penindakan hukum terhadap perusahaan yang melanggar aturan perlindungan lingkungan. “Setelah kita segel, kita lakukan proses penyelidikan dalam rangka penegakkan hukum. Proses penyelidikan kita lakukan, sampai hari ini kami sudah menetapkan lima perusahaan sebagai tersangka.”
Ketika ditemui di kantornya, di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta Pusat, pada 20 September, Rasio Ridho mengatakan bahwa jumlah perusahaan yang disegel ataupun ditetapkan sebagai tersangka kemungkinan akan terus bertambah. “Kami sedang bekerja terus untuk mendalami hasil-hasil penyelidikan yang kami lakukan.”
Bagi Rasio Ridho, segel hingga tuntutan hukum seharusnya bisa memberi efek jera bagi para perusahaan pembakar hutan. “Pada tahun 2015 itu ada 63 perusahaan kami kenakan sanksi administratif, ada 3 yang kita cabut izinnya,” ucapnya. Ia juga menjelaskan ada 17 perusahaan yang kemudian digugat secara perdata, sembilan di antaranya telah divonis membayar ganti rugi dan biaya pemulihan lingkungan dengan total mencapai Rp 3,9 triliun.
Sanksi administratif, pencabutan izin, hingga gugatan pidana maupun perdata dinilai cukup sukses memberi efek jera kepada perusahaan sawit atau tanaman industri yang membakar lahan. Dalih tersebut ia kuatkan dengan data titik panas yang menurut pada 2016.
Pada 2014, total titik panas mencapai 89 ribu di seluruh Indonesia lalu menurun jadi 70.971 pada 2015. Penurunan drastis terjadi pada 2016 yang menyisakan 3.844 titik panas dan kembali turun pada 2017 jadi sebanyak 2.440. Namun pada 2018, titik panas kembali naik mencapai 9.245 lalu meningkat jadi 15.981 pada 2019.
Gambar udara kondisi asap yang menyelimuti hutan dan lahan di Riau. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Penurunan titik panas itu, selain diduga karena adanya efek jera, juga dipengaruhi oleh cuaca. Musim kemarau yang pendek dan diselingi hujan membuat lahan-lahan gambut tetap lembab. Lain halnya dengan tahun ini yang memiliki musim kemarau yang panjang nan kering.
Tapi cuaca hanya salah satu faktor saja. “Dulu itu sempat tiga tahun lalu itu helikopter selalu standby 15-17 unit di sini… sekarang kemarau kan kering, terus tim pemadaman juga sedikit timnya. Tinggal 2 helikopter,” ujar Riko.
Pelaksana Harian Kepala Pusat Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulan Bencana (BNPB) Agus Wibowo mengatakan tahun itu tim bekerja lebih efektif sebab bersiap menggelar event olahraga se-Asia. “Waktu itu ada Asian Games 2018. Ada api kecil, sikat. Ada api, dibom-dibom, nggak nunggu gede. … Timnya dibentuk sama pemerintah (pusat). Ada gabungan BNPB, BPPT, TNI, Polri, stay di situ. Operasi tiap hari.”
Jika bukan karena terpengaruh cuaca dan kepentingan pemerintah pusat, efek jera itu hanya berlaku sementara dan tak merata. Rasio Ridho mengakui bahwa ada perusahaan-perusahaan yang sudah pernah jadi tersangka kini kembali melanggar aturan lingkungan.
“Ternyata efek ini tidak berlaku pada semua perusahaan… Ini akan kami berikan sanksi lebih tegas kepada perusahaan-perusahaan apabila masih berulang terjadi kebakaran hutan dan lahan.”
Darurat Asap Foto: Argy Pradipta/kumparan
Kebakaran hutan dan lahan hebat di Indonesia pertama kali terjadi pada 1997. Area gambut berupa rawa-rawa yang semula tak bertuan itu kemudian diubah jadi hutan tanaman industri atau kebun sawit yang tengah naik daun. Maka proses pengeringan pun dilakukan dengan pembangunan kanal-kanal yang mengalikan airnya ke sungai atau langsung menuju laut.
