Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
“Ini yang mau saya lakukan,” kata Prabowo Subianto pada laki-laki di depannya. Prabowo kemudian mengutarakan rencananya, yaitu membubarkan Koalisi Indonesia Adil dan Makmur yang mendukungnya sebagai capres selama Pemilu Presiden 2019. Laki-laki tadi, Sandiaga Uno, menyimak penjelasan partner juangnya selama 10 bulan terakhir.
“Are you OK with this?”
Yang ditanya mengangguk, “OK.”
Setelahnya, rencana dijalankan. Jumat sore (28/6), sehari setelah pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak seluruh gugatan pasangan Prabowo-Sandi, petinggi empat partai koalisi berkumpul di rumah Prabowo di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan.
Hadir di situ Presiden PKS Sohibul Iman, Sekjen Partai Demokrat Hinca Panjaitan, Sekjen Partai Berkarya Priyo Budi Santoso, Sekjen PAN Eddy Soeparno, dan Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani. Begitu mereka menyelesaikan rapat yang digelar sejak pukul 14.30 WIB, kelimanya—bersama Juru Bicara BPN Dahnil Anzar—berfoto di teras Kertanegara 4.
“Tugas Koalisi Adil Makmur selesai. Begitu juga dengan BPN—Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi, selesai,” ujar Muzani.
Keputusan pembubaran Koalisi Adil Makmur, menurut Sandiaga, menunjukkan kedewasaan Prabowo dalam memimpin. Sandi memuji langkah Prabowo yang tak berlarut-larut dalam kekalahan dan sadar bahwa ia tak memiliki kuasa untuk mengikat anggota koalisinya.
“Setelah tahu dari tim hukum bahwa ini (putusan MK) adalah titik akhir perjalanan Pilpres 2019, kami ingin mengembalikan mandat ke partai. Kami berterima kasih, mohon maaf belum berhasil (menang pemilu),” ujar Sandiaga kepada kumparan.
Lebih penting lagi, ujar Sandiaga, pembubaran ini memberikan closure—sebuah akhir yang penuh-seluruh. “It gives closure. Ada finality.”
Sandiaga sadar, Pilpres 2019 hanyalah satu episode dari jalan panjang demokrasi di Indonesia. Pun demikian buat partai anggota koalisinya, Pilpres 2019 cuma salah satu cara, bukan tujuan.
“Kemungkinan (pilihan partai koalisi) ke depan, tergantung mekanisme partainya masing-masing. Kami kembalikan,” ujar Sandiaga. Ia mafhum apabila mantan partai-partai koalisinya mengambil jalan berbeda, termasuk bergabung ke pemerintahan calon terpilih Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Namun bagi Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, pembubaran koalisi Prabowo mungkin hanya formalitas belaka. Malam sebelumnya, Kamis (27/6), ia telah berbicara kepada awak media bahwa Prabowo mempersilakan partai pendukungnya mengambil sikap politik sendiri. Khusus untuk PAN, arah politik mereka akan ditentukan pada rapat kerja nasional yang digelar akhir Juli 2019.
“Opsinya ada tiga: yang pertama oposisi, yang kedua tidak oposisi dan tidak bergabung (ke pemerintah)—konstruktif kritis, yang ketiga bergabung ke pemerintah,” ujar Sekjen PAN Eddy Soeparno, Minggu (30/6).
Menurutnya, ketiga opsi tersebut masih sangat terbuka untuk dipilih. PAN akan melakukan kajian internal sebelum rakernas dimulai. Sebab apa pun opsi yang nanti dipilih, harus berdampak baik ke hasil elektoral PAN pada pemilu mendatang di 2024.
Soal ajakan bergabung dari Istana, Eddy menyebut masih nihil. “Bergabung itu syaratnya harus ada ajakan. Kita nggak bisa ujug-ujug bergabung kalau sana (Jokowi) nggak ngajak. Belum pernah ada tawaran atau komunikasi.”
Meski demikian, sinyal-sinyal pendekatan yang dilakukan PAN ke Jokowi telah lama tercium. Selain Ketua Majelis Pertimbangan PAN Soetrisno Bachir yang sejak 2014 mendukung Jokowi, Wakil Ketua Umum PAN Bara Hasibuan juga telah secara terbuka mendorong partainya bergabung ke barisan pemerintah.
“Karena di posisi itu kita bisa mengambil peran konstruktif untuk menjawab semua tantangan Indonesia ke depan,” ujar Bara di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (29/6).
Selain Eddy dan Bara, Zulkifli Hasan—yang kerap disapa Zulhas—pun telah memulai pendekatan ke Jokowi sejak hitung-hitungan quick count berbagai lembaga survei menunjukkan keunggulan sang petahana. Zulhas menjadi salah satu tokoh politik yang paling awal mengucapkan selamat atas kemenangan Jokowi di Pilpres 2019, di saat BPN belum mengakui hasil penghitungan KPU pada 21 Mei.
