Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Tangan kiri Dicky Adam menyangga keningnya. Di warung kopi itu, raut penat terlihat dari wajahnya. Ia mulai dibuat pusing oleh persiapan resepsi pernikahan setelah pekan lalu melamar kekasihnya.
Lelaki asal Bandung yang sudah dua tahun merantau di Jakarta itu juga kepikiran soal sertifikat nikah yang beberapa waktu lalu disebut-sebut oleh Muhadjir Effendy, Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
Nantinya, menurut sang menteri, calon pengantin wajib mengikuti kelas pranikah selama tiga bulan untuk dapat sertifikat.
“Mereka kan akan melahirkan anak yang menentukan masa depan bangsa,” ujarnya di Sentul, Bogor, Rabu (13/11).
Muhadjir ingin sertifikat layak nikah itu jadi syarat wajib sebelum pasangan calon pengantin mengikat janji sehidup semati. Ia mematok target penerapannya pada 2020.
Masalahnya, Dicky hendak melangsungkan pernikahan di Sukabumi, kampung halaman kekasihnya. Mau tak mau ia membayangkan repotnya mondar-mandir Jakarta-Sukabumi untuk menghadiri kelas pranikah dan segala tetek bengek pernikahan.
“Tiga bulan, lagi. Selama tiga bulan itu, setiap Sabtu-Minggu pasti bakal capek banget,” kata Dicky, Rabu malam (27/11).
Kelas pranikah yang disebut Muhadjir sebetulnya merupakan revitalisasi dari program sosialisasi Kantor Urusan Agama untuk pasangan yang ingin menikah. Ke depannya, Muhadjir berniat melibatkan berbagai kementerian dalam program tersebut, yakni Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Sosial, serta Kementerian Koperasi dan UMKM. Tak lupa, ia juga akan menggaet Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Di Istana Presiden, Jakarta, Kamis (14/11), Muhadjir bicara lebih tegas soal kelas pranikah itu. Katanya, calon pengantin yang belum mengikuti kelas pranikah tak boleh menikah.
Semua itu, ujar Muhadjir, demi menekan angka perceraian dan stunting (problem gizi kronis yang menyebabkan anak memiliki tinggi badan lebih rendah dari standar usianya). Merujuk data Badan Pusat Statistik, perceraian di Indonesia setiap tahunnya sejak 2013 sampai 2018 selalu meningkat. Pada 2018, perceraian di negeri ini mencapai 408.202 kasus.
Muhadjir tahu selama ini sudah ada kelas pranikah yang dijalankan Kementerian Agama. Namun, menurutnya, program tersebut belum berjalan efektif karena persoalan anggaran. Itu sebabnya ia hendak menarik program itu ke level Menko.
Sayangnya, frasa “wajib memiliki sertifikat nikah ” yang dilontarkan Muhadjir justru memicu kontroversi dan menimbulkan kecemasan di tengah masyarakat. Sampai kemudian Deputi Koordinasi Pendidikan dan Agama Kemenko PMK Agus Sartono menegaskan bahwa sertifikat yang didapat dari kelas pranikah bukanlah syarat wajib yang harus dimiliki oleh calon pengantin.
“Memahami (program) ini lebih pada substansinya. Bukan berarti kalau tidak ikut (bimbingan pranikah) tidak boleh menikah. Tapi akan lebih bagus ikut supaya keluarganya jadi lebih baik,” ujar Agus di Kementerian PMK, Selasa (19/11).
Kelas pranikah di level Kemenag selama ini dikenal sebagai Bimbingan Perkawinan. Program itu dicetuskan oleh eks Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin pada 2017. Bimwin merupakan kelanjutan dari Kursus Calon Pengantin.
Berbeda dengan Bimbingan Perkawinan, Kursus Calon Pengantin justru bersifat wajib menyusul keluarnya Surat Edaran Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor DJ.II/PW.01/1997/2009 tentang Kursus Calon Pengantin tertanggal 11 Desember 2009.
Namun setelah dievaluasi, menurut Kepala Subdirektorat Bina Keluarga Sakinah Ditjen Bimas Islam Kemenag Muhammad Adib Machrus, Kursus Calon Pengantin ternyata tak mampu mengatasi masalah-masalah rumah tangga yang menjadi penyebab perceraian. Salah satunya karena metode ceramah agama yang digunakan dinilai tak efektif.
Itu sebabnya pada 2019, Kursus Calon Pengantin diubah menjadi Bimbingan Perkawinan. Kelas pranikah tak wajib itu berlangsung selama dua hari dengan durasi 8 jam per hari. Ia diisi berbagai materi, baik dari sisi agama, psikologis, kesehatan, sampai pendidikan anak.
Lukman Hakim menyebut terdapat beberapa faktor yang membuatnya menginisiasi Bimbingan Perkawinan. Pertama, tingginya angka perceraian. Kedua, meningkatnya angka kekerasan dalam rumah tangga. Ketiga, banyaknya kasus-kasus pelecehan terhadap anak. Keempat, tingginya konflik rumah tangga akibat relasi tak sehat suami-istri.
“Memang ada problem yang cukup kompleks pada pasangan-pasangan muda kita. Itulah kenapa kami tekankan betul hakekat siamu istri adalah relasi kesetaraan—masing-masing punya tanggung jawab dan haknya masing-masing. Jadi tidak boleh lagi diberlakukan istri itu subordinasi suami, karena agama tidak mengajarkan hal seperti itu,” kata Lukman kepada kumparan, Kamis (21/11).
Secara terpisah, Adib mengamini. “Keadilan dan kesalingan (timbal balik) itu harus dimiliki oleh kedua belah pihak. Nggak boleh saling menindas. Nggak ada (artian) istri adalah bawahan dan laki-laki adalah bos.”
kumparan pun mencoba mengikuti Bimbingan Perkawinan yang dianggap jauh lebih baik dari Kursus Calon Pengantin. Kelas Bimwim digelar tak jauh dari kantor kami, yakni di KUA Pasar Minggu, Sabtu (23/11).
Pagi-pagi, para peserta Bimwim sudah duduk rapi dalam ruangan. Laki-laki dan perempuan duduk terpisah di sisi kanan dan kiri ruangan. Kelas Bimwim hari pertama itu diikuti 32 pasang calon pengantin.
Sepanjang hari itu, ada tiga materi yang diajarkan—bagaimana mempersiapkan perkawinan yang kokoh, bagaimana mengelola dinamika perkawinan dan keluarga, serta bagaimana menjaga kesehatan reproduksi dan mempersiapkan generasi berkualitas.
Pengisi materi ialah Nasrudin, Kepala Seksi Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag Jakarta Selatan; Muslim, ustaz sekaligus penghulu dan pemegang lisensi Bimbingan Perkawinan di KUA Pasar Minggu; serta dokter Nanik Haryaningsih.
Menurut Muslim, para pengisi materi Bimbingan Perkawinan ialah fasilitator ketimbang narasumber yang sekadar memberikan materi. Mereka memfasilitasi calon pengantin untuk mencari jalan keluar atau solusi dari berbagai kemungkinan persoalan yng mungkin mereka temui ketika berumah tangga nanti.
“Karena tujuan dari Bimwin ini adalah memampukan,” ujar Muslim. Artinya, memampukan calon pengantin untuk menyelesaikan permasalahan mereka di masa depan.
Sementara hari kedua Bimbingan Perkawinan, Minggu (24/11), diisi oleh dua materi, yakni tentang cara memenuhi kebutuhan keluarga dan cara mengelola konflik serta membangun ketahanan keluarga. Muslim kembali mengisi materi. Kali itu bersama Kepala KUA Pasar Minggu TB Zamroni.
Program Bimbingan Perkawinan, ujar Adib, sudah dijalankan di seluruh provinsi di Indonesia. Meski begitu, belum semua KUA menggelar Bimwim. Hingga akhir 2019 ini, jumlah fasilitator yang telah lulus bimbingan teknis hanya sekitar 2.000 orang, sedangkan jumlah KUA di Indonesia mencapai 6.000 kantor.
Adib mengakui Kemenag terbentur persoalan anggaran dalam menjalankan Bimbingan Perkawinan. Pada 2018, Bimwim baru menjangkau 125.142 pasang calon pengantin seluruh Indonesia. Sementara tahun ini hingga Oktober 2019, Bimwim baru diikuti 59.291 pasang calon pengantin.
Menurut Tim Pakar Bimwin Alissa Wahid, masyarakat merespons positif program Bimbingan Perkawinan. Itu sebabnya Lukman Hakim dulu juga ingin membuat program bimbingan untuk keluarga muda dengan metode yang tak jauh berbeda dengan Bimwim. Ia berniat menamai program bimbingan pascanikah itu “Berkah”, akronim dari belajar rahasia nikah.
“Satu hari belajar khusus tentang relasi harmonis. Jadi mengenal bahan bakar cinta, lalu memperdalam soal pengelolaan konflik. Ini terutama untuk pasangan-pasangan yang nggak sempat ikut Bimbingan Perkawinan,” ujar Alissa kepada kumparan.
Dalam jangka panjang, Lukman ingin menyatukan Bimbingan Perkawinan di semua agama. Ini, menurutnya, karena setiap warga berhak mendapat bekal dari negara.
Namun, rencana itu menurut Adib sulit diwujudkan. Ia tak dapat membayangkan bagaimana Bimbingan Perkawinan lintas agama dapat dilangsungkan dalam satu kelas.
“Saya sudah mengundang beberapa teman. Ada Hindu, Kristen, Katolik, Buddha. Kami kumpul. Mereka pusing juga kalau disatukan, dan mereka sepakat untuk sendiri-sendiri, tapi kami bahas (rencana)nya bisa bareng,” ujar Adib.
Sejauh ini, Bimbingan Perkawinan memang tak hanya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pembinaan Masyarakat Islam. Pasangan beragama non-Islam juga dapat mengikuti Bimbingan Keluarga Sukinah oleh Ditjen Bimas Hindu, Bimbingan Keluarga Kristiani, Bimbingan Keluarga Bahagia oleh Ditjen Bimas Katolik, dan Bimbingan Keluarga Hittasukhaya oleh Ditjen Bimas Buddha.
Sadar bimbingan pranikah ternyata bermanfaat, Dicky manggut-manggut penuh semangat. “Itu bagus, tapi kalau sampai tiga bulan akan makan waktu,” ujarnya.
Ia kini seratus persen sepakat dengan konsep Bimwim asal waktu pelaksanaannya bisa dikompromikan. Demi masa depan sehat bahagia, mengapa tidak?