Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Bertemu Hasan, Tukang Cukur Keliling 3 Dekade di Jakarta
11 November 2018 19:15 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
ADVERTISEMENT
Tubuhnya tak lagi tegap, badannya pun sedikit bungkuk, raut wajahnya keriput. Namun kondisi itu tak membuat Hasanudin bermalas-malasan.
ADVERTISEMENT
Setiap harinya, Hasan, panggilan akrabnya, begitu semangat mencari nafkah untuk keluarga. Di usia senjanya yang memasuki 60 tahun, hanya keahlian mencukur yang dia punya agar dapur di rumahnya tetap ngebul.
kumparan berbincang dengan Hasan yang sedang memasang terpal dadakan di dekat pohon pinggir jalan dekat Gereja Koinonia, Jatinegara, Jakarta Timur. Di bawah terpal, dia menata kaca, kursi dan peralatan pangkasnya. Alat cukurnya ia letakan dalam koper tua dan kacanya ia gantungkan pada pagar gereja Koinonia.
Pelanggannya kerap menyebut Hasan dengan sebutan tukang cukur DPR. Bukan tukang cukur untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang dimaksud, malainkan tukang cukur Di bawah Pohon Rindang (DPR).
Urusan cukur mencukur bukan hal baru bagi Hasan. Sudah lebih dari tiga dekade dia memegang gunting dan sisir cukurnya.
ADVERTISEMENT
"Sudah puluhan tahun saya jadi tukang cukur. 30 tahun saya di kios ikut kakak saya dan ke sana kemari cuman enggak betah. 15 tahun ini saya habiskan sebagai tukang cukur pinggir jalan sini," tutur Hasan kepada kumparan, Minggu (11/11).
Penghasilan yang peroleh pun tak menentu, sekali pangkas dia mematok harga Rp 15 ribu. Setidaknya dalam sehari Hasan bisa mengantongi Rp 30.0000, namun bila ramai ia bisa mengantongi Rp 100.000.
Uang yang didapatnya dari mencukur, ia kirimkan untuk anak dan istrinya di Bogor. Sudah puluhan tahun Hasan tak tinggal bersama anak istrinya demi mencari nafkah. Setiap harinya Hasan menumpang tidur di puskesmas tak jauh dari lapak tempat cukurnya.
ADVERTISEMENT
"Kalau tidur di Puskesmas, setiap jam 11 malam baru dibolehin tidur di Puskesmas kalau siang engga boleh karena ramai ada pasien. Mandi biasanya di musala, nyuci baju biasanya di gereja ini," ucapnya.
Ia menjelaskan, memilih menjadi tukang cukur dibawah pohon rindang lantaran sebagian besar pelanggannya merupakan jemaat Gereja Koinonia, sopir, tentara hingga polisi. Hasan bersyukur pelanggannya sangat baik padanya. Misalnya warga yang kerap kali memberikan baju, topi dan makanan untuknya.
Sebelum menjalankan profesi sebagai tukang cukur, Hasan sempat menjadi pedagang asongan. Namun tak bertahan lama, ia akhirnya memutuskan untuk menjadi tukang pangkas rambut, karena pekerjaan yang ia senangi.
Sebagai tukang cukur bawah pohon di trotoar jalan, bukan hal yang mudah baginya. Sering kali ia diusir oleh satpol PP, alat-alat cukurnya pun kerap kali hilang. Hasan mengaku sedih tiap kali alat cukurnya hilang, pasalnya hanya dari alat itu ia bisa menghidupi keluarganya.
ADVERTISEMENT
"Kemarin sempat hampir pingsan pas gunting-gunting hilang, tapi alhamdulillah diganti yang baru. Ada orang baik yang membelikan saya alat cukur baru, dan berikan saya uang Rp 100.000 pas saya ceritakan kalau alat saya hilang," jelas Hasan.
Umur yang semakin tua mempengaruhi kesehatannya. Makan tak teratur ditambah lagi hidup di jalanan membuat tubuh Hasan mudah terserang penyakit. Ditambah lagi, penyakit hernia yang dideritanya membuat dia tak lagi bisa bekerja terlalu berat. Namun semangatnya untuk memberi nafkah untuk keluarga membuat rasa lelah dan sakit itu ia tahan.
Hasan memiliki 8 orang anak dan 4 orang cucu. Salah satu anaknya terkena gangguan jiwa. Beberapa anaknya yang lain telah bekerja sebagai guru. Anak-anak Hasan sering kali memintanya untuk menghabiskan waktu tuanya di rumah dan tidak bekerja. Namun Hasan tetap bersikeras untuk bekerja demi keluarganya.
ADVERTISEMENT
"Saya masih mau bekerja untuk keluarga demi anak dan istri meskipun anak-anak saya memiliki pekerjaan," katanya.