Namun, puncaknya justru telah terjadi sebelumnya, tepatnya ketika acara buka puasa bersama di rumah Zulhas selaku Ketua MPR, Jumat (10/5). Di sana ketika itu hadir Presiden Jokowi, Wakil Presiden Jusuf Kalla, Ketua DPR Bambang Soesatyo, Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman, dan Ketua DPD Oesman Sapta Odang. Keenamnya duduk satu meja, akrab dalam suasana yang cair dan penuh guyon.
Dalam pembukaan acara buka puasa bersama pemimpin lembaga tinggi negara tersebut, Zulhas sempat menyinggung keunggulan Jokowi di berbagai quick count. Bahkan, Zulhas juga telah mengambil ancang-ancang dengan mengingatkan para elite nasional agar tak berupaya mendelegitimasi KPU dan harus mau menerima hasil secara jentelmen.
OSO yang melihat upaya malu-malu kucing Zulhas itu, berseloroh saat sang Ketua MPR kembali ke meja, “Wah, ini mah udah terang-benderang (sikap PAN ke depan)!”
Mendengar kelakar itu, Jokowi senyum-senyum saja. Ia tentu saja paham.
Upaya PAN untuk bergabung ke pemerintahan, menurut beberapa sumber kumparan, sejatinya tak bertepuk sebelah tangan. Jokowi dipercaya amat terbuka dengan kemungkinan merapatnya PAN. Terlebih, sebelum Pemilu 2019, PAN sudah pernah berada di jajaran kabinet Jokowi lewat Asman Abnur yang menjadi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Saat ini, pembicaraan antara utusan Istana dan salah seorang kader PAN disebut-sebut telah mulai terjalin—dengan menyebut-nyebut porsi satu kursi menteri dan pimpinan MPR sebagai prasyarat dari PAN. Meski begitu, proses penjajakan ini diprediksi tak bakal mulus berjalan.
Pasalnya, kondisi internal PAN saat ini terbelah dua. Menurut sumber kumparan, di satu pihak, tokoh-tokoh macam Zulhas, Bara, Soetrisno, dan Eddy menginginkan PAN berada di pemerintahan. Sementara di sisi lain, kelompok Amien dan Hanafi Rais, serta Saleh Daulay dan Yandri Susanto berkeras agar PAN konsisten mengambil posisi oposisi.
Rakernas akhir Juli 2019 nantilah yang akan memperjelas langkah politik PAN ke depan. Kelompok pro-Jokowi di internal PAN menghindari sikap partai baru diputuskan pada Kongres PAN Februari 2020. Sebab pada kongres tersebut, nama-nama besar macam Zulhas, Asman, dan Hanafi akan bertarung memperebutkan kursi Ketua Umum PAN.
“Pak Amien dan Pak Zul sama-sama punya ambisi di PAN. Kalau setelah kongres (sikap politik partai baru diputuskan), kemungkinan Pak Zul jadi menteri akan sulit, karena nanti pasti ada pertarungan di internal partai,” ujar sumber yang tak mau namanya disebut itu.
Sampai berita diturunkan, Wakil Ketua Umum PAN Hanafi Rais yang notabene putra Amien Rais, tak merespons permintaan wawancara kumparan.
Upaya balik kanan juga tengah dilangsungkan Partai Demokrat. Pada dasarnya, Demokrat memang sedari awal berkeinginan untuk bergabung ke koalisi Jokowi pada Pilpres 2019. Rencana itu hanya gagal karena veto Ketua Umum PDI Perjuangan sendiri, Megawati Soekarnoputri. Alhasil, karena wajib menjadi partai pengusung capres-cawapres agar bisa berlaga di Pilpres 2024, Demokrat menyeberang ke Prabowo-Sandi.
Momen pelatuk paling anyar, masih segar di ingatan, adalah pada kunjungan takziah Prabowo ke kediaman SBY beberapa hari setelah Ani Yudhoyono meninggal. Pidato Prabowo yang mengungkit pilihan politik mendiang Ani dipandang tak pantas. SBY dan anaknya Agus Harimurti disebut-sebut marah besar akibat hal ini.
Pada perjalanannya yang panjang dan penuh liku, onak, serta duri tajam, Demokrat dan Prabowo memang kerap berselisih sikap dalam berbagai hal di Pemilu 2019. Misalnya saja terkait pilihan cawapres (AHY vs Sandiaga), visi misi Prabowo-Sandi, materi debat capres, hingga konsep kampanye akbar Prabowo yang dinilai SBY “tak lazim dan eksklusif”.