“Setelah kering, karena sifat gambut juga asam, maka untuk menetralkan pH tanah itu mereka bakar. Cara termudahnya itu. Untuk sampai bisa menanam, butuh (gambut) kering. Nah itu butuh 2-3 tahun hingga gambutnya kering. Jadi biasanya lokasi-lokasi itu saja yang terbakar.”
Pada tahun 1997, 9 juta hektare lahan gambut di seluruh Indonesia terbakar. Kebakaran ini kemudian kembali berlangsung di tahun-tahun berikutnya, serentak ataupun tidak. Kebakaran hebat kembali terjadi pada 2015. Tahun itu 2,6 juta hektare hutan dan lahan yang semula hijau jadi jelaga, gosong dilalap api.
“Kawasan ekosistem gambut kita saat ini sudah banyak yang rusak… Karena gambut itu kumpulan kayu-kayu sekian ribu tahun, kalau dikeringkan maka risiko kebakarannya sangat tinggi,” ucap Rasio Ridho.
Senada dengan Rasio Ridho, Kepala BNPB Letjend Doni Munardo mengatakan bahwa kondisi gambut yang terbakar itu amat kekurangan air. “Apalagi sudah sekian lama kondisi gambut dibiarkan kering, berarti membakar gambut sama dengan membakar bahan bakar,” kata Doni dalam jumpa pers di BNPB, Sabtu (13/9).
Keringnya gambut tak lepas dari buruknya pengelolaan air yang dilakukan industri perkebunan. “Kalau dilihat keseluruhan ini 99 persen karena manusia, dan 80 persen lahan lahan yang terbakar suatu ketika kelak ini jadi kebun,” tambah Doni.
Pembakaran area gambut yang sudah dikeringkan ini menjadi awal mula pembukaan lahan. “Mereka perhatikan cuaca, musim tanam, data-data BMKG, anginnya ke mana, cuaca keringnya seperti apa. Jadi dia sudah ahli, sudah tahu caranya,” ucap Humas BNPB, Agus Wibowo.
Maka Agus tak heran jika ada lahan terbakar namun apinya tak sampai menyambar kebun sawit yang telah tegak berdiri. “Biasanya kalau ada kebun sawit, dia tahu arah anginnya ke mana lalu bakarnya mulai dari mana. Sehingga jarang sekali kebun sawit yang terbakar, pasti di luar itu,” imbuh Agus.
Kabut asap menyelimuti hutan akibat kebakaran hutan yang bersebelahan dengan kebun sawit di Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Foto: Reuters/Willy Kurniawan
Ketua DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Gulat Medali Emas Manurung membantah tudingan yang dialamatkan kepada perusahaan sawit. “Mana ada yang mau membakar lagi kebunnya. CPO-nya (Crude Palm Oil/minyak sawit mentah) tidak akan diterima di dunia internasional,” ujar Gulat ketika dihubungi kumparan pada Minggu (22/9).
Menurutnya kebakaran hutan yang terjadi di area konsesi perusahaan-perusahaan sawit hanya dikarenakan lalai. “Lalai ini adalah tidak sengaja,” imbuhnya. Meski begitu ia tak membantah jika ada kelemahan perusahaan dalam menjaga areanya dari titik api hingga kesiapan antisipasi menghadapi kebakaran.
“Ya, hampir semua perusahaan tidak siap menghadapi api. Semuanya insidentil,” kata Gulat.
Pembelaan terhadap pengusaha perkebunan sawit juga datang Kepala Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Provinsi Riau Ferry HC. “Di pasar internasional terjadi black campaign terhadap sawit,” ucapnya ketika ditemui di Pekanbaru, Jumat (20/9).
Ia menyebut bahwa sawit tak membuat lahan gambut kering jika dikelola dengan benar. “Kalau kita bisa bilang, salah tata kelola air.” Selain itu, baginya persoalan ini bukan semata masalah masing-masing daerah, melainkan pemerintah pusat.
“Kenapa tanggung jawab Indonesia? Karena dia mengganggu hak atau bersinggungan dengan hak perorangan atau badan usaha yang diberikan oleh menteri.”
Kebakaran Hutan Kebakaran lahan gambut dan hutan di Taman Nasional Sebangau, Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Foto: Getty Images/Ulet Ifansasti
Menangani kebakaran hutan dan lahan pada akhirnya tak cukup hanya memadamkan api, lalu menghukum para pelaku pembakar hutan dan lahan. Hal yang lebih penting untuk dilakukan selanjutnya adalah mencegah kebakaran kembali terjadi di tahun-tahun mendatang.
Salah satu caranya tentu dengan memperbaiki ekosistem lingkungan dan merestorasi lahan gambut yang telah rusak. Untuk menyelesaikan tugas ini, pemerintah pusat membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) pada 2016.
Kepala BRG Nazir Foead mengungkapkan lembaganya selama ini melakukan peremajaan gambut dan membangun sumur bor agar gambut tak lagi kering. Tapi, pekerjaan lembaganya untuk sekadar menjaga lahan gambut agar tetap basah tak mudah karena melibatkan banyak pihak seperti warga, pemerintah daerah, dan perusahaan.
Nazir mengakui jika penanganan yang dilakukan lembaganya belum sepenuhnya efektif. Masih ada sekitar 5.800 hektar lahan gambut yang masuk pengawasan BRG ikut terbakar dalam rentetan karhutla tahun ini. “Kita tidak menjamin (area gambut) yang sudah masuk dalam pengawasan kita nggak akan terbakar,” tambah Nazir.
Warga berpose membawa poster bertuliskan keprihatinan kebakaran hutan dan lahan di kawasan Landasan Ulin, Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Kamis (19/9/2019). Foto: ANTARA FOTO/Bayu Pratama
Bagi Riko, pemerintah masih gagal menangani kebakaran hutan dan lahan, termasuk dalam pengelolaan air untuk menjaga Kesatuan Hidrologis Gambut. “Karena gambut itu satu kesatuan ya. Di sini diintervensi (Badan Restorasi Gambut), di sana tidak, dia masih berpengaruh ke satu kesatuan.”
Ia melihat masing-masing lembaga pemerintah bekerja secara sektoral semata, padahal upaya pemulihan butuh kerja sama yang holistik. “Kita butuh agenda-agenda pemulihan ini dijalankan dan diperkuat oleh presiden,” ucap Riko.
Kebakaran lahan dan hutan tahun ini kiranya menjadi tamparan keras bagi pemerintah yang tengah berniat mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan Mahkamah Agung yang memvonis bersalah pemerintah atas kebakaran hutan dan lahan pada 2015.
Pada 16 Agustus 2016, warga Palangka Raya mengajukan Citizen Law Suit menggugat Jokowi selaku presiden beserta seluruh jajarannya terkait kebakaran hutan dan lahan tahun sebelumnya. Pada Maret 2017, Pengadilan Negeri Palangka Raya memvonis bersalah pemerintah dan menghukumnya untuk segera membuat serangkaian peraturan pemerintah mulai dari tata cara penetapan daya dukung dan daya tampung lingkungan; baku mutu air dan udara; kriteria baku terkait kerusakan lingkungan hidup karena kebakaran hutan/lahan; analisis risiko lingkungan hidup; penanggulangan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup; tata cara pemulihan fungsi lingkugan hidup; peninjauan izin usaha pengelolaan hutan dan perkebunan yang telah terbakar maupun belum terbakar; hingga penegakan hukum atas perusahaan dan roadmap jangka panjang.
Namun, Jokowi dan kabinetnya menolak putusan itu dengan mengajukan banding lalu kasasi. “Ini buat kami sangat ironi, karena putusan-putusan MA sesungguhnya adalah kerangka untuk memberikan jaminan bagi keselamatan warga negara,” ujar Direktur Eksekutif Nasional Walhi Khalisah Khalid dalam konferensi pers di Kantor Walhi, Jakarta Selatan, Senin (16/9).
“Kita bisa cegah ini, tapi negara malah menunjukkan gengsinya ketimbang menyelamatkan warga negara. Ini yang buat kami marah. Presiden saja lebih memilih PK dibandingkan mematuhi atau menjalankan keputusan MA,” pungkas Khalisah.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten