BPN: Sertifikasi Tanah Bisa Mengurangi Konflik Agraria

8 Januari 2019 13:38 WIB
clock
Diperbarui 15 Maret 2019 3:50 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sekjen Kementerian ATR-BPN Himawan Arief Sugoto. (Foto: Dok. Kementerian ATR-BPN)
zoom-in-whitePerbesar
Sekjen Kementerian ATR-BPN Himawan Arief Sugoto. (Foto: Dok. Kementerian ATR-BPN)
ADVERTISEMENT
Geliat BPN menerbitkan semakin banyak sertifikat lahan memang tampak. Namun, ketidakpuasan sebagian pihak atas program sertifikasi itu masih terus disuarakan.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, kumparan mewawancarai Sekretaris Jenderal Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Himawan Arief Sugoto. Di kantornya, Jalan Sisingamangaraja No. 2 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, mantan direktur Perumahan Nasional tersebut menceritakan lika-liku program sertifikasi lahan di seluruh Indonesia.
Tujuan adanya program sertifikasi tanah itu apa?
Masih adanya beberapa permasalahan tanah di Indonesia, membuat orang bertanya ‘Kok belum selesai-selesai?’. Sebenarnya permasalahan tanah di seluruh dunia ada di negara manapun. Tinggal masalahnya seberapa persen dan cara menanganinya seperti apa.
Kalau kita lihat, sebenarnya presentase antara sertifikat tanah yang sudah ada dibandingkan dengan konflik, itu kecil sekali. Cuma berita kecil itu kan sangat bombastis ya. Satu aja tuh bisa ramai sekali, apalagi kita sudah mengeluarkan sertifikat tanahhampir 60 juta.
ADVERTISEMENT
Dari situ kita lihat, bahwa dibandingkan dengan jumlah puluhan juta sertifikat tanah, sengketa tanah itu mungkin hanya sekitar 6000-an kasus di Indonesia. Itu bukan berarti mandek, semua masih diproses.Tapi kan ada juga sengketa yang baru muncul.
Persoalannya, mengapa terjadi konflik. Kalau berdasarkan peta bidang tanah yang ada di Indonesia, sebenarnya baru 30 persen tanah yang terdaftar. Negara-negara maju saat ini sudah minim sekali konflik tanah, karena seluruh peta bidang tanah sudah terdaftar.
Sertifikasi Tanah untuk Siapa? (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sertifikasi Tanah untuk Siapa? (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
Sehingga kita berpikir kalau seluruh tanah itu terpetakan dengan baik dan teregistrasi maka akan meminimalkan konflik. Kalau kita tidak memetakan, kan kita juga tidak tahu potensi permasalahannya. Makanya langkah awal yang harus dilakukan oleh pemerintah mempercepat pendaftaran tanah.
ADVERTISEMENT
Anggaran juga diberi lebih. Mungkin dulu mengandalkan masyarakat yang membayar, sekarang justru tidak. Jadi pemerintah saat ini komitmen dari sisi itu (anggaran), menyiapkan dari aspek regulasi, mendukung dari aspek pembiayaan.
Maka langkah yang harus dilakukan oleh pemerintah mempercepat pendaftaran tanah Kalau seluruh tanah idangnya terdaftar yang sudah siap dikeluarkan sertifikatnya maka makin lama meminimalkan potensi lahannya diserobot.
Tahun lalu 2017 kita memang masih agak gagap menargetkan begitu. Namun, mengejutkan, 2018 kemarin kita lebih smooth, 2019 saatnya kita achieve target dengan kualitas yang lebih bagus lagi.
Prediksi total dari 126 sampai 130 juta bidang, baru sekitar 50-60 juta bidang yang tersertifikasi sehingga masih cukup banyak PR kita yang harus dikejar dalam waktu cepat.
Bagi-bagi Sertifikat Tanah (Foto: Basith Subastian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Bagi-bagi Sertifikat Tanah (Foto: Basith Subastian/kumparan)
Tujuannya apa? Satu, adanya kepastian hukum atas kepemilikan tanah untuk masyarakat dalam bentuk sertifikat. Kalau dia punya sertifikat, dia akan lebih kuat posisi hukumnya.
ADVERTISEMENT
Zaman Presiden Jokowi, kita proaktif langsung memetakan, menargetkan tahun 2025 seluruh bidang tanah terpetakan. Yang bisa dikeluarkan sertifikat, yang masih berkonflik, yang masih belum lengkap datanya, itu juga kita petakan.
Yang kedua dalam rangka menuju one map policy. Jadi kita punya peta bidang dan informasi yang bagus untuk pembangunan Indonesia.
Warga menunjukkan sertifikat tanah miliknya saat penyerahan sertifikat tanah untuk rakyat di Surabaya oleh Presiden Jokowi, Kamis (6/9/2018).  (Foto: ANTARA FOTO/Zabur Karuru)
zoom-in-whitePerbesar
Warga menunjukkan sertifikat tanah miliknya saat penyerahan sertifikat tanah untuk rakyat di Surabaya oleh Presiden Jokowi, Kamis (6/9/2018). (Foto: ANTARA FOTO/Zabur Karuru)
Mengapa tanah berkonflik tidak bisa disertifikasi?
Kalau (lahan berstatus konflik) disertifikatkan saat masih berperkara, itu artinya kita melanggar hukum. Yang bisa kita lakukan mempertemukan pihak-pihak bersengketa terlebih dulu.
Contoh, penduduk yang menduduki sudah sekian lama sebuah daerah di daerah yang bersengketa dengan TNI. Daripada warga diusir TNI, ya kita pertemukan. Kita bahas itu menjadi objek registrasi.
ADVERTISEMENT
Hanya saja bila lahan masih masuk proses persidangan, pasti dalam perkara kita tidak akan lakukan pertemuan.
Natikem, pemilik tanah konflik Urut Sewu. (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Natikem, pemilik tanah konflik Urut Sewu. (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
Banyak kritikan seolah-olah reforma agraria era Jokowi hanya soal sertifikasi tanah. Bagaimana Kementerian ATR/BPN merespons ini?
ATR BPN melihat reforma agraria itu dalam rumah besar. Jangan dalam lingkup yang sempit, cuma bagi-bagi tanah saja. Reforma agraria adalah penataan wilayah, memberikan kepastian hukum.
Salah satu produknya adalah legalisasi. Jadi kalau diregistrasi, apa basisnya? masa cuma diregistrasi? Ya kita legalisasi dong, kita berikan dia sertifikat upaya menjadi kepastian hukum bahwa tanah dia ini sudah tidak bermasalah.
Langkah awal adalah memberikan kepastian hukum dulu. Lalu memetakan seluruh tanah yang ada, memetakan, memberikan kepastian hukum dengan mengeluarkan sertifikat. Artinya sudah memberikan kepastian hukum. Sehingga permasalahan agraria akan berkurang. Dari situ kita akan menyelesaikan lebih banyak lagi persoalan.
Rapor Merah Konflik Agraria (Foto: Basith Subastian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Rapor Merah Konflik Agraria (Foto: Basith Subastian/kumparan)
Apa tantangan yang dihadapi dalam mengejar target yang telah ditetapkan?
ADVERTISEMENT
Kita perlu beradaptasi dengan menafsirkan project management-nya. Dari sisi teknologi, sisi program kerja, distribusi, target pusat sampai pada kantor pertanahan. Kita ukur berdasarkan daya serap masyarakat, daya kemampuan.
Teknologi berubah memengaruhi cara mengukur. Terkadang sering dengan produk lama ini ada perbedaan hasil perhitungan dibandingkan dengan hasil perhitungan teknologi terkini. Kalau sekarang kan sudah lebih akurat menggunakan satelit, koordinat lebih fix.
Selain itu, salah satu hambatan proses sertifikasi adalah tenaga pengukur lahan. Dengan jumlah ASN yang ada, kan enggak mungkin kita mengejar target. Akhirnya kita menggunakan juru ukur berlisensi, tidak tergantung oleh jumlah ASN yang ada. Jadi sebagian besar tenaga pengukur merupakan tenaga outsource.
------------------------
Seperti apa nyala api konflik agraria di tengah masyarakat? Simak Liputan Khusus kumparan: Sertifikasi Tanah untuk Siapa.
ADVERTISEMENT