Lipsus Lebaran yang Tak Biasa- Cover

Berlebaran Tanpa Keluarga: Menyambut Ujung Usia (1)

9 Mei 2022 11:59 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pagi itu, orang-orang yang bermukim di kompleks bangunan di Jalan Bina Marga Nomor 58 Cipayung, Jakarta Timur, ramai-ramai keluar dari wisma menuju masjid terdekat. Sebagian di antaranya berjalan menggunakan tongkat. Mereka adalah para penghuni panti werdha yang hendak salat Idul Fitri dan merayakan Lebaran.
Tak seperti kebanyakan orang yang menyambut Hari Raya Idul Fitri dengan mudik untuk berkumpul bersama keluarga dan sanak saudara, penghuni panti itu tidak ke mana-mana. Mereka tetap tinggal di panti tanpa keluarga dekat di sekeliling mereka; berlebaran bersama kawan sebaya, senasib sepenanggungan.
Ada sekitar 250 orang lanjut usia yang tinggal di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 1 yang memiliki tujuh wisma. Masing-masing wisma dihuni 30–40 orang. Tempat tidur mereka berjejer di kamar, sebelah-menyebelah.
Di salah satu sisi ruangan, ada beberapa lemari untuk menaruh barang-barang pribadi. Ada pula televisi untuk menghibur diri sekaligus mendengar berbagai informasi.
Suasana Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 1, Jakarta. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Tidak ada istilah “mudik” bagi para penghuni panti ini. Sebagian di antara mereka tak punya keluarga dekat, sedangkan sebagian lainnya telantar—atau ditelantarkan. Itu sebabnya mereka kini berada dalam perawatan Panti Werdha Budi Mulia.
Pada Hari Raya Idul Fitri itu, Senin (2/5), Nelly Ruslina sudah berbusana rapi sejak pagi. Penghuni panti asal Kuningan, Jawa Barat, itu ikut berangkat ke masjid bersama kawan-kawannya. Dengan alat bantu tongkat, Nelly berjalan sekitar 20 meter menuju Masjid Riyadul Jannah di depan Wisma Asoka tempatnya tinggal.
Nelly terlihat bersemangat. Senyum menghiasi wajahnya. Ini kali pertama ia salat Id di masjid lagi setelah dua tahun sebelumnya salat Idul Fitri berjemaah di masjid ditiadakan karena pandemi COVID-19.
“Waktu itu saya sedih karena salat Id enggak seperti biasanya. Sekarang saya senang,” kata Nelly saat berbincang dengan kumparan.
Suasana di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 1, Jakarta. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Setelah salat Id, layaknya tradisi Lebaran, para penghuni panti halalbilhalal atau bersalam-salaman untuk saling memaafkan. Mereka lalu makan-makan bersama. Makanan itu tidak mereka masak sendiri, tapi sudah disediakan oleh pengelola panti.
Petugas panti mengambilkan ketupat, opor ayam, telur, dan kerupuk yang ditaruh dalam kotak makan berwarna hijau, sementara para lansia tinggal mengantre. Mereka lalu makan bersama-sama dengan lahap. Setelahnya, kue-kue Lebaran dikeluarkan untuk camilan sambil bercengkrama.
Usai acara kumpul-kumpul penghuni panti tuntas, semua kembali ke aktivitas hariannya. Nelly, misalnya, lanjut mencuci dan menjahit baju. Layanan laundry sebetulnya disediakan pengelola panti, tapi Nelly lebih suka mencuci baju sendiri supaya badannya tetap bergerak. Ia menganggap mencuci baju bagian dari olahraga.
“Kalau mencuci baju itu bergerak, kalau menjahit baju itu anteng. Saya menjahit baju untuk perempuan; saya biasa membuat orang cantik,” ujar Nelly sembari terkekeh.
Perempuan 73 tahun itu merasa punya bakat menjahit. Bakat itu lantas ia kembangkan secara autodidak hingga baju-baju jahitannya semakin bagus.
Penghuni Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 1, Nelly Ruslina. Foto: Subhan Zainuri/kumparan
Lebaran Dulu dan Kini
Bukan cuma Nelly yang menyambut Lebaran tahun ini dengan riang. Rekan-rekannya di panti pun merasa senang. Bagaimana tidak, sudah dua tahun Tarawih dan salat Id hanya bisa dilakukan di wisma. Buka puasa bersama dan kunjungan masyarakat pun tak diizinkan demi menjaga para penghuni wisma dari penularan COVID-19.
Seorang penghuni yang masuk panti sejak April 2017, Siti Rokhayati, mengenang ingar-bingar perayaan Lebaran sebelum dan sesudah pandemi melanda.
“Waktu belum ada corona, kami takbiran rame-rame di masjid,” kata perempuan berusia 75 tahun itu. Ia juga bisa mengunjungi kerabatnya di kawasan Cijantung—yang hanya 20 menit berkendara dari panti—saat Lebaran.
Saat Lebaran 2017, Siti izin tujuh hari ke rumah kerabatnya; Lebaran 2018 dua hari; dan Lebaran 2019 tiga hari. Keluarga inti Siti sendiri sudah tak ada. Suaminya meninggal, sedangkan anak tak punya.
“Dua tahun kemudian (2020 dan 2021) enggak boleh pulang (ke rumah saudara) karena corona,” kata Siti.