Belum lagi argumen Prabowo kala debat capres yang malah menyerang SBY. Itu masih ditambah dengan komentar-komentar pendukung Prabowo yang dirasa kader Demokrat kerap memojokkan mereka.
“Demokrat sudah beberapa kali mengingatkan Pak Prabowo, termasuk bagaimana agar menyikapi kekalahan, kemudian mencari keadilan. Mekanismenya kami enggak ketemu sama teman-teman (di BPN),” ujar Wasekjen Demokrat Renanda Bachtar.
“Meski mengalami kekecewaan demi kekecewaan, kami teguh di dalam koalisi (Prabowo sampai pemilu usai) dan terus memberi kontribusi pemikiran,” ujar Renanda.
Hangatnya kunjungan putra-putra SBY dan keluarga mereka ke rumah Megawati pada 5 Juni lalu diharapkan membuka hubungan harmonis antara Megawati dan SBY, pula PDIP dan Demokrat. SBY, yang selama ini memendam luka politik 2004 seperti Megawati, bisa sedikit lega karena sikap keras Mega mulai pudar.
Kepada SBY, AHY sang putra sulung bercerita bagaimana kunjungan ia dan adiknya, Edhie Baskoro, diterima secara khusus oleh Megawati. Padahal, masih banyak tamu-tamu lain yang datang sebelum mereka.
“Po, kami diterima di ruangan khusus. Yang tadinya cuma ada Ibu Mega dan Mbak Puan, Mas Prananda (putra sulung Megawati) dipanggil. Kita ngobrol di situ, sangat cair, sangat akrab,” ujar AHY kepada SBY, seperti diceritakan kembali oleh Renanda.
Mendengar kabar itu, SBY lantas berujar pelan, “Alhamdulillah, alhamdulillah...”
Meski silaturahmi para putra SBY dan Megawati itu sama sekali tak membicarakan persoalan politik, Demokrat berharap komunikasi hangat di antara mereka menjadi awal yang baik dari hubungan bertahun-tahun ke depan.
“Kami melihat Ibu Mega lebih akrab menerima anak-anak (SBY). Saya berharap itu jadi satu permulaan yang baik, supaya hubungan Demokrat dan PDIP bisa terjalin lebih akrab seperti dulu,” ujar Renanda.
Sampai saat ini, Demokrat memang belum mengambil langkah pasti apakah akan bergabung ke pemerintah atau berdiri sendiri di tengah-tengah—langkah yang pernah diambil Demokrat pada 2014-2019 dan karenanya menurut partai itu “tak takut untuk diulangi lagi”.
“Belum diputuskan,” ujar Sekjen Demokrat Hinca Panjaitan, Senin (1/7), terkait sikap politik partainya.
Demokrat menyadari, tak akan mudah bergabung ke koalisi yang—setidaknya—selama 10 bulan terakhir menjadi seterunya. Demokrat membaca sinyal keberatan dari partai-partai koalisi Jokowi atas proyeksi bergabungnya Demokrat. Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar misalnya menyebut “Koalisi Jokowi sudah gemuk dan tak perlu tambahan lagi.”
Apalagi, beberapa partai pendukung Jokowi disinyalir meminta pos menteri lebih banyak dari periode sebelumnya. Sumber kumparan menyebut, PKB dan Golkar masing-masing meminta 5 kursi menteri. Belum PPP, Nasdem, dan PDIP yang mendapat suara lumayan di Pemilu Legislatif 2019.
Alhasil, menurut sumber itu, dua pos menteri untuk Demokrat—salah satunya untuk AHY—sulit untuk diberikan.
Renanda menampik rumor soal jumlah kursi menteri yang diinginkan Demokrat. Menurutnya, hanya ada dua syarat yang dibicarakan apabila nantinya Demokrat jadi bergabung ke koalisi Jokowi.
“Satu, bagaimana kami bisa diterima dengan baik. Artinya setara dengan partai koalisi yang lain, sahabat yang sudah duluan,” kata Renanda.
Dua, jaminan agar yang terjadi pada Demokrat di koalisi Prabowo -Sandi tak terulang lagi.
“Kami ingin pemikiran atau ide Pak SBY bisa didengarkan, diakomodasi, dipertimbangkan untuk menjadi bagian dari program terintegrasi Presiden Jokowi. Jangan sampai keberadaan Demokrat di sana (koalisi Jokowi) hanya sekadar stempel—mulut diplester, tangan diikat.”
Sementara untuk kursi menteri, ujar Renanda, “Sepenuhnya kami paham, itu adalah otoritas presiden.”
_________________
Simak selengkapnya Bagi-bagi Kuasa di Akhir Sidang di Liputan Khusus kumparan.