BPOM Siapkan Regulasi Pelabelan BPA Pada Kemasan Air Minum dan Makanan

17 Agustus 2023 11:27 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi botol plastik. Foto: Shutterstock.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi botol plastik. Foto: Shutterstock.
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pernah mendengar istilah BPA free? Kata ini banyak ditemukan pada kemasan plastik seperti botol bayi, botol minum hingga tempat makan.
Mengapa kemasan makanan dan minuman itu mesti mencantumkan label penanda BPA free alias bebas BPA? Hal ini penting, sebab BPA atau bisphenol A berisiko menyebabkan masalah kesehatan.
Dilansir Mayo Clinic, BPA umumnya ditemui dalam produk plastik polikarbonat dan resin epoksi. Plastik polikarbonat biasa digunakan sebagai bahan pembuatan wadah penyimpan produk pangan. Sedangkan bahan resin epoksi biasa digunakan untuk melapisi kemasan logam, termasuk kaleng makanan, tutup botol, hingga saluran pasokan air.
Penggunaan bahan plastik maupun resin epoksi mengandung BPA diatur dengan cukup ketat di berbagai negara. Di Amerika Serikat, Food and Drug Administration (FDA) mengungkapkan bahwa paparan BPA yang aman untuk tubuh manusia adalah 5 miligram per kilogram dari berat badan.
Sayangnya, paparan BPA memang sulit dihindari karena hampir setiap kemasan pangan maupun non-pangan berbahan plastik polikarbonat dan resin epoksi mengandung sejumlah kecil BPA. Namun kabar baiknya Badan Pengawas Obat dan Makanan sedang menyusun regulasi pelabelan risiko BPA.
Direktur Standardisasi Pangan Olahan BPOM, Anisyah, menilai rencana pelabelan risiko senyawa kimia berbahaya BPA pada galon air minum bermerek merupakan wujud kehadiran negara dalam melindungi kesehatan masyarakat. Sekaligus menjadi tanggung jawab negara yang diharapkan mendapat dukungan semua kalangan.
"Rencana regulasi tersebut menunjukkan negara hadir dalam melindungi kesehatan masyarakat. Ia juga berharap semua stakeholders dapat memahami rencana pelabelan ini.kata Anisyah dalam keterangan tertulis, Selasa (15/8).
Dalam talkshow di salah satu media nasional pada Jumat (11/8) lalu, Anisyah juga mengatakan, BPOM telah berdiskusi dengan semua pihak selama proses penyusunan regulasi pelabelan risiko BPA. Diskusi intens ini melibatkan pelaku usaha air kemasan, baik skala mikro, kecil dan menengah, maupun market leader serta asosiasi terkait.
"Alhamdulillah Badan POM mendapat dukungan positif dari banyak kalangan, termasuk Komisi IX DPR," ujarnya.
Ia menambahkan, penyusunan rancangan regulasi soal BPA ini telah melalui semua tahapan perancangan regulasi. Termasuk koordinasi dengan kementerian terkait, Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), kalangan akademisi, dan ahli.
"Di level kementerian, kami sudah menyepakati urgensi pelabelan ini sebagai bentuk tanggung jawab negara sekaligus untuk melindungi pelaku usaha, termasuk pemerintah, dari kemungkinan tuntutan hukum di masa datang," ujarnya.
Anisyah berharap dengan adanya rancangan regulasi, produsen galon bermerek dapat berinovasi menghadirkan kemasan galon yang lebih menjamin kualitas dan keamanan air minum.
Lebih lanjut, Anisyah mengatakan kebijakan khusus terkait BPA banyak diadopsi negara di berbagai belahan dunia karena pertimbangan risiko kesehatan. Ada yang menetapkan ambang batas migrasi, melarang total penggunaannya pada kemasan pangan, hingga mewajibkan pelabelan untuk mengedukasi konsumen.

Batas Aman BPA dari BPOM

Sejak 2019, Indonesia melalui BPOM menetapkan batas migrasi BPA pada kemasan pangan berbahan polikarbonat sebanyak 0,6 ppm. Ambang ini wajib dipatuhi produsen Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) yang menggunakan polikarbonat sebagai kemasan galon guna ulang.
Kendati demikian, Anisyah menyebut ada tren pengetatan toleransi di level global atas BPA pada kemasan pangan. Ia mencontohkan Uni Eropa kini menetapkan ambang batas migrasi BPA sebesar 0,06 ppm dari 0,6 ppm pada 2011.
Dalam kesempatan yang sama, Ahli Epidemiologi dari Universitas Indonesia, Pandu Riono, memaparkan BPA mendatangkan risiko yang 'luar biasa' bagi kesehatan manusia.
"Bahkan sebelum jadi manusia sudah berisiko, saat dalam kandungan, BPA berpotensi mengganggu pertumbuhan janin sehingga dalam perkembangannya akan menimbulkan banyak masalah kesehatan, termasuk autisme, Attention Deficit atau Hyperactivity Disorder (ADHD)," terang Pandu.
Pandu menambahkan, paparan BPA dalam jangka panjang dapat mengganggu sistem tubuh, termasuk gangguan organ reproduksi, penyakit endokrin, gangguan syaraf, dan kanker.
Senada dengan Pandu, Ahli Polimer dari Universitas Indonesia, Muhammad Chalid, mengatakan ada risiko pelepasan BPA yang besar pada kemasan galon bermerek. Terutama bila produk tersebut masih didistribusikan dengan serampangan, termasuk dibiarkan terpapar sinar matahari langsung dalam waktu yang cukup lama.
Selain paparan suhu yang relatif tinggi, kata Chalid, pelepasan BPA pada galon bermerek juga rawan. Sebab proses pencucian galon di pabrik umumnya menggunakan sejenis deterjen yang bisa memicu peningkatan keasaman dan berimbas pada pelepasan BPA.