Penghuni Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 1, Siti Rokhayati. Foto: Subhan Zainuri/kumparan
Siti juga rutin ditengok sepupunya saat Lebaran. Sebelum pandemi, sang sepupu datang untuk sekadar bertanya kabar dan ngobrol ngalor-ngidul sampai hampir dua jam.
Ketika pandemi datang, kunjungan amat dibatasi. Tahun ini, meski pandemi mereda dan kunjungan kembali dibuka, sepupu Siti tak lagi ke panti lantaran ia sudah sepuh dan tak ada orang yang mengantarnya. Siti juga tak menemui kerabatnya yang tersisa karena matanya semakin buram terkena katarak. Setelah operasi katarak, ia mengenakan mata kanan palsu.
Dengan keterbatasan itu, mau tak mau Siti memilih berlebaran di panti bersama kawan-kawan lansianya.
Suasana Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 1, Jakarta. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Keluarga yang Abai
Kepala Tata Usaha Panti Werdha Budi Mulia 1, Toniroh, mengatakan mayoritas lansia di pantinya sudah tak punya keluarga. Dalam satu wisma yang berisi 30 orang, rata-rata hanya tiga lansia yang masih memiliki keluarga. Itu pun pihak keluarga tak mampu untuk mengurus lansia tersebut—utamanya karena alasan finansial—sehingga menitipkan mereka ke panti.
Toniroh menyatakan, sudah menjadi amanat UUD 1945 bahwa fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara. Namun ia menyayangkan keluarga yang menitipkan lansia di panti tanpa pernah ditengok bertahun-tahun lamanya.
“Kebanyakan seperti itu. Keluarganya memberikan nomor telepon untuk dipegang panti, namun ketika lansia (kerabat mereka di sini) butuh telepon, nomor itu tidak bisa dihubungi lagi,” kata Toniroh, sedih.
Oleh sebab itu pengelola sebisa mungkin menciptakan suasana Lebaran di panti seperti di rumah. Selain menyediakan makanan khas Lebaran seperti ketupat dan opor ayam, pengelola panti juga membelikan para lansia satu setel baju Lebaran.
“Baju koko untuk laki-laki, gamis untuk ibu-ibu. Biasanya ibu pimpinan (panti) juga memberikan angpau kepada teman-teman (lansia) yang berhasil puasa sampai 30 hari biar semangat,” ujar Iroh, sapaan Toniroh.
Kasubag TU Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 1, Toniroh. Foto: Subhan Zainuri/kumparan
Iroh sadar, meski suasana Lebaran di panti dapat dihadirkan secara materiil, ada satu yang tetap hilang: kesempatan untuk berkumpul bersama keluarga besar dan sanak saudara.
Penghuni panti werdha amat mafhum dengan situasi itu dan karenanya menganggap kawan-kawan mereka di panti sebagai keluarga sendiri. Bagi mereka, keluarga bukan lagi orang yang memiliki pertalian darah, tapi orang-orang yang sehari-hari berada di sekitar.
“Di sini semua sudah seperti saudara sendiri. Makanya lebih nyaman (berlebaran di panti), nggak ada pikiran ke tempat lain,” ujar Herlina, perempuan 62 tahun penghuni panti.
Ia mengenal semua penghuni tujuh wisma di Panti Werdha Budi Mulia 1. Maka saat Lebaran, ia pun bersilaturahmi ke wisma-wisma tetangga. Herlina memang terlihat lincah untuk lansia seusianya. Jalannya pun masih cepat.
Penghuni Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 1, Herlina. Foto: Subhan Zainuri/kumparan
Tak Mau Jadi Beban
Herlina tak punya saudara kandung. Ada sepupu jauh, namun sudah lama tak berkontak dengannya. Satu-satunya keluarga intinya adalah putra laki-laki yang kini dipenjara karena kasus pidana.
Putranya itu dijadwalkan bebas dari lembaga permasyarakatan sebulan lagi, Juni 2022. Namun Herlina tak berencana menghabiskan sisa hidup bersama putranya. Ia tak mau merepotkan orang.
“Kalau mau nengokin saya di sini, boleh. Tapi saya enggak usah ikut anak,” ujar Herlina.
Dua penghuni Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 1, Jakarta. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Seperti Herlina, Nelly juga tak ingin merepotkan keluarganya. Ia memiliki lima adik tiri yang dahulu ia rawat saat orang tua mereka meninggal. Untuk menyekolahkan lima adiknya itu, Nelly banting tulang dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain, mulai dari membuka jasa jahit pakaian, salon kecantikan, sampai sewa pakaian pengantin.
Saat semua adiknya sudah menikah, Nelly mulai kelelahan. Ia tak lagi selincah dulu. Usaha salonnya lantas ia tutup dan ia pindah ke panti werdha sejak Oktober 2016.
Nelly tahu soal panti werdha itu dari majelis taklim yang ia ikuti. Ia memutuskan untuk tinggal di panti karena tak mau mengganggu kehidupan kelima adiknya.
“Adik-adikku, aku sayang sama kalian. Jangan merasa kakakmu ini (tinggal di panti karena) kecewa sama kalian. Justru karena aku sayang. Baik-baiklah berumah tangga,” pesan Nelly kepada kelima adiknya.
Kini, fokus Nelly di panti werdha hanya satu: menyempurnakan ibadah.
“Pengin meninggal husnul khatimah aja. Saya sudah puas di sini,” tutup Nelly.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten